Mengemban Dakwah: Tugas Utama Negara

Pengantar
Negara Islam (Khilafah), atau yang disebut juga dengan Imamah, adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia (An-Nabhani, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 34).
Berdasarkan definisi tersebut, Negara Islam (Khilafah) sebagai institusi eksekutif politik (kiyân siyâsi tanfîdzi) memiliki dua tugas utama. Pertama: menegakkan dan menerapkan hukum-hukum syariah Islam di dalam negeri. Kedua: mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Telaah Kitab atas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam kali ini akan membahas tugas utama Negara Islam (Khilafah) yang kedua itu, yang dinyatakan dalam pasal 11: “Mengemban dakwah Islam adalah tugas utama negara.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 45).
Pengertian Dakwah
Dakwah berasal dari bahasa Arab, ad-da’wah yang artinya adalah menyeru, mengajak, mengundang dan memanggil dengan arti menyampaikan sesuatu kepada orang lain untuk mencapai tujuan tertentu. Secara istilah, dakwah adalah suatu strategi penyampaian nilai-nilai Islam kepada umat manusia demi mewujudkan tata kehidupan yang imani dan realitas hidup yang islami (Kafie, Psikologi Dakwah, hlm. 29).
Ahmad Mahmud (1995: 23) mendefinisikan dakwah sebagai sebuah aktivitas untuk membuat seseorang menjadi condong dan senang. Jadi, berdakwah kepada Islam artinya berusaha membuat orang yang didakwahi menjadi condong dan senang terhadap Islam.
Oleh karena itu, dakwah Islam tidak cukup hanya dengan perkataan saja, namun harus meliputi apa saja yang dapat membuat seseorang menjadi condong dan senang, yaitu perkataan dan sekaligus perbuatan. Karena itu, dalam mengemban dakwah Islam itu harus dilakukan dengan menggunakan dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa perkataan (lisân al-maqâl) dan bahasa tindakan (lisân al-hâl). Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS Fushshilat [41]: 33).
Artinya, ketika seseorang menyeru kepada Allah, yakni menyeru pada syariah Allah, maka ia harus menjadi contoh atas apa yang ia serukan, sehingga hal itu dapat memberi manfaat pada dirinya sendiri dan sekaligus pada orang lain (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, VII/179). Apalagi dengan pemberian contoh ini akan memperjelas hakikat ajaran atau konsep Islam yang ia serukan sehingga dengannya seseorang menjadi condong dan senang (Mahmud, ad-Da’wah ilâ al-Islam, hlm. 23).
Kewajiban Mengemban Dakwah
Dakwah sebagaimana definisi di atas, adalah sebuah aktivitas untuk membuat seseorang menjadi condong dan senang. Setiap orang yang berakal tentu sependapat bahwa sebaik apapun sesuatu, namun tidak pernah dipromosikan, maka tidak akan ada orang yang mengenalnya, apalagi hingga condong dan senang padanya.
Begitu juga halnya dengan Islam. Sebab, tidak terbayangkan Islam akan ada yang mengenalnya, tanpa ada dakwah untuk memperkenalkannya; tidak terbayangkan Islam akan memiliki pengaruh, tanpa ada dakwah untuk mewujudkannya; tidak terbayangkan Islam akan tegak tanpa ada dakwah untuk menegakkannya; dan tidak terbayangkan juga Islam akan tersebar dengan kuat, tanpa ada dakwah untuk menyebarkannya.
Ketika aktivitas dakwah Islam tidak ada, maka Islam tidak akan kuat, tersebar, dan terjaga, serta tidak akan tegak hujjah atas makhluk-Nya. Sebaliknya, dengan dakwah, Islam akan kembali kuat dan kembali mewujudkan kemuliaannya; dan dengan dakwah pula, Islam akan tersebar di tengah-tengah seluruh umat manusia, sehingga agama itu semata-mata hanya untuk Allah, dan tata kehidupan dunia tidak rusak seperti sekarang ini (Mahmud, ad-Da’wah ilâ al-Islam, hlm. 24). Oleh karena itu, mengemban dakwah Islam merupakan suatu kewajiban.
Apalagi tidak sedikit ayat-ayat al-Quran dan hadis Rasulullah saw. yang menyatakan kewajiban mengemban dakwah kepada Islam. Di antaranya adalah Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan, menyuruh kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran [3]: 104).
Imam ath-Thabari menjelaskan ayat ini, “Hendaklah ada di antara kalian, wahai orang-orang Mukmin, segolongan umat yang menyeru manusia pada kebajikan, yakni kepada Islam dan syariah-syariahnya.” (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, VII/90).
Allah SWT juga berfirman:
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ
Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberikan peringatan kepada kalian dan kepada orang-orang yang sampai al-Quran (kepadanya) (QS al-An’am [6]: 19).
Ayat ini menjelaskan bahwa siapa saja yang telah sampai kepadanya al-Quran, baik ia orang Arab, non-Arab maupun lainnya, berkewajiban untuk menyampaikannya kepada orang lain, dan kewajiban ini berlaku sampai Hari Kiamat (Al-Baghawi, Tafsîr al-Baghawi (Ma’âlim at-Tanzîl), III/133).
Rasulullah saw. bersabda:
نَضَّرَ اللهُ عَبْداً سَمِعَ مَقَالَتِي فَحَفِظَهَا وَوَعَاهَا وَأَدَاهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ غَيْرِ فَقِيْهٍ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ
Allah menyinari seorang hamba yang mendengar perkataanku, lalu ia menghapal, memahami dan menyampaikannya. Tidak sedikit orang yang menyampaikan fikih itu adalah orang yang tidak faqih; tidak sedikit pula orang menyampaikan fikih kepada orang yang lebih faqih darinya. (Asy-Syafi’i, Musnad asy-Syâfi’i, hlm. 413).
Semua nash ini menunjukkan bahwa mengemban dakwah Islam adalah wajib. Kewajiban mengemban dakwah Islam ini bersifat umum mencakup seluruh kaum Muslim dan termasuk juga Negara Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 46).
Mengemban Dakwah: Tugas Utama Negara
Mengemban dakwah Islam, di samping wajib atas kaum Muslim, maka hal itu wajib pula atas negara. Mengemban dakwah Islam merupakan bagian dari penerapan syariah dalam setiap menjalin hubungan luar negeri. Bahkan ia merupakan hukum di antara hukum-hukum syariah sehingga negara wajib menerapkannya sebagaimana individu. Hanya saja, mengemban dakwah Islam bagi negara merupakan dasar yang menjadi pijakan dalam melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Artinya, mengemban dakwah Islam merupakan dasar bagi setiap aktivitas yang terkait dengan politik luar negeri Negara Islam (Khilafah). Dengan demikian, mengemban dakwah Islam merupakan tugas utama Negara Islam (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 45).
Adapun dalil bahwa mengemban dakwah Islam merupakan kewajiban dan tugas utama negara adalah sabda Rasulullah saw.:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله. وَيُؤْمِنُوا بِي وَبِمَا جِئْتُ بِهِ. فَإِذَا فَعَلُوا ذلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّهَا. وَحِسَابُهُمْ عَلَى الله
Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan—yang berhak disembah—selain Allah serta mereka beriman kepadaku dan syariah yang aku bawa. Apabila mereka telah melakukan itu maka darah dan harta mereka terlindung dariku, kecuali dengan haknya, sementara hisab mereka terserah kepada Allah (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini merupakan dalil kewajiban mengemban dakwah Islam bagi negara. Mengemban dakwah dalam hal ini adalah jihad yang akan berlangsung sepanjang zaman hingga umat Muhammad yang terakhir memerangi Dajjal. Rasulullah saw. bersabda:
الْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ تَعَالَىٰ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لاَ يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلاَ عَدْلُ عَادِلٍ
Jihad itu tetap berlangsung sejak Allah SWT mengutusku hingga umatku yang terakhir memerangi Dajjal. Kewajiban jihad ini tidak akan gugur oleh kezaliman pemimpin yang zalim, dan tidak pula oleh keadilan pemimpin yang adil (HR Abu Dawud).
Kedua hadis ini menunjukkan bahwa mengemban dakwah Islam merupakan aktivitas yang berlangsung terus-menerus tanpa terputus, baik bersama pemimpin yang adil maupun bersama pemimpin yang zalim selama ia masih seorang Muslim. Sebab, mengemban dakwah Islam ini merupakan tugas utama negara sehingga dalam kondisi apapun negara harus terus-menerus melakukannya.
Rasulullah saw. sejak stabilitas di Madinah, yakni stabilitas dalam negeri telah terjaga dan terkendali, maka setelah itu beliau terus-menerus melakukan jihad, mengirim para utusan kepada para penguasa negara lain, dan mengadakan berbagai perjanjian. Semua ini beliau lakukan dalam rangka menyampaikan Islam dan mengemban dakwah Islam kepada manusia. Sebagaimana hal itu diceritakan dalam hadis riwayat Muslim dari Anas bin Malik ra.:
أَنََّ نَبِيَّ اللهِ كَتَبَ إلَى كِسْرَى وَإِلَى قَيْصَرَ وَإلَى النَّجَاشِي وَإلَى كُلِّ جَبَّارٍ يَدْعُوهُمْ إلَى اللهِ تَعَالَى
Nabi Muhammad saw. menulis surat kepada Kisra (penguasa Persia), Kaisar (penguasa Romawi), Najasyi (bukan Najasyi yang dishalati Rasulullah), dan kepada setiap pemimpin besar, untuk menyeru mereka semua kepada Allah SWT.
Begitu juga dengan Khulafaur Rasyidin dan para khalifah sesudahnya. Mereka senantiasa melakukan aktivitas yang sama seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. selama beliau menjadi kepala negara. Dengan demikian, bahwa dalil mengemban dakwah Islam merupakan tugas utama negara, adalah sunnah Rasulullah saw. dan Ijmak Sahabat (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 47).
Terkait tugas utama negara yang kedua ini, Imam Taqiyuddin Abi Bakar (ulama abad IX Hijriah) dalam kitabnya Kifâyah al-Ahyâr fi Halli Ghâyatil Ikhtishâr, II/206 mengatakan, “Bahwa negara dianjurkan untuk memperbanyak melakukan jihad, karena ada banyak ayat dan hadis terkait hal ini. Minimal negara wajib melakukan satu kali jihad dalam setahun. Sebab, sejak diutus Rasulullah saw. belum pernah meninggalkannya dalam setiap tahunnya. Padahal meneladani Rasulullah saw. itu hukumnya wajib.
Ketika negara sungguh-sungguh dan serius dalam menjalankan tugas utamanya yang kedua ini, yakni mengemban dakwah Islam, maka seluruh dunia akan tersinari oleh cahaya Islam. Dengan begitu impian terwujudnya tatanan kehidupan dunia yang penuh kedamaian dan kasih sayang, bukan sekadar khayalan melainkan kenyataan. Masalahnya sekarang, sudah adakah negara yang akan menjalankan tugas ini. Jika belum maka kewajiban kita adalah segera mewujudkannya. WalLâhu a’lam bish-shawâb. []
Daftar Bacaan
Al-Baghawi, Muhyis Sunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’ud, Tafsîr al-Baghawi (Ma’âlim at-Tanzîl), Dar Thayyibah, Cetakan IV, Riyad. 1997.
Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Hishani ad-Dimasyqi asy-Syafi’i, Kifâyah al-Ahyâr fi Halli Ghâyatil Ikhtishâr, Al-Haramain, Cetakan I, Surabaya. 2005.
Ibnu Katsir, Abu Fida’ Ismail bin Umar al-Qursyi ad-Dimasyqi, Tafsîr al-Qur’an al-Azhîm, Dar Thayyibah, Cetakan II, Riyad. 1999.
Kafie, Jamaluddin, Psikologi Dakwah, Penerbit Indah Surabaya, Cetakan I, Surabaya. 1993.
Mahmud, Ahmad, Ad-Da’wah ila al-Islam, Darul Ummah, Cetakan I, Beirut. 1995.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, Darul Ummah, Cetakan II, Beirut. 2009.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizhâm al-Hukmi fil Islâm, Darul Ummah, Cetakan VI, Beirut. 2002.
Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ al-Hasyimi al-Qursyi al-Muthallibi, Musnad asy-Syâfi’i, Dar al-Fikr, Beirut. t.t.
Ath-Thabari, Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali Abu Ja’far, Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, Muassasah ar-Risalah, Cetakan I, 2000.