APBN Anti Rakyat

Seperti rutinitas tahunan, setiap 16 Agustus Presiden RI membacakan Nota Keuangan dan Rancangan Undang-undang APBN di depan anggota DPR RI. Tahun ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali memaparkan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) untuk 2011 mendatang.
Dalam pidatonya, SBY mengungkapkan dasar perhitungan berbagai besaran dalam RAPBN 2011. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi 6,3%, laju inflasi 5,3%, suku bunga SBI 3 bulan 6,5%, nilai tukar Rp 9.300/dolar Amerika Serikat, harga minyak 80,0 dolar AS/barel, dan lifting minyak sebesar 970 ribu barel/hari.
Untuk mencapai target tersebut, Pemerintah menyusun RAPBN 2011 dengan postur  sebagai berikut.
Pendapatan negara dan hibah sebesar Rp 1.086,4 triliun, naik Rp 94 triliun (9,5%) dari target APBN-P 2010.  Belanja negara Rp 1.202 triliun, meningkat Rp 76 triliun atau 6,7% dari APBN-P 2010. Dengan demikian, RAPBN 2011 mengalami defisit sebesar Rp 115,7 triliun, atau 1,7% dari PDB.
Belanja Kementerian dan Lembaga Pemerintah direncanakan sebanyak Rp 395,2 triliun. Belanja Lembaga-Lembaga Negara Non-Pemerintah Rp 15,2 triliun. Transfer ke daerah sebesar Rp 378,4 triliun, meningkat 9,8% dari APBN-P 2010.
Sikap Anggota Dewan
Berbagai tanggapan pun muncul, terutama dari fraksi-fraksi di DPR RI. Dari yang ‘pro’ hingga ‘kontra’ Pemerintah. Sebagai pendukung utama Pemerintah, tanggapan Fraksi Demokrat (FD) sudah bisa ditebak. Pandangan umum Fraksi Partai Demokrat yang dibacakan Achsanul Qasasih menyatakan, indikator makro sebagai dasar penyusunan kebijakan fiskal anggaran 2011 menunjukkan sikap optimistis akan peningkatan kapasitas produksi dalam negeri.
Begitu juga terhadap penerimaan negara dan hibah yang diproyeksikan sebesar Rp 1.086,4 triliun atau naik 9,5% dari target APBNP 2010 dengan sumber penerimaan utama dari pajak sebesar Rp 839,5 triliun atau menyumbang 77% dari total pendapatan negara. FD berpandangan, target tersebut dapat terpenuhi, bahkan dapat melampaui, khususnya target penerimaan pajak dengan tax ratio lebih dari 12%.
Mengenai penurunan subsidi menjadi Rp 184,8 triliun atau turun Rp 16,5 triliun dibandingkan 2010, Fraksi Demokrat juga mendukung usaha Pemerintah menata ulang kebijakan subsidi untuk meningkatkan efisiensi dan subsidi yang tepat sasaran.
Idem dito dengan FD, Fraksi Golkar (FG) juga setuju penerimaan negara dapat digenjot melalui pajak.
Soal pengurangan subsidi listrik, FG menegaskan, pengurangan subsidi dari Rp 55,1 triliun menjadi Rp 41 triliun berpotensi menaikan tarif tenaga listrik menjadi 15%; bahkan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia, kecuali Pemerintah memiliki skenario lain mengurangi subsidi listrik tanpa menaikkan tarif tenaga listrik.
Fraksi Partai Amanah Nasional (FPAN), yang kader-kadernya banyak di Kabinet Indonesia Bersatu kedua, menilai, secara umum kebijakan Pemerintah dalam menyusun APBN 2011 sebatas untuk menjaga kondisi fiskal. Akibatnya, ruang ekspansi Pemerintah sangat terbatas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pengembangan pendidikan, infrastruktur dan pengeluaran produktif lainnya.
Menurut Juru Bicara FPAN, Laurens Bahang Dama, Pemerintah belum memiliki ruang gerak yang cukup karena tersandera struktur RAPBN itu sendiri. Akibatnya, ketika berniat ekspansi untuk pengeluaran bidang kesejahteraan, pendidikan maupun lainnya, maka jalan keluar yang dibuka adalah memperbesar hutang.
Senada dengan FD dan FG, FPAN menganggap Pemerintah perlu meningkatkan lagi pemasukan dari pajak.
Terkait subsidi listrik, FPAN menyatakan, penurunan subsidi listrik tidak berarti adanya kenaikan TDL 15%. Penurunan subsidi bisa dicapai melalui penurunan BPP listrik seperti percepatan penyelesaian program pembangkit 10.000 MW, mempercepat substitusi gas ke pembangkit BBM dan menurunkan losses PLN hingga di bawah 9%.
Bagaimana dengan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS)? Sebagai salah satu partai Islam yang paling banyak mendapat kursi di DPR, FPKS memberi apresiasi positif kepada Pemerintah terhadap capaian beberapa asumsi makro ekonomi. Misalnya, pertumbuhan ekonomi pada 2009 yang mencapai 4,5%. Demikian juga capaian pertumbuhan ekonomi 2010 sebesar 5,7% pada kuartal I dan 6,2% pada kuartal II sehingga pada 2010 diperkirakan bisa melampaui 6%; lebih tinggi dari asumsi APBNP 2010 5,8%.
Namun, menurut Juru Bicara FPKS Ecky Awal Muharam, pertumbuhan tersebut belum menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Kondisi ini menyebabkan tingkat kemiskinan nasional yang masih mencapai 13,3% serta masih terdapat propinsi yang tingkat kemiskinannya di atas 20%. Misalnya, Papua 36,8%, Papua Barat 34,9%, Maluku 27,7%, Gorontalo 23,2%, NTT 23%, NTB 21,5%, dan NAD 20,1%. Tingkat pengangguran terbuka masih 7,9%.
Bahkan kata Ecky, target pertumbuhan 2011 sebesar 6,3% seharusnya dapat lebih optimistis di kisaran 6,5-7%. FPKS menganggap Pemerintah dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh pada tingkat kemiskinan dan pengangguran.
Terkait dengan pendapatan negara dan hibah, FPKS meminta Pemerintah mengeluarkan terobosan program baru untuk meningkatkan penerimaan sehingga tax ratio menjadi minimal 13%. Hal ini dapat tercapai jika Pemerintah melakukan ekstra effort dalam menghapus mafia perpajakan, meningkatkan tax compliance khususnya wajib pajak, serta menurunkan tingkat penggelapan dan transfer pricing perusahaan asing.
Sementara itu, sebagai partai yang menempatkan pada posisi oposisi, FPDIP menganggap apa yang disampaikan SBY sangat jauh dari realitas keadaan yang ada dalam konstruksi perekonomian nasional. Juru Bicara FPDIP, Utut Adianto menilai, Pemerintah terkesan semata untuk penguatan citra publik.
Kebijakan Pemerintah kini cenderung lebih banyak mengundang asing. Padahal dengan makin bertambahnya peranan asing dan keterbukaan sistem ekonomi pasar, justru membuat kebijakan ekonomi Indonesia makin terseret ke arah globalisasi finansial; bahkan lebih banyak pada kepentingan kapitalis global daripada meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Hal ini terlihat dari kian banyaknya kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada kepentingan Kapitalisme global ketimbang mewujudkan kesejahteraan rakyat. “Pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3% juga tidak mencerminkan pertumbuhan yang berkeadilan sosial karena realitasnya angka kemiskinan dan pengangguran justru meningkat dari tahun ke tahun,” kata Utut.
Karena itu, FPDIP mendesak Pemerintah tidak terpaku pada nominal angka pertumbuhan di atas kertas, tetapi bagaimana mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan penetapan angka inflasi sebesar 5,3% mengindikasikan Pemerintah sengaja mencari celah aman untuk mengendalikan laju inflasi dan tidak berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi.
Makin Neo-Liberal
Meski fraksi-fraksi besar di DPR RI ada yang pro dan kontra, sayangnya ada beberapa masalah yang lepas dari sorotan anggota dewan. Misalnya masalah makin menyusutnya subsidi untuk rakyat.
Dengan bahasa ‘halus’, Pemerintah menyatakan akan menata ulang subsidi dan penyalurannya agar tepat sasaran. Padahal yang terjadi adalah memangkas subsidi. Dalam RAPBN 2011, Pemerintah hanya menyediakan anggaran subsidi sebanyak Rp 184,8 triliun. Jumlah ini, turun Rp 16,5 triliun atau 8,2% dari beban anggaran tahun sebelumnya Rp 201,3 triliun. Anggaran tersebut untuk subsidi energi sebesar 72,4% yaitu subsidi BBM sebesar 50,2% dan subsidi listrik 22,2%, sedangkan sisanya sebesar 27,6% disalurkan untuk subsidi non-energi.
Salah satu imbas penurunan subsidi itu, Pemerintah akan kembali menaikkan tarif dasar listrik 10%. Padahal awal Juli 2010, tarif ‘setrum’ sudah naik 12-15%. Pada 2011, alokasi anggaran subsidi listrik hanya Rp 41 triliun. Angka itu turun sekitar Rp 14,1 triliun atau 25,6% dibandingkan 2010 yang mencapai Rp 55,1 triliun; meski dalam pernyataanya SBY berjanji tarif listrik khusus bagi pelanggan pengguna rumah tangga dan pelaku usaha mikro dan usaha kecil, tidak dinaikkan.
Bahkan mantan Menko Perekonomian dan Kepala Bappenas Kwik Kian Gie menganggap, subsidi yang selama ini ada di pikiran Pemerintah tidak lepas kebijakan neoliberal. Misalnya, subsidi BBM selama ini ditentukan mekanisme pasar. “Saya ingatkan SBY telah melakukan kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan pelanggarannya sudah luar biasa,” tegasnya.
Rencana memangkas subsidi untuk rakyat menjadi bukti bahwa Pemerintah kini tak malu-malu lagi menerapkan kebijakan neoliberalisme. Dalam sistem ekonomi liberal, subsidi adalah ‘racun’ sehingga secara perlahan-lahan subsidi harus dicabut. Sistem ekonomi Kapitalisme juga menganggap subsidi bertentangan dengan prinsip pasar bebas. Padahal terbukti pengurangan bahkan pencabutan subsidi di tengah daya beli rakyat masih sangat rendah bakal makin menjerat kehidupan rakyat.
Selain pemangkasan subsidi, RAPBN 2011 juga makin pro kapitalis. Terlihat dari pendapatan negara yang lebih berharap dari pajak. Pemerintah menargetkan penerimaan negara dari sektor perpajakan Rp 839,5 triliun atau menyumbang 77% dari total pendapatan negara. Jumlah itu naik Rp 96,2 triliun, atau sekitar 13% dari target penerimaan perpajakan 2010.
Anehnya, sebagian besar fraksi DPR justru mendukung Pemerintah menggenjot pendapatan negara dari pajak. Padahal konsekuensi dari target APBN yang mengandalkan pajak membuat segala aktivitas bakal terkena pajak. Dampaknya membuat ekonomi biaya tinggi dan beban akan ditanggung rakyat.
Sayangnya, penerimaan pajak yang sangat besar itu tak pernah jelas arahnya. Pajak yang dipungut Pemerintah cenderung bukan untuk menggerakkan perekonomian rakyat, tetapi justru memberikan stimulus pengusaha besar. Kasus paling ‘panas’ adalah ketika Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan likuiditas Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Yang membuat geger rakyat adalah ketika terungkap seorang pegawai pajak bernama Gayus mengemplang dana pajak hingga Rp 25 miliar.
Lebih parahnya lagi, sebagai negara yang mempunyai sumberdaya alam sangat besar, ternyata bangsa ini hidup juga dari hutang, meski dalam APBN, Pemerintah memperhalus kata hutang menjadi hibah.
Karena itu, Kwik Kian Gie menilai, ada yang disembunyikan dalam RAPBN 2011 yang disampaikan Presiden SBY. Pemerintah, kata Kwik, tidak memperjelas beda arti bantuan dengan hutang. Apa yang selama ini diterapkan Pemerintah, hutang adalah sama dengan bantuan. Penyesatan itu, menurut Kwik, kemungkinan tidak hanya terjadi pada 2011 tapi juga di RAPBN tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dilakukan Pemerintah untuk menutup utang cukup besar yang selama ini disebut bantuan.
Kontribusi pajak dan hutang yang sangat besar dalam APBN ini memang ironis. Di satu sisi Pemerintah menggenjot penerimaan dari pajak dan hibah. Di sisi lain kontribusi penerimaan dari bukan pajak (PNBP) malah diturunkan dari Rp 247,2 triliun menjadi Rp 243,1 triliun.
PNBP itu berasal dari penerimaan dari sumberdaya alam (SDA) yang pada 2010 mencapai Rp 164,7 triliun, pada 2011 justru hanya Rp 158,2 triliun. Rinciannya, PNBP SDA Migas sebesar Rp 145,3 triliun dan PNBP SDA nonmigas sebesar Rp 12,9 triliun. Begitu pula PNBP dari bagian laba BUMN. Pada 2011 Pemerintah hanya menargetkan sebanyak Rp 26,6 triliun turun dari 2010 yang mencapai Rp 29,5 triliun.
Mirisnya lagi, dari pendapatan negara tersebut justru porsi untuk membayar hutang lebih besar. Dalam RAPBN 2011, Pemerintah telah mengalokasi pembayaran bunga hutang sebanyak Rp 116,4 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari pembayaran bunga hutang dalam negeri sebesar Rp 80,4 triliun dan pembayaran bunga hutang luar negeri sebesar Rp 36,0 triliun.
Bobroknya RAPBN yang disusun Pemerintah juga tampak dari asumsi yang dibuat Pemerintah. Fakta di lapangan menunjukkan, pertumbuhan ekonomi yang kerap Pemerintah gaungkan justru berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat. Pemerintah boleh optimis, pertumbuhan ekonomi membaik dengan menguatnya nilai rupiah dan naiknya nilai IHSG di bursa. Namun, yang terjadi beban masyarakat kian berat. Apalagi kemudian Pemerintah makin memangkas anggaran subsidi.
Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya alias semu. Sebab, kebijakan ekonomi yang diterapkan tidak lepas dari sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, asas ekonomi adalah pertambahan pendapatan nasional (national income).
Dengan demikian, ekonomi tidak dibangun untuk memuaskan kebutuhan setiap individu dan tidak untuk menyediakan pemuasan bagi tiap-tiap individu dalam masyarakat. Ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income).
Karena itu, dalam sistem kapitalis kesejahteraan masyarakat hanya dihitung berdasarkan pendapatan perkapita. Padahal yang menguasai harta kekayaan hanya 10%, sedangkan 90% penduduk berada dalam jurang kemiskinan.
Ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, pertumbuhan ekonomi adalah terdistribusinya kekayaan ke semua individu masyarakat. Jadi negara bertanggung jawab terhadap distribusi jasa dan barang kepada masyarakat. [Yulianto]