Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tak sedikit kaum liberal menganggap persoalan Ahmadiyah hanyalah perbedaan penafsiran terhadap Al-Qur`an atau Al-Hadits. Sebagai contoh misalnya Prof. Dr. Hamka Haq, Ketua Umum Baitul Muslimin Indonesia, sebuah organisasi di bawah PDIP yang konon bermisi dakwah, mengatakan kontroversi soal Ahmadiyah hanya merupakan perbedaan penafsiran, tak ada perbedaan keyakinan yang prinsipil. Dia juga menyatakan Fatwa MUI yang melarang dan mengharamkan Ahmadiyah tidak tepat.
Jadi, persoalan Ahmadiyah dikatakan hanya sekedar beda penafsiran, sehingga Ahmadiyah seakan absah berpendapat setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad, nabi yang katanya tak membawa syariat baru. Pertanyaannya, apakah ajaran Ahmadiyah ini dapat dianggap perbedaan (khilafiyah) yang dibenarkan Islam? Jelas tidak. Berikut uraiannya.
Perbedaan (Ikhtilaf) Yang Dibolehkan dan Yang Tidak
Perbedaan pendapat dalam khazanah Islam disebut dengan khilaf atau ikhtilaf. Sebagian ulama seperti pengarang kitab Fathul Qadir, Ad-Durrul Mukhtar dan Hasyiyah Ibnu Abidin membedakan antara khilafdan ikhtilaf. Istilah ikhtilaf digunakan untuk pendapat yang didasarkan pada dalil, sedang khilaf untuk pendapat yang tak berdalil. Sementara ulama ushul dan fuqaha lainnya tak membedakan dua istilah itu. (Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, II/190).
Thaha Jabir Al-Alwani mengangap sama istilah khilaf dan ikthilaf, yang didefinisikan sebagai sembarang perbedaan (mutlaq al-mughaayarah), baik itu dalam pendapat, perkataan, keadaan, atau sikap. (Thaha Jabir Al-Alwani, Adabul Ikhtilaf fi Al-Islam, hal. 22).
Yang perlu dipahami adalah tidak setiap perbedaan itu dibolehkan (mutabar) dalam pandangan Islam. Ada perbedaan yang dibolehkan dan ada pula yang tak dibolehkan. Para ulama telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perbedaan pendapat ini dalam kitab-kitab ushul fiqih ataupun kitab ushuluddin mereka.
Dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, misalnya, diuraikan terdapat 4 (empat) macam perbedaan pendapat (ikhtilaf), baik dalam persoalan ushuluddin (aqidah) maupun persoalan furu (hukum syariah) sebagai berikut :
Pertama, persoalan ushuluddin yang dalilnya qathi, seperti adanya Allah, keesaan Allah, adanya malaikat, kenabian Muhammad SAW, adanya kebangkitan sesudah mati, dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini tidak boleh ada ikhtilaf. Barangsiapa yang menyalahinya, maka dia kafir.
Kedua, sebagian persoalan ushuluddin (aqidah) yang dalilnya tidak qathi, misalnya masalah melihat Allah (ru`yatullah) di akhirat, masalah kemakhluqan Al-Qur`an (khalqul Qur`an), dan yang semisalnya. Dalam perkara-perkara ini, masih ditolerir adanya ikhtilaf, dalam arti yang berbeda pendapat tidak otomatis dikafirkan. Namun orang yang tak dikafirkan itu harus memenuhi syarat tidak menganggap dusta berita yang dibawa Rasulullah SAW. Jika menganggap dusta, dia dikafirkan. Demikian keterangan Imam Ghazali.
Ketiga, persoalan furu (hukum syariah) yang dalilnya qathi, yakni yang disebut maluumun min al-din bi adh-dharurah (perkara yang sudah diketahui secara pasti sebagai bagian ajaran agama Islam), seperti wajibnya shalat lima waktu, haramnya zina, dan semisalnya. Tidak boleh ada ikhtilaf dalam perkara-perkara ini dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia telah kafir.
Keempat, persoalan furu (hukum syariah) yang bersifat ijtihadiyah, yakni yang dalilnya tidak qathi. Seperti jumlah rakaat tarawih, membaca qunut dalam sholat Shubuh, dan semisalnya. Dalam perkara-perkara ini boleh ada ikhtilaf dan menjadi medan ijtihad bagi para mujtahid. (Lihat Al-Mausuah Al-Fiqhiyah, II/191).
Dari keempat macam ikhtilaf di atas, sebenarnya patokan boleh tidaknya ikhtilaf adalah pada dalilnya, apakah dalilnya qathi atau tidak qathi. Jika dalilnya qathi, tak boleh ada ikhtilaf. Jika dalilnya tak qathi, masih ditolerir adanya ikhtilaf.
Yang dimaksud dalil qathi adalah dalil yang qathi tsubut dan qathi dalalah. Dalil qathi tsubut maksudnya adalah dalil yang dipastikan bersumber dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Qur`an dan Hadits Mutawatir. Sedang qathi dalalah maksudnya adalah dalil yang hanya mempunyai satu makna (dalalah) saja, tidak lebih. Inilah pengertian dalil qathi. Di luar dalil qathi ini, adalah medan ijtihad yang dibolehkan ada ikhtilaf. (Quthub Mushthofa Sanu, Laa Inkaara fi Masa`il al-Ijtihad, hal. 22-23; Ali bin Nayif Asy-Syahud, Al-Khulashah fi Bayan Asbab Ikhtilaf Al-Fuqaha`, hal. 70).
Sebaliknya, jika ada suatu dalil qathi, lalu ada yang menyalahinya, maka orang itu dihukumi kafir jika dia melakukannya secara sengaja. Misalnya, jika ada yang berfatwa bagian waris laki-laki dan perempuan adalah sama rata. Ini fatwa batil yang wajib ditolak dan tak boleh diamalkan. Orang yang berfatwa demikian sudah kafir dan murtad dari Islam. Karena fatwa ini bertentangan dengan dalil qathi bahwa bagian waris untuk laki-laki adalah dua bagian waris untuk perempuan sebagaimana dalam QS An-Nisaa [4] : 11. (M. Shidqi al-Burnu, Mausuah Al-Qawaid Al-Fiqhiyah, 8/914).
Mereka yang berbeda pendapat pada persoalan yang tak boleh berbeda pendapat, dapat disebut orang yang sesat atau menyimpang. Sesat (dhalal) artinya adalah tidak mendapatkan petunjuk pada kebenaran (adamul ihtida` ila al-haq). Istilah lain dari sesat (dhalal) adalah penyimpangan (al-inhiraf/al-ghawaayah). (Rawwas Qalahjie, Mujam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 216 & 255).
Kasus Ahmadiyah : Bukan Perbedaan Tapi Penyimpangan
Ahmadiyah (atau Qadiyaniyah) adalah kelompok yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad 1889 di Qadiyan, India. Ahmadiyah mempunyai aqidah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, Nabi Isa AS, mujaddid (pembaru), dan seorang nabi yang menerima wahyu. Sementara umat Islam berkeyakinan sebaliknya, bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa AS belum turun ke dunia. Jadi Mirza Ghulam Ahmad bukan Imam Mahdi dan bukan pula Nabi Isa AS. Umat Islam berkeyakinan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi palsu dan bukan mujaddid.
Pendapat Ahmadiyah bahwa ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW tidak termasuk perbedaan (ikhtilaf) yang dibolehkan, melainkan termasuk pendapat yang sesat atau menyimpang. Sebab pendapat ini telah menyalahi nash yang qathi tsubut dan qathi dalalah bahwa tidak ada akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW. Nash itu adalah firman Allah SWT :
ما كان محمد أبا أحد من رجالكم ولكن رسول الله وخاتم النبيبن
"Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi (khatamun nabiyyin)." (QS Al-Ahzab [33] : 40).
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan tegas,"Ayat ini menunjukkan bahwa tak ada nabi lagi sesudah beliau. Jika tak ada nabi sesudah beliau, maka lebih lebih lagi tak ada rasul lagi sesudah beliau." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/494).
Tapi Ahmadiyah mentakwil ayat tersebut dengan berbagai hujjah yang curang dan manipulatif. Menurut mereka makna khatamun nabiyyin bukan dalam arti aakhirun nabiyyin (yang terakhir dari nabi-nabi), tapi dengan makna afdholu nabiyyin (yang paling utama dari nabi-nabi). Implikasinya masih akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW, hanya saja tidak seutama Nabi Muhammad SAW. (M. Syuwaiki,Bara`ah Al-Millah Al-Islamiyah, hal. 9).
Jelas takwil ini hanya mengada-ada dan batil adanya, karena bertentangan dengan makna bahasa Arab dari khaatam. Ibnu Manzhur pengarang Kamus Lisanul Arab berkata bahwa khitaam al-qaumartinya adalah aakhiruhum. Jadi kata khaatam artinya adalah yang terakhir. (Ibnu Manzhur, Lisanul Arab, 12/164). Al-Fairuz Abadi pengarang Kamus Al-Muhith juga menyatakan hal yang sama. Menurutnya arti khaatam adalah aakhir (yang terakhir). Jadi ungkapan aakhirul qaum, sama maknanya adalah khaatamul qaum. (Al-Fairuz Abadi, Al-Muhith, 1/1420).
Terlebih lagi ayat di atas diperjelas dengan hadits-hadiits Nabi SAW yang mencapai derajat mutawatir, bahwa tak akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad SAW. Para ulama menetapkan bahwa hadits laa nabiyya badiy adalah hadits mutawatir. Kemutawatiran hadits ini ditegaskan oleh banyak ulama seperti : (1) Imam Qurthubi ketika menafsirkan QS Al-Kahfi : 77; (2) Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS Al-Ahzab : 40; (3) Imam Al-Baghdadi dalam kitabnya Ushuluddin hal. 163; (4) Imam Suyuthi dalam kitabnya Qathf Al-Azhar Al-Mutanatsirah hal. 281; (4) Imam Al-Katani dalam kitab Nazham Al-Mutanatsir fi Al-Hadits Al-Mutawatir hal. 208; (5) Imam Az-Zubaidi dalam kitabnya Luqath Al-La`ali Al-Mutanatsirah, dan lain-lain. (Dikutip oleh M. Syuwaiki, Bara`ah Al-Millah Al-Islamiyah, hal.23).
Di antara hadits laa nabiyya badiy tersebut adalah sabda Nabi SAW :
كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلم هلك نبي خلفه نبي وأنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون
"Dahulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada nabi sesudahku. Dan yang akan ada adalah para khalifah, jumlah mereka akan banyak." (HR Muslim no 2404).
Jadi, pemahaman Ahmadiyah bahwa akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad SAW telah menyalahi nash Al-Qur`an yang qathi, juga hadits-hadits Nabi SAW yang mutawatir. Maka jelaslah pendapat Ahmadiyah tak termasuk dalam perbedaan pendapat yang dibolehkan.
Selain itu Ahmadiyah juga telah mengingkari apa yang disebut maluumun min al-din bi adh-dharurah, yaitu wajibnya jihad. Dalam kitab Majmu'ah Isytiharat Mirza Ghulam Ahmad berkata,"Wa al-maqshud min batsiy wa batsi iisaa alaihis salaam wahidun wa-huwa ishlaahul akhlaaqi wa man'i al-jihad." (Tujuan dari diutusnya aku dan Isa AS adalah satu, yaitu memperbaiki akhlaq dan melarang jihad).(Mirza Ghulam Ahmad, Majmu'ah Isytiharat, 1/303).
Dengan ajaran yang menghapuskan jihad ini, Ahmadiyah jelas telah murtad dan keluar dari golongan kaum muslimin. Sebab kewajiban jihad merupakan satu perkara yang sudah terang wajibnya, seperti halnya wajibnya sholat, zakat, dan sebagainya.
Dengan demikian, jelaslah pendapat Ahmadiyah yang berbeda dengan umat Islam bukan perbedaan (ikhtilaf) yang dibolehkan, melainkan termasuk penyimpangan yang kufur dan sesat. Orang-orang yang menganggap enteng masalah ini dan mengatakan pendapat Ahmadiyah hanya sekedar beda penafsiran saja, tak lain hanyalah kaum yang bodoh dan pembohong yang berusaha untuk menyesatkan dan memurtadkan umat Islam.
Sikap Khilafah Terhadap Perbedaan dan Penyimpangan
Jika perbedaan (ikhtilaf) pendapat masih dalam batas-batas yang dibolehkan, Khilafah tidak akan melarang pendapat tersebut, meski pun pendapat itu bertentangan dengan pendapat yang diadopsi oleh Khilafah.
Misalnya, Khilafah mengadopsi pendapat bahwa menyewakan lahan pertanian hukumnya haram. (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hal. 141). Maka rakyat boleh mempunyai pendapat menyewakan lahan pertanian hukumnya boleh. Rakyat boleh pula mengajarkan pendapat itu kepada orang lain. Khilafah tak akan memaksa rakyat untuk meyakini pendapat yang sama dengan pendapat Khilafah.
Hanya saja, rakyat tidak boleh mengamalkan pendapat tersebut. Sebab dalam tataran praktik, pendapat Khilafah sajalah yang wajib diamalkan, bukan yang lain. Ini sesuai kaidah fiqih : Amrul imam yarfa'ul khilaf (perintah Imam / khalifah menghilangkan perbedaan pendapat). (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 2/138-139)
Adapun jika ikhtilaf yang ada merupakan penyimpangan, yaitu sudah di luar batas yang dibolehkan, maka Khilafah akan mencegahnya dan menindak siapa saja yang menyebarkan atau mengamalkannya. Khilafah nanti akan melarang kelompok Ahmadiyah, baik Ahmadiyah Qadiyani maupun Ahmadiyah Lahore.
Setelah kelompoknya dibubarkan, perlakuan Khilafah terhadap individu-individu Ahmadiyah bergantung pada kondisi masing-masing. Jika seseorang awalnya beragama Islam lalu menganut Ahmadiyah, maka dia dianggap murtad dan berhak atas hukuman untuk orang murtad (had al-murtad), yaitu hukuman mati jika tidak bertaubat. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat, hal. 44).
Jika seseorang menjadi penganut Ahmadiyah sejak kecil, karena mengikuti ayah ibunya atau kakek neneknya yang penganut Ahmadiyah, maka tidak dihukumi murtad, tapi digolongkan kaum kafir musyrik. Maka segala hukum syara untuk kafir musyrik diberlakukan kepada individu-individu Ahmadiyah.
Jadi sembelihan mereka tidak halal bagi orang-orang Islam, dan perempuan mereka pun tidak halal dinikahi oleh orang-orang Islam laki-laki. Kepada penganut Ahmadiyah itu pun akan dikenakan kewajiban jizyah yang akan dipungut setahun sekali, khususnya kepada kaum laki-lakinya yang sudah baligh dan berkemampuan. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, I/34; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal.63-65). Wallahu a'lam. (Yogya, 14 Maret 2011)
DAFTAR BACAAN
Al-Barni, Muhammad Asyiq Ilahi, Al-Qadiyaniyah Maa Hiya?, (Karachi : Majelis Tahfazh Khatm Nubuwwat), 1389 H
Al-Mahkamah Asy-Syariyah Al-Fidaraliyah bi-Jumhuriyah Bakistan Al-Islamiyah, Qadiyaniyah Fi`atun Kafirah, (Faishal Abad : Hadits Kadimi), 1987
An-Najjar, Amir, Al-Qadiyaniyah, (Beirut : Majd Al-Mua`assah Al-Jamiiyah), 2006
Asy-Syuwaiki, Muhammad, Bara`ah Al-Millah Al-Islamiyah min Iftira`at wa Adhalil Al-Firqah Al-Ahmadiyah Al-Qadiyaniyah, (Baitul Maqdis : Anshar Al-Amal Al-Islami Al-Muwahhad), 2010
Ath-Thawil, Yusuf Al-Ashi, Ahmad Deedat Baina Al-Qadiyaniyah wa Al-Islam, (Kairo : Maktabah Madbuliy), 2002
Jun-yuthi, Manzhur Ahmad, Al-Qadiyaniyah wa Mutaqadatuhu, (Pakistan : Al-Idarah Al-Markaziyah), 1971
Husain, Muhammad Al-Khidhir dkk, Dahdh Muftarayat Al-Qadiyaniyah fi Dhau` Al-Kitab wa As-Sunnah, (Riyadh : Darul Qiblatain & Al-Manshurah : Darul Yaqin), 2005
Ibnu Sabil, Muhammad bin Abdillah, Al-Idhahat Al-Jaliyyah fi Al-Kasy An Hal Al-Qadiyaniyah, (Makkah : t.p.), 1422 H
Udah, Hasan bin Mahmud, Al-Ahmadiyah Aqa`id wa Ahdats, (Inggris : Mu`assah At-Taqwa Al-Alamiyah), 1419 H
Zhahir, Ihsan Ilahi, Al-Qadiyaniyah Dirasat wa Tahlil, (Kairo : Dar Al-Imam Al-Mujaddid), 2005
Post a Comment