Hukum Pengasuhan Anak (Bagian 1)

Oleh: Hafidz Abdurrahman (Ketua Lajnah Tsaqafiyyah DPP HTI)


Definisi Hadhânah

Hadhânah secara harfiah adalah memasukkan sesuatu dalam buaian (dhamm as-syai’ ilâ al-hadhan), yaitu janb (posisi antara ketiak hingga pundak), dada, dua pundak dan di antara keduanya. Ketika Anda menyatakan, “Hadhanta as-syai’ wahtadhantahu (Anda mengasuh sesuatu).” Jika Anda memasukkannya dalam dekapan. Seorang ibu dikatakan mengasuh anaknya, ketika dia memasukkannya dalam dekapan (dada)-nya.
Sedangkan hadhânah secara syar’i adalah merawat anak yang belum bisa mengurus urusannya secara mandiri, seperti mengurus makanan, pakaian, tidur, kebersihan, kesehatan dan melindunginya dari hal-hal yang bisa mencelakakan dan membahayakannya.
Karena itu, hadhânah adalah urusan yang keberadaannya tergantung pada dua pihak: (1) Orang yang mengasuh (hâdhin); (2) Anak yang diasuh (mahdhûn). Mahdhûn (pihak yang diasuh) adalah anak kecil, sedangkan hâdhin (pihak yang mengasuh) adalah wanita atau laki-laki. Di sisi lain, orang yang mengasuh itu adalah orang yang dikenai beban dan tanggung jawab untuk melakukan aktivitas, dan dia merupakan pihak yang layak menjalankan kewajiban tersebut.
Apakah Hadhânah Hak atau Kewajiban?

Ketika kita melihat orang tertentu, sebut saja ibu, misalnya, maka harus kita tegaskan, bahwa dialah orang yang paling berhak mengasuh anaknya selama tidak ada halangan yang menghalanginya melakukan tugas tersebut. Jika dia memegang erat tugas itu, maka tugas itu diwajibkan kepadanya. Jika dia melepaskan tugas tersebut ketika ada orang yang lebih layak untuk melaksanakannya, maka tindakan tersebut dibenarkan. Ini berarti, bahwa pengasuhan tersebut merupakan hak, bukan kewajiban. Namun, kalau ada yang lebih layak untuk menjalankan tugas itu, maka dia harus dipaksa untuk melaksanakannya. Jika dia meminta kompensasi untuk tugas tersebut, maka tidak sah. Ini berarti, tugas tersebut merupakan kewajiban.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa hadhânah merupakan hak masing-masing pengasuh dan anak yang diasuh, sekalipun bagi anak yang diasuh hak itu jelas lebih kuat. Karena hak itu wajib ditunaikan dalam segala kondisi, baik ketika yang berhak mengasuh itu hanya ada satu orang, atau lebih. Jika hanya ada satu orang yang berhak mengasuh anak itu, maka statusnya menjadi kewajiban tunggal bagi orang tersebut, dan tidak lagi menjadi hak. Dengan kata lain, dia tidak bisa lari dari tanggung jawab tersebut, karena status pengasuhan anak tersebut dalam kondisi ketika tidak ada lagi pengasuh, kecuali satu orang, maka bagi orang tersebut hukumnya wajib.
Namun, jika ada sejumlah orang yang layak menjadi pengasuhnya, maka pengasuhan itu menjadi hak orang yang paling tinggi urutannya, dan tanggung jawab tersebut tidak boleh digugurkan dari orang itu, kecuali ada orang yang layak melakukan pegasuhan dan bisa mengambil tanggungjawab tersebut.
Berikut ini adalah sejumlah hukum syara’ yang merupakan rincian hak pengasuhan bagi anak kecil:
1-       Jika hanya ada satu pengasuh, baik ibu maupun yang lain, yaitu ketika ibunya tidak ada, maka dia harus dipaksa untuk mengasuh anak tersebut,  kalau dia menolak melakukan tugas pengasuhan. Dengan begitu, anak kecil tersebut tidak akan kehilangan haknya.
2-     Jika ibunya mengajukan khulu’ (minta diceraikan) suaminya, dengan syarat menyerahkan pengasuhan anaknya kepada bapaknya, maka status khulu’-nya sah, tetapi syaratnya batil. Karena syarat tersebut telah membatalkan hak anak kecil itu mendapatkan pengasuhan. Meski bagi ibunya berhak untuk melepaskan haknya dalam mengasuh anaknya, tetapi dia tidak berhak membatalkan hak anaknya.
3-  Jika ibunya mengajukan shuluh (perdamaian) dengan suaminya, dengan syarat wanita tersebut harus menggugurkan haknya dalam pengasuhan anak, dengan kompensasi financial, maka shulh seperti ini batil. Karena membawa konsekuensi hilangnya hak anak kecil, yang nota bene adalah anaknya sendiri.
Dan, berikut ini adalah rincian yang menjadi hak bagi pengasuh (hâdhinah):
1-       Baik bapak maupun yang lain tidak berhak untuk mencabut anak yang diasuh oleh pengasuh yang berhak mengasuhnya untuk diberikan kepada pengasuh lain di bawahnya, kecuali dengan justifikasi syar’i. Karena mencabut anak tersebut dari pengasuhan dalam kondisi seperti ini sama dengan menghilangkan hak pengasuh tersebut dalam melakukan pengasuhan (hadhânah).
2-     Jika wanita yang menyusui itu bukanlah wanita yang berhak menjadi pengasuhnya, maka dia wajib menyusuinya hingga hak pengasuhan tersebut tidak hilang. Misalnya, wanita itu bisa menyusui di samping wanita yang berhak mengasuhnya, atau bayi/anak kecilnya yang diberikan kepada wanita yang menyusuinya pada saat menyusui, kemudian dikembalikan lagi kepada wanita yang berhak mengasuhnya.
3-      Jika wanita yang berhak untuk mengasuhnya itu menolak menjalankan tugas pengasuhan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk menjalankannya, jika masih ada wanita lain yang berhak menjalankan pengasuhan, mau menerimanya. Karena penolakan tersebut tidak sampai menghilangkan hak pengasuhan bayi/anak kecil.
Kapan Hak Pengasuhan Berlaku untuk Anak?

Jika bayi/anak kecil belum atau tidak mampu hidup mandiri, sehingga dia membutuhkan orang yang melakukan harus mengurus seluruh urusannya. Jika anak itu telah masuk usia tamyiz, dan mampu melaksanakan sebagian urusannya, lalu dia membutuhkan layanan/bantuan lain, seperti pendidikan, pembinaan akhlak dan dipelihara dari kerusakan, maka dalam perkembangannya anak tersebut membutuhkan layanan/bantuan. Ketika kaum wanita merupakan jenis pertama yang paling mampu, karena mereka mempunyai pengalaman dan kesabaran dalam urusan seperti ini, maka as-Syari’ telah menjadikan hak itu sebagai hak mereka, dan mendahulukan mereka dalam hak pengasuhan atas kaum pria. Ketika kaum pria adalah jenis kedua yang paling mampu, maka as-Syari’ pun memberikan hak itu kepada mereka. Dengan begitu, tanggung jawab tersebut bisa di-share di antara keduanya.
Ketika ibu, dengan tabiatnya yang penuh cinta kepada anaknya dibanding dengan yang lain, maka kasih dan sayangnya pun tidak akan bisa dibandingkan dengan kasih sayang siapapun, karenanya wanita menduduki posisi pertama sebagai pengasuh.
Rasulullah saw. dan para sahabat sepeninggal baginda juga memutuskan demikian, tanpa seorang pun yang menyalahinya.  Imam Ahmad dan Abu Dawud telah meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash, bahwa ada seorang wanita yang berkata, “Wahai Rasulullah, anakku ini adalah anak yang telah dikandung dalam rahimku, berkumpul dalam kamarku dan meminum air susuku. Ayahnya telah menceraikanku, dan hendak mengambilnya dariku.” Nabi pun bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya, selama kamu belum menikah.”
Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin al-Khatthab telah menceraikan isterinya, Ummu ‘Ashim, lalu beliau mendatanginya, sementara di kamarnya ada ‘Ashim. Beliau pun ingin mengambilnya dari Ummu ‘Ashim, sehingga kedua saling tarik-menarik hingga anak itu pun menangis. Keduanya pun berangkat menghadap Abu Bakar, saat itu beliau menjadi Khalifah, lalu Abu Bakar berkata kepada ‘Umar, “Usapannya, kamarnya dan baunya lebin baik ketimbang kamu, hingga bayi itu tumbuh besar, dan dialah yang akan memilih untuk dirinya (ikut siapa?)” Dalam riwayat lain, “Mainannya lebih baik baginya, ketimbang madu yang ada di rumahmu, wahai ‘Umar.” Peristiwa itu terjadi di hadapan banyak sahabat.
Dalam riwayat ketiga, bahwa terjadi perebutan antara ‘Umar dengan nenek anak tersebut (ibunda ‘Ummu ‘Ashim), setelah ibunya menikah lagi. Saat itu, ‘Umar melihatnya di jalan, lalu beliau pun mengambilnya. Ketika keduanya menyampaikan ihwal tersebut kepada Abu Bakar, maka beliau pun berkata, “Baunya, usapannya dan mainannya itu lebih baik baginya, ketimbang madu yang ada di rumahmu, wahai ‘Umar.”
Siapakah yang Paling Berhak?

Hak pengasuhan anak ini ditetapkan kepada ibu, baik ketika masih menjadi isteri ayah anak kecil tersebut, atau sudah dicerai dan menunggu masa ‘iddah, atau tidak menunggu masa ‘iddah, selama dia layak menjalankan tugas pengasuhan, dan tidak ada satu pun faktor penghalang yang menghalangi tugas pengasuhannya, misalnya ketika dia telah menikah dengan pria lain, atau dengan kerabat yang bukan mahram anak kecil tersebut.
Jika wanita tersebut meninggal dunia, atau terhalang oleh faktor yang menghalangi tugasnya untuk menjalankan pengasuhan, maka tugas pengasuhan tersebut berpindah kepada mahram anak kecil tersebut, yaitu para wanita, dengan urutan dari paling dekat. Baru berpindah kepada nenek dari ibunya hingga ke atas, baru kepada nenek dari bapaknya hingga ke atas. Kedudukan nenek dari ibu didahulukan daripada nenek dari bapak, karena kekerabatannya dari pihak bapak tersebut memang urutannya di belakang ibu.
Jika nenek anak kecil tersebut tak ada lagi, maka pengasuhan tersebut berpindah kepada saudara perempuannya, dengan mendahulukan saudara perempuan sekandung, baru saudara perempuan seibu.  Jika tidak ada, maka menurut riwayat yang paling kuat dalam mazhab ini, baru saudara perempuan sebapak. Dalam riwayat lain, saudara perempuan sebapak setelah bibi (saudara perempuan ibu) dari pihak ibu.
Jika tidak ada seorang saudara perempuan yang layak menjalankan pengasuhan, maka hak tersebut berpindah kepada anak perempuan saudara perempuan (saudara sepupu perempuan) anak kecil tersebut, yang sekandung, baru anak perempuan saudara perempuan seibu. Jika di antara mereka tidak ada yang layak, maka hak pengasuhan tersebut berpindah kepada bibi dari pihak ibu. Didahulukan bibi sekandung, baru bibi seibu, kemudian bibi sebapak. Jika sudah tidak ada lagi yang layak, maka hak pengasuhan tersebut berpindah kepada anak perempuan saudara perempuan seayah. Setelah itu, baru anak perempuan saudara laki-laki secara berurutan. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung, baru anak perempuan saudara laki-laki seibu, baru anak perempuan saudara laki-laki sebapak. Jika tidak ada lagi yang layak, maka hak pengasuhan tersebut berpindah kepada bibi (saudara perempuan bapak) dari pihak bapak secara berurutan, sebagaimana urutan di atas.
Jika bibi dari pihak bapak tersebut tidak ada yang layak, maka hak pengasuhan tersebut berpindah kepada bibi ibu anak kecil tersebut secara berurutan. Baru bibi bapak. Bibi bapak yang sekandung didahulukan, ketimbang bibi seibu, kemudian bibi sebapak. Baru setelah itu, bibi ibu dengan urutan yang sama, baru bibi bapak dengan urutan yang sama.
Yang perlu dicatat dalam urutan di sini, bahwa kekerabatan ibu didahulukan dari seluruh kelompok kekerabatan bapak, ketika levelnya sama, karena ibu lebih didahulukan dalam pengasuhan, ketimbang bapak. Karena itu, kekerabatannya juga sama. Disamping itu, kekerabatan ibu lebih penuh kasih kepada anak kecil tersebut ketimbang kekerabatan bapak.
Sedangkan nenek didahulukan daripada saudara perempuan, karena nenek lebih mencintai anak kecil tersebut ketimbang saudara perempuan. Juga karena hubungannya dengan anak kecil itu melalui kelahiran, sehingga anak itu statusnya seperti menjadi bagian dari neneknya. Kerabat sekandung didahulukan ketimbang yang lain, karena kekuatannya dari berbagai sisi, dan kasih sayangnya. Sedangkan anak perempuan saudara perempuan didahulukan ketimbang bibi dari bapaknya, karena dia merupakan keturunan dari bapak dan ibunya, atau salah satunya, sementara bibi dari bapaknya adalah keturunan kakek-neneknya, atau salah satunya.
Jika tidak ada lagi wanita yang menjadi mahramnya layak untuk menjalankan pengasuhan, atau ada tetapi tidak layak, maka pengasuhan tersebut berpindah kepada pria yang mempunyai hubungan waris secara mutlak, jika anak kecil tersebut adalah anak laki-laki. Berpindah kepada laki-laki yang mempuyai hubungan waris dan berstatus mahram, jika anak kecil tersebut perempuan. Mereka diurutkan sesuai dengan urutan waris. Bapak didahulukan, baru kakek dari bapak ke atas, baru saudara sekandung, baru saudara sebapak, baru anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, baru anak laki-laki saudara sebapak, baru paman (saudara bapak) sekandung, baru paman (saudara bapak) sebapak, baru paman bapak sekandung, baru paman bapak sebapak. Hak pengasuhan untuk anak kecil tersebut ditetapkan kepada mereka dengan urutan seperti itu, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan. Karena mereka semuanya berstatus mahram.
Setelah mereka baru anak paman sekandung, anak paman sebapak untuk anak laki-laki, tetapi keduanya tidak berhak menjalankan pengasuhan terhadap anak perempuan, karena keduanya bukan mahram. Sedangkan pengasuhan tersebut berlanjut hingga usia murahiq (puber), karena pada usia itu dikhawatirkan terjadi fitnah.
Jika anak kecil tersebut tidak mempunyai siapa-siapa, kecuali anak laki-laki paman dari bapaknya, maka qadhi-lah yang akan memilihkan dengan pendapatnya mana yang dianggap paling layak untuk mengasuh anak tersebut. Maka, qadhi akan menyerahkan pengasuhan tersebut kepada wanita yang bisa dipercaya, jika anak pamannya tidak ada yang bisa dipercaya. Jika masih ada yang layak dan dipercaya, maka qadhi akan menyerahkannya kepadanya.
Jika anak kecil tersebut tidak lagi memiliki laki-laki yang mempunyai hubungan waris secara mutlak, maupun waris yang berstatus mahram, atau ada tetapi tidak layak menjalankan pengasuhan, maka hak tersebut berpindah kepada mahram, meski tidak mempunyai hubungan waris. Mereka adalah mahram dengan urutan dari yang paling dekat, sehingga pengasuhan tersebut ditetapkan kepada kakek dari ibu, saudara laki-laki seibu, anak saudara laki-laki seibu, paman (saudara bapak) seibu, bibi (saudara ibu) sekandung, bibi (saudara bapak) seayah, baru bibi (saudara ibu) seibu.
Jika mereka semuanya tidak ada, maka hak pengasuhan tersebut berpindah kepada kerabat bukan mahram, seperti anak laki-laki paman (saudara ibu), anak laki-laki bibi (saudara ibu), dengan syarat yang diasuh laki-laki tersebut bukan anak perempuan. Demikian juga, perempuan tidak berhak mengasuh anak laki-laki. Karena kerabat tersebut bukan mahram, yang boleh dinikahi, maka dikhawatirkan dengan adanya pengasuhan tersebut bisa menimbulkan kerusakan.
Jika tidak ada lagi, maka keputusannya diserahkan kepada qadhi. Qadhilah yang akan memberikannya kepada pria atau wanita yang dipercayai kelayakan dan kemampuan mereka untuk menjalankan tugas ini.[]