Showing posts with label DPR. Show all posts

Ketua DPR Setya Novanto dan Donald TrumpKunjungan luar negeri ke Amerika Serikat ala pimpinan DPR beserta rombongan menuai kritik pedas dari berbagai pihak, salah satunya lembaga Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran). Menurut Sekretaris Jenderal Fitra Yenny Sucipto, rincian biaya perjalanan ini tak transparan.
“DPR, melalui sekjennya, bahkan tidak menjelaskan tujuan perjalanan dinas beserta semua anggarannya,” katanya melalui siaran pers yang diterima, Sabtu, 5 September 2015.
Karena itu, lembaganya telah mengkaji dana perjalanan dinas ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Masukan 2015. Anggaran ini termasuk biaya tiket, uang saku, dan hotel untuk sembilan anggota rombongan selama 12 hari.
Berikut ini biaya yang diperkirakan.
1. Biaya pesawat ke Amerika Serikat sebesar US$ 14.428 untuk satu kali perjalanan per orang.
2. Uang saku harian sebesar US$ 527 untuk setiap anggota DPR per hari.
3. Biaya hotel sebesar US$ 1.312,02 per malam.

Total biaya: Rp 4,63 miliar
“Bahkan kami menduga anggaran bisa lebih besar dari Rp 10 miliar karena adanya berbagai tunjangan,” ujar Yenny.
Selain itu, Yenny menilai anggaran tersebut berpotensi terdapat kemahalan harga (mark up) karena sistemlump sum. Apalagi saat ini nilai tukar dolar sedang naik. Berbagai foto yang tersebar di media sosial antara pimpinan DPR dan calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, juga dianggap memalukan.
“Ini bentuk pemborosan negara. Fitra akan menagih akuntabilitas anggaran ini setelah mereka pulang,” tutur Yenny. (tempo.co, 6/9/2015)
[www.globalmuslim.web.id]

Ultah DPR dan Kado Pahit untuk RakyatOleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah-Divisi Politik-HTI Jawa Timur)

Tak banyak yang menyoroti ulang tahun ke 70 Dewan Perwakilan Rakyat. Jumat, 28 Agustus 2015, perayaan dilakukan dengan mewah dan pagelaran seni budaya. Dewan yang mengaku sebagai perwakilan rakyat itu, sebenarnya masih menuai kritik dan nilai negatif. Rakyat terkadang dibuat berdegup kencang dan copot hatinya, melihat tingkah polah anggota dewan. Keinginan yang segera harus dipenuhi terkait pembangunan gedung baru, dana aspirasi, dan dana resesi. Serta fasilitas wah lainnya.

Kondisi seperti itu disaksikan jutaan mata rakyat. Barangkali rasa malu kian hilang dan keinginan besar untuk pribadinya sering disematkan atas nama rakyat. Adapun rakyat jadi stempel tanpa mau memahami keinginan dan penderitaan rakyat. Atas nama untuk kepentingan bersama dan demi bangsa. Naluri dan akal manusia sering tidak dipakai dalam menentukan kebijakan yang manusiawi. Seringnya terlalu mengada-ada. Rakyat sesungguhnya menagih janji, bagi mereka yang merasa beramanah dan sadar diri.



Mewakili Siapa?

Pembagian fungsi pemerintahan sistem demokrasi ditujukan check and balance (kontrol dan penyeimbang). DPR/MPR yang merupakan lembaga legislatif memiliki kewenangan tersendiri untuk mengontrol eksekutif. Hak yang dimiliki pun menjadikan DPR/MPR menjadi lembaga yang mewakili rakyat. Kondisi saat ini, DPR/MPR lebih pada legislasi dan penyusunan APBN bersama Presiden sebagai eksekutif.

Hubungan eksekutif dan legislatif saat ini pasang surut. Ibarat orang yang saling mencintai dan memahami. Terkadang ada prahara dan badai di tengah hubungan. Rakyat juga tanda tanya, apakah ini disengaja? Ataukah untuk pencitraan diri agar dianggap peduli pada rakyat biasa? Kubu oposisi dan koalisi kerap mewarnai sidang dan kehidupan sehari-hari. Suara lantang dan kritik kepada ekskutif kerap menghiasi pemberitaan dan media sosial.

Hal yang perlu dijawab berkaitan hubungan antara yang diwakili dan yang mewakili. Begitu pula keterikatan antara wakil rakyat dan keinginan rakyat yang diwakili. Konsep perwakilan—(Ramlan Surbakti dalam Memahami Ilmu Politik)—dibedakan menjadi dua tipe:

Pertama, tipe delegasi (mandat), yang berpendirian bahwa wakil rakyat merupakan corong keinginan rakyat. Ia harus menyuarakan apa saja kepentingan rakyat yang diwakili. Keinginan itu dapat diketahui dengan hubungan secara periodik dengan rakyat. Apabila dalam suatu pemungutan suara (pengambilan keputusan) ia tidak sependapat dengan keinginan pemilihnya. Ia hanya memiliki dua pilihan, yakni mengikuti keinginan pemilih atau mengundurkan diri.

Kedua, perwakilan tipe trustee (independen), yang berpendirian bahwa wakil rakyat dipilih berdasarkan pertimbangan yang bersangkutan dan memiliki kemampuan mempertimbangkan secara baik (good judgment). Untuk melaksanakan hal ini wakil rakyat memerlukan kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Selain itu, tipe perwakilan ini berpandangan bahwa tugasnya adalah memperjuangkan kepentingan nasional. Secara implisit wakil rakyat memiliki kemampuan politik yang lebih tinggi daripada pemilihnya.

Fakta saat ini, tidaklah seindah konsep dua tipe perwakilan rakyat. Justru sebaliknya, kepercayaan rakyat kepada wakilnya kian menurun dan terjun bebas. Hal ini dikarenakan sistem politik demokrasi liberal seperti memutar roda gila. Siapa pun yang berada dalam pusarannya akan tergilas dan tidak lagi berpikir untuk rakyat. Meski ini tidak bisa disamaratakan, namun kondisi sakit ini kian mengakar di gedung dewan. Rakyat pun masih ingat dengan kasus korupsi, penyelewangan dana dengan alasan kunjungan kerja ke luar negeri, legislasi RUU yang tak bergigi dan mudah di-judicial review-kan. Teringat peristiwa UU Pilkada yang sempat heboh, kemudian diganti dengan Perppu (Peraturan Pengganti Perundang-undangan). Padahal UU Pilkada digodok bertahun-tahun. Bukankah ini legislasi yang buruk? Di samping itu, UU pun masih banyak beraroma liberal, pro kepada asing kapitalis dan mengabaikan kepentingan rakyat banyak.

Di sisi lain, rakyat yang kian menjerit dan terjepit dalam himpitan kehidupan yang tak pasti. Suaranya nyaring tak terdengar. Untuk bertemu secara periodik ataupun menyampaikan keluhannya, terkadang sulit. Tak semua wakil rakyat berhati baik dan menjadi pendengar yang baik. Maka jika dihadapkan pada dua tipe perwakilan, kiranya dapat diambil pelajaran berharga.

Pertama,  amanah yang diberikan oleh umat belum dimaksimalkan dengan baik. Kinerja yang buruk kian menjadi sorotan tajam. Belum lagi kalangan anggota DPR/MPR dari berbagai latar belakang. Mulai artis, orang biasa, akademisi, hingga yang biasa saja. Kesemuanya berangkat dari partai politik. Masing-masing memiliki agenda agar dikatakan peduli wong cilik. Sesungguhnya siapa wong cilik? Jangan-jangan kelompok pribadinya dan keluarganya?

Kedua, ketiadaan independen wakil rakyat. Sudah menjadi hal maklum bahwa ketundukan utama kepada partai politik dengan mengesampingkan kepentingan rakyat dan nasional. Bukankah keputusan kenaikan harga BBM sering kali dijadikan ajang transksi politik melalui lobi-lobi? Waktu rapat yang hadir pun anggota dewan sering absen dan tidak berkualitas. Bahkan draft Rancangan Undang-Undang sering menjadi pesanan kapitalis asing. Semisal UU BPJS, UU Penanaman Modal Asing, UU Migas, UU Kelistrikan, dan sederet UU liberal lainnya. Nuansa barter kepentingan dengan kapitalis dan neo imprealis begitu terasa.

Ketiga, merasa diri mewakili rakyat dan memiliki staf ahli, menjadikan anggota dewan lupa daratan. Tidakkah mereka ingat bahwa UU yang diputuskan berasal dari buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Tak jarang menimbulkan multitafsir dan perdebatan pada isi teks UU. Kebebasan yang dijadikan pijakan, membuat manusia semaunya memutuskan dan membuat UU. Terkadang UU itu pun melukai hati rakyat bahkan menyiksa secara perlahan. UU dijadikan alat kepentingan eksekutif untuk mengokohkan kekuasaan dengan sedikit merayu anggota legislatif. Kalaupun ada perdebatan di awal pembentukan UU, itu hanya sebagai skenario pemanis. Tak lebih dari itu.

Keempat, penyusunan APBN 2016, kian liberal dan tak pro rakyat. Anggaran yang disusun pun merupakan kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Penyerapan anggaran pun sering tidak jelas. Ungkapan APBN untuk rakyat, selama ini tidak terbukti. Pembangunan cenderung tumpang tindih. Dana kerap ditilep dan uang rakyat jadi bancaan.

Dengan demikian adanya, melihat fakta perwakilan anggota dewan. Perlu ada perumusan baru dengan menengok sistem politik selain demokrasi liberal. Sistem politik itu yakni Politik Islam. Saat ini tak banyak politisi maupun partai politik memiliki gambaran untuk terkait konsep Majelis Umat. Hal yang sering terjadi justru menyamakan sistem Majelis Umat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat/Dewan Perwakilan Rakyat. Padahal sejatinya dua hal itu berbeda jauh.

Konsep Majelis Umat

Majelis Perwakilan dalam sistem demokrasi merupakan bagian dari pemerintahan. Karena dalam tradisi demokrasi memiliki wewenang pemerintahan. Sebab Majelis Perwakilan inilah yang berhak memberhentikan sekaligus mengangkat kepala negara. Majelis Perwakilan juga berwenang memberikan kepercayaan kepada kabinet, sekaligus berhak melontarkan mosi tidak percaya. Sehingga Kabinet (dipimpin oleh Perdana Mentri) seketika itu lengser dari tampuk pemerintahan. Faktanya, Majelis Perwakilan dalam demokrasi melakukan tiga perkara. Pertama, mengawasi dan mengoreksi pemerintah. Kedua, membuat undang-undang. Ketiga, mengangkat dan memberhentikan penguasa.

Berbeda dengan Majelis Umat. Kedudukannya mengoreksi dan mengawasi penguasa, serta menampakkan ketidaksuakaan itu, seperti penguasa lalai dalam melakukan ri’ayah asy-syu’un (mengurusi urusan rakyat), menganggap sepele penerapan Islam, atau bediam diri tidak melakukan aktivitas mengemban dakwah, dan lain-lain. Akan tetapi, Majelis Umat tidak berhak membuat Undang-Undang serta tidak berhak mengangkat dan memberhentikan penguasa. Aturan yang dijalankan berupa syariah Islam yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Keberadaan pemerintahan dalam Islam adalah untuk menjalankan syariah Islam Kaaffah dalam bingkai khilafah.

  Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ketidakberpihakan wakil rakyat dalam sistem demokrasi karena memisahkan agama dari kehidupan. Tanggung jawab dan pemenuhan janji bisa sekadar pemanis untuk memberikan legitimasi duduk di kursi dewan. Sementara itu, sistem islam pertangungjawaban kepada Allah Swt di akhirat kelak. Sehingga dalam sistem pemerintahan akan terwujud saling mengingatkan dan tolong menolong dalam kebaikan. Rakyat dijamin kebutuhannya, karena menerapkan aturan berkah dari Allah dan Rasul-Nya. Inilah esensi kesadaran politik bagi umat Islam.

Saatnya hilangkan kegaduhan dan ketidakpastian politik pemerintahan yang ada saat ini. Tinggalkan politik dagang sapi dan pragmatis. Beralilah ke perubahan politik ideologis berdasarkan islam.

[www.globalmuslim.web.id]

Tertangkapnya pengacara Mario C Bernardo oleh KPK yang diduga memberikan suap kepada pegawai Mahkamah Agung (MA) membuka fakta kedekatan profesi advokat dengan suap. Praktek suap oleh advokat ternyata adalah hal yang biasa.

"Itu sudah rahasia umum kalau ada praktek suap menyuap advokat," ujar wakil ketua umum Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tommy Sihotang dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2013).

Menurut Tommy ketika pengacara tidak melakukan praktek suap dalam menangani perkara, konsekuensinya kasus yang ditangani akan kalah. Hal itu berakibat tidak akan ada klien yang memakai jasanya.

Hal senada diungkapkan oleh anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir.Menurutnya suap adalah salah satu cara pengacara untuk memenangkan kasus.

"Lawyer jika tidak melakukan suap, kasusnya kalah terus" kata Nudirman.

Sedangkan aktivis anti korupsi, Taufik Basari mengumpamakan praktek suap di kalangan pengacara itu seperti gas. Tercium baunya tapi sulit dilihat bentuknya.

"Kita sekarang berharap saja kepada para advokat muda yang belum terkontaminasi praktek suap," jelas Taufik. [detiknews/www.globalmuslim.web.id]


Independent Parliamentary Standards Authority (Ipsa) dan Dana Moneter Internasional (IMF) melansir bahwa gaji anggota DPR Indonesia salah satu yang paling besar di dunia setelah Nigeria, Kenya dan Ghana. Namun sayangnya, gaji selangit tak membuat para legislator Tanah Air bekerja profesional. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang terlibat dalam sejumlah kasus korupsi.

Sebut saja Ketua Komisi XI DPR, Emir Moeis . Politikus asal PDI Perjuangan ini harus menjadi tersangka kasus suap PLTU Tarahan, Lampung di KPK. Emir diduga telah menerima suap dari rekanan perusahaan PT Alstom sebesar USD 300 ribu. Akibatnya, politisi bertubuh gemuk ini harus mendekam di rumah tahanan KPK. 

Bukan hanya Emir satu-satunya politisi yang harus berurusan dengan lembaga anti korupsi. Sebelumnya juga ada nama Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang juga mantan anggota Komisi III DPR Muhammad Nazaruddin .Nazar terbukti terlibat melakukan korupsi dalam proyek pembangunan Wisma Atlet. Akibat kasus ini, Nazar pun divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta.

Ada juga rekan satu partai Nazar yakni, Mantan Anggota Komisi X DPR Angelina Sondakh (Angie). Tidak tanggung-tanggung, janda almarhum Adjie Massaid ini terlibat dua kasus korupsi sekaligus. Yakni, korupsi pembangunan Wisma Atlet, Palembang dan korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional. Akibat ulahnya, Angie harus mendekam di penjara selama empat tahun enam bulan dan denda Rp 250 juta.

Kasus yang paling parah dan mencederai umat Islam di dunia yakni korupsi pengadaan proyek Alquran yang dilakukan oleh Politikus Partai Golkar Zulkarnaen Djabar . Mantan anggota Komisi VIII DPR ini dijatuhkan hukuman hingga 15 tahun penjara. Selain itu, Zulkarnaen juga wajib membayar denda atas perbuatannya sebesar Rp 300 juta.

Apakah hanya mereka anggota DPR yang terlibat korupsi? Tentu saja tidak, masih ada mantan Politikus PAN Wa Ode Nurhayati yang juga harus berurusan dengan KPK karena menerima suap dalam kasus Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID). Yang teranyar adalah, kasus kuota impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden PKS yang juga anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq .

Padahal, jika dihitung jumlah perolehan gaji yang anggota DPR dapatkan setiap bulannya sangatlah besar ketimbang gaji pejabat publik lainnya. Bahkan, menurut data Ipsa dan IMF, gaji anggota parlemen Indonesia paling besar keempat atau 18 kali lipat gaji dari pendapat per kapita rata-rata penduduk Indonesia. Data yang dirilis Ipsa, gaji anggota DPR di Indonesia per tahun adalah USD 65.000. Dengan pendapatan per kapita dari data terakhir IMF yaitu USD 3.582, diketahui gaji anggota DPR di Indonesia adalah 18 kali pendapatan per kapita penduduk Indonesia.

Terlihat sangat tidak adil dan jika dengan gaji sebesar itu, anggota DPR masih saja mencari uang 'sampingan' dengan melakukan korupsi. Gaji sebesar Rp 46.100.000 per bulan seolah tak cukup memuaskan para legislator itu.[merdeka/www.globalmuslim.web.id]


Meski gaji para anggotanya terbesar keempat sejagad, Dewan Perwakilan Rakyat tetap saja menjadi lembaga terkorup.. “Gaji tinggi tidak menjadi jaminan untuk mengurangi korupsi karena korupsi sudah menjadi penyakit sosial,” ujar Dr Arim Nasim kepada mediaumat.com, Ahad (28/7).

Menurutnya, penyakit sosial yang secara riil membuat  DPR menjadi dewan perampok rakyat tersebut terjadi setidaknya lantaran tiga faktor.
Pertama, pemikiran kapitalis. Saat ini perilaku DPR khususnya dan masyarakat pada umum dihinggapi dengan tiga pemikiran yang merusak yang merupakan pemikiran yang disebarluaskan oleh para kapitalis yakni: sekulerisme (peraturan agama hanya dijalankan dalam masalah ritual); asas manfaat  sebagai tolok ukur perbuatan; dan menjadikan kenikmatan  jasmani  sebagai standar kebahagiaan.
Kedua, perasaan yang tidak islami. Perasaan ini lahir lantaran mengadopsi pemikiran kapitalis. Sehingga tidak membenci yang dibenci Allah SWT dan tidak merindukan yang diridhai Allah SWT.
Ketiga, peraturan  yang rusak karena hasil buatan manusia. Karena faktor pertama dan kedua tadi maka dibuatlah peraturan yang tidak berbasis syariah.Konsekuensinya tentu saja akan dibuatlah hukum berbasis kepentingan para pembuatnya.
“Di Indonesia malah lebih parah kalau di berbagai negara korupsi dihukum dengan hukuman berat bahkan sampai hukuman potong kepala, di Indonesia malah koruptor dipotong masa tahanannya bahkan penjara di Indonesia  bukan sesuatu yang menakutkan karena bisa milih fasilitas laksana Hotel,” bebernya.
Ketua Lajnah Maslahiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut juga menyatakan pemikiran kapitalis akan terus bercokol selama sistem demokrasi diterapkan. Karena sistem ini merupakan lahan yang subur bagi orang-orang yang rakus dalam mengeksploitasi rakyat dan sumber daya alam.
“Karena itu, untuk mewujudkan keadilan dan menghilangkan korupsi,  kita harus mencampakkan biang korupsi dan ketidakadilan yaitu manusia-manusia yang rakus. Dan sistem demokrasi yang diterapkan diganti dengan sistem yang adil dan amanah yaitu sistem Islam yang dilaksanakan oleh orang-orang yang adil dan amanah,” pungkasnya.
Seperti diberitakan merdeka.com (27/7), Independent Parliamentary Standards Authority (Ipsa) dan Dana Moneter Internasional (IMF) melansir bahwa gaji anggota DPR Indonesia salah satu yang paling besar di dunia setelah Nigeria, Kenya dan Ghana. Namun sayangnya, gaji selangit tak membuat para legislator Tanah Air bekerja profesional. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang terlibat dalam sejumlah kasus korupsi.(Mediaumat.com/www.globalmuslim.web.id)

Politikus PDIP, Ketua Komisi XI DPR, Emir Moeis, saat digelandang oleh petugas KPK menuju ke mobil tahanan. Emir enggan memakai seragam tahanan KPK, dan hanya menggantungkan baju penjara warna orange tersebut ke bahunya.
Politikus PDIP, Ketua Komisi XI DPR, Emir Moeis, saat digelandang oleh petugas KPK menuju ke mobil tahanan. Emir enggan memakai seragam tahanan KPK, dan hanya menggantungkan baju penjara warna orange tersebut ke bahunya.
Jakarta –: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya langsung menahan Ketua Komisi XI DPR, Izedrik Emir Moeis, Kamis (11/7/2013). Penahanan ini dilakukan setelah KPK memeriksa Emir Moeis sebagai tersangka atas kasus dugaaan korupsi proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, Tahun Anggaran (TA) 2004.
Emir yang baru pertama kali menjalani pemeriksaan terkait kasus korupsi tersebut langsung dijebloskan ke tahanan setelah menjalani pemeriksaan hampir lima jam.
Emir turun dari ruang pemeriksaan langsung memeluk rekannya yang tengah menunggu di lobi Gedung KPK untuk memberikan semangat dan dukungan atas penahanan tersebut. Tanpa berkata apapun, Emir yang menyelempangkan seragam tahanan warna oranye dibahu itu langsung digiring menaiki mobil tahanan KPK Isuzu Elf hitam B 7772 QK yang sudah terparkir di KPK.
Hingga saat ini belum ada keterangan resmi dari KPK soal penahanan Emir Moeis ini. Bahkan Juru Bicara KPK Johan Budi sendiri belum mengetahui hal tersebut saat di konfirmasi. “Saya belum tahu,” imbuh Johan.
Seperti diberitakan, KPK secara resmi mengumumkan penetapan status tersangka kepada Ketua Komisi XI DPR Izedrik Emir Moeis, tahun lalu pada 26 Juli 2012. Adapun Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik-36/01/07/2012 atas nama Izedrik Emir Moeis (IEM) telah dikeluarkan, pada 20 Juli 2012. Namun selama ini Emir tak kunjung diperiksa. Baru pada hari ini Emir Moeis diperiksa sebagai tersangka dan akhirnya langsung ditahan.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, diduga menerima suap senilai lebih dari US$300.000 atau Rp2,8 miliar dalam pembangunan proyek PLTU di Tarahan, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tahun anggaran (TA) 2004.
Dalam kasus itu, Emir diduga menerima hadiah atau janji dalam kapasitasnya sebagai anggota DPR periode 1999–2004 dan atau periode 2004–2009 dari PT Alstom Indonesia (AI).
Emir Moies disangka melanggar pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a atau b, pasal 11 atau pasal 12B Undang-Undang (UU) No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Untuk kepentingan penyidikan, Emir Moeis telah dicegah ke luar negeri selama enam bulan.
Penyidikan proyek PLTU Tarahan ini merupakan pengembangan kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out customer information service rencana induk sistem informasi (CISRISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (Disjaya). [KbrNet/Inilah.com/adl/www.globalmuslim.web.id]

JAKARTA,  — Kepolisian menempati peringkat pertama sebagai lembaga yang dianggap paling korupsi oleh masyarakat di beberapa negara wilayah Asia Tenggara. Hal tersebut berdasarkan survei Global Corruption Barometer (GBC) 2013 oleh Transparency International (TI).
" Polisi lembaga dianggap lembaga paling korup di Asia Tenggara yaitu 3,9 dari skala 1 sampai 5," ujar Peneliti TI Indonesia, Wahyudi Tohari dalam rilis survei TI di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Selasa (9/7/2013).
Survei dilakukan dengan mengisi skor 1 sampai 5. Angka 1 berarti sama sekali tidak korup dan angka 5 berarti sangat korup.
Negara yang masyarakatnya menyebut kepolisian lembaga paling korup yaitu Indonesia, Malaysia, Filipin, Thailand dan Vietnam. Selain polisi, posisi berikutnya yaitu partai politik (3,6), pejabat publik (3,5), peradilan (3,4), dan parlemen (3,3).
Untuk Indonesia sendiri, kepolisian dan parlemen menempati urutan pertama yang dianggap paling korup (4,5). Kemudian, secara berrturut-turut yaitu peradilan (4,4), partai politik (4,3), pejabat publik (4), bisnis (3,4), kesehatan (3,3), pendidikan (3,2), militer (3,1), LSM (2,8), lembaga keagamaan (2,7), dan media (2,4).
" Polisi, parlemen, dan peradilan, tiga lembaga yang dianggap paling korup di Indonesia," kata Wahyudi.
Survei dilakukan pada 114.000 orang responden di 107 negara pada kurun waktu September 2012 hingga Maret 2013. Reponden merupakan masyarakat dengan populasi rumah tangga. Di wilayah Asia Tenggara mencakup negara Indonesia, Kamboja, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam. Di Indonesia sendiri survei dilakukan terhadap 1.000 responden di lima kota yaitu Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, dan Bandung.
Ketua Pengurus Harian TII Natalia Soebagjo mengatakan, polisi menjadi urutan pertama karena selama ini perannya paling dekat dengan masyarakat.
" Itu yang dirasakan oleh masyarakat. Ini hasil pengalaman orang itu sendiri. Poilisi adalah yang mereka alami. Tentu ini range-nya bisa pada praktik korupsi kecil-kecilan, seperti di jalanan tapi bisa sampe ke yang tinggi. Ini karena banyak layanan-layanan yang langsung dialami masyarakat," katanya.
Sementara itu, masyarakat di sebagian besar wilayah Asia Tenggara juga menilai masalah korupsi meningkat. Peningkatan paling banyak dirasakan masyarakat Indonesia yakni 72 persen responden menyatakan meningkat.
[www.globalmuslim.web.id]

994807_541531652560002_631107392_n.jpg (574×720)


JAKARTA - Ketua DPR Marzuki Alie mengaku tidak tahu adanya dana bagi korban Lumpur Lapindo pada APBNP 2013. Marzuki mengatakan dirinya tidak mengikuti rapat kerja Badan Anggaran (Banggar).
"Saya juga enggak tahu, tapi itu tugas teman-teman itu dibahas di teman-teman (Banggar)," kata Marzuki Alie di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (19/6/2013).
Marzuki menuturkan tidak menerima laporan mengenai masalah tersebut. Apalagi menyangkut dana Rp155 miliar untuk korban lumpur Lapindo.
"Pimpinan itu tidak ada proses sendiri. Tidak pernah diberitahukan ke pimpinan," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah akan menggelontorkan dana sebesar Rp155 miliar untuk membantun korban lumpur Lapindo. Hal itu tertuang dalam Pasal 9 Rancangan Rancangan Undang-Undang Nomor Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2013 (RUU APBN 2013)
Pasal 9 ayat 1 tersebut bertuliskan untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tahun anggaran 2013 dapat dipergunakan. Dalam Pasal 9 Ayat 1 APBN 2013 poin (a) dijelaskan alokasi dana bantuan diperuntukan bagi pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak di tiga desa: Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan.
Kemudian, alokasi anggaran juga digunakan bagi rukun tetangga di tiga kelurahan yakni Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi.
Postur anggaran juga dialokasikan untuk bantuan kontrak rumah pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar area terdampak. Bantuan tersebut mencakup kelurahan tiga kelurahan dan tujuh desa yang meliputi Kelurahan Mindi, Kelurahan Gendang, Kelurahan Porong, Desa Pamotan, Desa Kalitengah, Desa Gempolsari, Desa Glagaharum, Desa Besuki, Desa Wunt, Desa Ketapang.
Alasan pemerintah memberikan bantuan bagi korban lumpur Lapindo untuk menyelamatkan perekonomian dan kehidupan sosial kemasyarakatan di sekitar tanggul Sidoarjo. Anggaran yang diperuntukan bagi BPLS dapat digunakan untuk kegiatan mitigasi penanggulangan semburan lumpur termasuk di dalamnya penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong. “Pagu paling tinggi sebesar Rp 155 miliar,” tulis Pasal 9 ayat 2.(tribunnews/www.globalmuslim.web.id)

Kembali Demokrasi menampakkan wajah aslinya yang mengerikan. Dalam voting pada senin malam (17/6) jumlah yang  pro RAPBN-P 2013 menang mutlak 338 suara . Sementara yang kontra 181 suara. Ini berarti pemerintah tidak lagi memiliki halangan untuk  menaikkan harga BBM.
Mengerikan, bagaimana mungkin kebijakan yang akan sangat mempengaruhi nasib rakyat, ditentukan dengan voting . Itupun dalam suasana yang penuh canda, lelucon, dan celetukan-celetukan yang tidak lucu dari wakil rakyat yang lembaganya kerap mendapat gelar lembaga korup itu.
Padahal apapun argumentasi mereka yang menaikkan BBM, kebijakan ini pasti akan menambah penderitaan rakyat. Selama ini tidak pernah terbukti,kenaikan BBM, membuat rakyat lebih sejahtera, pelayanan pendidikan dan kesehatan masyarakat semakin baik. Tidak pernah terbukti. Yang terjadi adalah sebaliknya.
Ketika voting yang menentukan, kita juga mempertanyakan, apa relevansinya argumentasi pro dan kontra yang diajukan oleh masing-masing pihak ?Benarlah apa yang pernah dikatakan oleh Muhammad Iqbal, pemikir Pakistan, saat mengkritik demokrasi. “Demokrasi hanya menghitung jumlah kepala, tapi tidak memperhitungkan isi kepala (pemikiran)!
Klaim bahwa demokrasi akan menjadikan suara rakyat sebagai penglima juga tidak terbukti. Rakyat banyak sesungguhnya tidak pernah dilibatkan apalagi menjadi penentu dalam pengambilan keputusan ini. Yang mentukan adalah  anggota DPR yang dikontrol oleh pemilik modal, yang mengklaim wakil rakyat, bertindak atas nama rakyat, namun bukan untuk kepentingan rakyat. Yang diuntungkan dalam kebijakan ini jelas-jelas adalah para pemilik modal yang bermain dalam bisnis minyak ini baik di hulu maupun di hilir.
Rakyat nyaris tidak pernah ditanya, apakah mereka setuju atau tidak. Suara-suara rakyat justru diabaikan atau dibungkam. Yang ada adalah kampanye sepihak penguasa yang terus menyebarkan kebohongan tentang pentingnya kenaikan BBM ini. Hasil survey Lembaga Survei Nasional (LSN), dimana sebanyak 86,1% responden menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM, 12,4% setuju dan 1,5% responden menyatakan tidak tahu, tentu tidak diperhitungkan sama sekali.
Seperti yang ditulis peraih hadiah nobel ekonomi, Josep Stiglitz ketika mengkritik kondisi politik ekonomi Amerika, yang terjadi bukanlah dari rakyat, oleh rakyat , dan untuk rakyat. Namun Of the 1 %, by the  1%, for 1 %. Menurut Stigliz apa yang terjadi dalam proses politik demokrasi Amerika sepenuhnya dikendalikan oleh sekelompok kecil orang , yakni 1 % dari orang-orang superkaya, yang menggunakan pengaruh politik mereka untuk memastikan bahwa ekonomi Amerika diatur sedemikian rupa sehingga mereka (para pemilik modal yang 1 % itu) merupakan penerima manfaat yang utama.
Hal yang lebih kurang sama terjadi di Indonesia. Kebijakan ini tidak lain untuk melayani kepentingan segelintir pemilik modal terutama asing dengan komprador lokalnya. Kenaikan harga BBM ini tidak lain merupakan kepatuhan total terhadap merupakan amanat Letter of Intens (LoI) International Monetary Fund (IMF). IMF mewajibkan Indonesia menghapuskan subsidi BBM. Walhasil pangkal masalahnya  adalah kebijakan liberalisasi migas yang dilegalkan oleh UU pro liberal yang merupakan produk demokrasi.
Menaikkan BBM meskipun menyengsarakan rakyat, merupakan kepatuhan rezim SBY sebagai anggota G20. Dalam forum G-20 di Pittsburgh (2009) dan Gyeongju (2010), proposal penghapusan subdisi BBM makin gencar disuarakan. Di Pittsburgh, G20 memaksa negara anggotanya, termasuk Indonesia, segera menghapus subsidi BBM secara bertahap. Di Gyeongju, Korea Selatan, Pemerintah Indonesia menjanjikan akan melaksanakan penghapusan subdisi energi, khususnya BBM dan TDL, dimulai pada tahun 2011.
Dalam sistem demokrasi, rakyat justru selalu dikorbankan lewat kebijakan yang mengatasnamakan rakyat. Memang setiap kebijakan politik pastilah beresiko, yang kita pertanyakan kenapa rezim demokratis ini selalu memilih resiko yang membuat rakyat menderita. Kalaupun kekurangan dana , kenapa pemerintah tidak mengambil alih pengelolaan tambang-tambang emas, minyak, batu-bara, yang sebagian besar dikuasai oleh asing ?
Kenapa SBY tidak melakukan penghematan anggaran mulai dari diri dan birokratnya terlebih dahulu. Pemborosan anggaran justru banyak dilakukan oleh pejabat negara : gaji Presiden SBY mencapai US$ 124.171 atau sekitar Rp 1,1 miliar per tahun (tertinggi ketiga di dunia); anggaran perjalanan dinas para pejabat negara Rp 21 trilun.
Menurut FITRA, Presiden SBY menghabiskan Rp 839 juta hanya untuk urusan bajunya. Sementara anggaran furniture Istana Negara mencapai Rp 42 miliar setiap tahunnya. Untuk penyusunan pidatonya saja, Presiden SBY pun harus menggerus dana APBN sebesar Rp1,9 milyar. Sedangkan untuk kebutuhan pengamanan pribadi, presiden SBY juga menggelontorkan uang APBN sebesar Rp52 milyar. Ini menunjukkan tidak ada memori kepentingan rakyat dalam benak rezim SBY !
Dengan mengembalikan kepemilikan tambang-tambang ini   kepada rakyat, dan menggunakan keuntungannya sepenuhnya  untuk rakyat,  pemerintah akan bisa mengatasi banyak persoalan kekurangan dana di Indonesia. Kenapa pemerintah justru lebih takut kepada IMF dan Bank Dunia, dibanding kepada rakyat ?
Bukti bahwa rezim SBY lebih melayani negara-negara Barat imperialis, bisa dilihat ketika rezim ini menyetorkan dana  38,1 trilyun kepada IMF untuk menyelamatkan kebangkrutan negara-negara Barat. Ironisnya, untuk obat atas kenaikan BBM pemerintah hanya memberikan kompensasi  sebesar 9,3 trilyun untuk rakyat.
Bukti lain rezim SBY melayani segelintir elit pemilik modal, Pemerintah menyiapkan dana sebesar Rp 155 miliar untuk penanggulangan bencana Lumpur Lapindo, di Jawa Timur. Hal itu terungkap dalam Pasal 9 Rancangan Undang-Undang (RUU) Tahun 2013 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013. Padahal bencana Lapindo ulah pengusaha yang rakus yang masih kaya raya hingga kini. Bisa jadi ini merupakan kompensasi dari dukungan partai tertentu terhadap kenaikan BBM.
Kita kembali teringat apa yang disebutkan oleh Syekh Taqiyuddin an Nabhani dalam kitab Nida’ul Har (Seruan Hangat), tentang penyebab terjadinya tragedi di dunia Islam. Pendiri Hizbut Tahrir ini  menegaskan: “Sesungguhnya umat Islam telah mengalami tragedi karena dua musibah. Pertama, penguasa mereka menjadi antek-antek kafir penjajah. Kedua, di tengah mereka diterapkan hukum yang tidak diturunkan oleh Allah, yaitu diterapkan sistem kufur.
Hal ini tampak jelas di Indonesia. Munculnya kebijakan yang merugikan rakyat seperti ini tidak lain disebabkan karena keberadaan rezim penguasa, yang menjadi boneka negara-negara imperialis. Membebek dan tunduk terhadap tekanan penguasa kafir penjajah melalui organ-organ penjajahan mereka seperti IMF dan Bank Dunia.  Rezim penguasa dengan dukungan menteri-menteri pro liberal, anggota parlemen yang korup, lebih memilih melayani kepentingan asing dari pada rakyat mereka sendiri.
Namun semua ini bisa berlangsung karena ada sistem politik dan ekonomi yang melegalkannya. Yaitu sistem demokrasi dan ekonomi kapatalis yang diterapkan di Indonesia.
Karena itu perubahan nyata akan terjadi, berbagai derita rakyat akan bisa dihilangkan, kalau dua penyebab ini dihentikan. Pertama dengan mengganti sistem kufur demokrasi dengan sistem negara Khilafah yang menerapkan  syariah Islam secara totalitas . Dan yang kedua adalah mengganti penguasa-penguasa boneka di negeri Islam dengan penguasa (Kholifah) yang amanah dan melayani kepentingan rakyat. Inilah yang harus menjadi agenda bersama perjuangan umat.
Terakhir, kita mengingatkan kepada rezim SBY, doa Rosulullah bagi penguasa yang mendzolimi rakyatnya sendiri. Ya Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memberatkan/menyusahkan mereka, maka beratkan/susahkan dia; dan barang siapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dia dengan baik. (HR Ahmad dan Muslim).Allahu Akbar (Farid Wadjdi)
[www.globalmuslim.web.id]
Powered by Blogger.