Imam Malik ra. lahir pada tahun 93 H di Kota Madinah Munawarah. Imam Malik menghapal al-Quran al-Karim sejak dini sebagaimana kebiasaan keluarga Muslim pada zamannya. Lalu ia menghapal hadis. Saat ia mengutarakan keinginannya kepada ibunya untuk mencari ilmu, ibunya memakaikan kepadanya pakaian yang paling bagus, dengan surban di kepalanya. Lalu ibunya berkata, “Pergilah ke Rabi’ah dan belajarlah adab (akhlak) sebelum ilmunya.” (Qadhi ‘Iyad, Al-Madarik, hlm. 115; Muhammad Ahmad al-Muqaddam,Awdah al-Hijâb II/207).
Imam Malik pernah ber-mulâzamah (belajar terus-menerus) kepada Ibnu Hurmuz selama tujuh tahun sejak awal masa pertumbuhannya. Ia pernah mendengar Ibnu Hurmuz berkata, “Sudah sepantasnya seorang ‘âlim mewariskan kepada para murid-muridnya perkataan, ‘Saya tidak tahu.’”
Karena itulah, menurut Ibnu Wahab, saat banyak pertanyaan ditanyakan kepada Imam Malik, ia tidak malu untuk berkata, “Saya tidak tahu.”
Imam Malik adalah orang yang sangat memperhatikan adab saat menghadap guru-gurunya. Ia pernah ber-mulâzamah kepada Nafi’, pembantu Ibnu Umar, dan berkata, “Saya mendatangi Nafi’ pada tengah hari. Saya tidak dinaungi pepohonan dari sengatan matahari. Saya menunggu lama keluarnya beliau. Saat beliau keluar, saya biarkan dulu beberapa saat seakan saya tidak melihat beliau. Kemudian saya menemui beliau, mengucapkan salam kepada beliau dan membiarkan beliau sampai beliau masuk. Baru saya berkata, ‘Bagaimana perkataan Ibnu Umar tentang masalah ini dan itu?’ Seraya beliau menjawab, saya serius mendengarkan.” (Ibn Farhun, Ad-Dibâj al-Madzhab fî Ma’rifah A’yân Ulamâ’ al-Madzhab, hlm. 117).
Setelah Imam Malik menyempurnakan belajarnya tentang atsar (hadits) dan fatwa, ia mulai mengajar di Masjid Nabawi untuk mengamalkan ilmunya pada umur 17 tahun. Terkait itu, Imam Malik ra. pernah berkata, “Tidaklah saya berfatwa kecuali disaksikan oleh 70 masyayikh dari kalangan para ulama bahwa saya berhak untuk itu.” (Al-Madârik, hlm. 127).
Imam Malik ra. memiliki kebiasaan baik dalam menghadiri majelis ilmu. Ia selalu tampil rapi, berpakaian bagus dan berhias untuk menghadiri majelis ilmu. Karena itu ia tampak berwibawa dan berbeda dengan yang lainnya. Tentang ini, al-Waqidi berkomentar, “Majelisnya adalah majelis yang berwibawa dan penuh dengan nuansa ilmu.”
Imam Malik sangat berkomitmen dalam berfatwa. Ia selalu hati-hati, berpikir mendalam dan tidak tergesa-gesa dalam berfatwa. Terkait ini, Imam Malik pernah berkata, “Siapa saja yang ingin menjawab pertanyaan (berfatwa), hendaknya ia memikirkan nasibnya di neraka dan surga serta bagaimana ia selamat di negeri akhirat.” (Ibn Farhun, Ad-Dibâj al-Madzhab fî Ma’rifah A’yân Ulamâ’ al-Madzhab, hlm. 117).
Banyak ulama memuji Imam Malik. Sufyan bin ‘Uyainah, misalnya, berkata, “Saya tidak melihat Madinah kecuali akan rusak setelah wafatnya Malik bin Anas”.
Imam Syafii berkata, “Jika para ulama disebutkan maka Imam Malik adalah bintang (pakar)-nya…Siapa saja yang menginginkan hadis sahih hendaknya (menemui) Imam Malik.”
Ahmad bin Hanbal berkata, “Malik adalah imam dalam ilmu hadis dan fikih.”
Al-Qadhi ‘Iyadh pun berkata, “Imam Malik adalah rujukan satu-satunya sejak bertahun-tahun yang lalu.” (Al-Madarik, hlm 111).
Banyak hal menarik terkait sikap Imam Malik terkait ilmu. Ia, misalnya, pernah ditanya tentang firman Allah SWT: Ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawâ (Allah bersemayam di atas ‘Arsy). Beliau lalu menjawab, “Al-Istiwâ’ itu diketahui. Adapun caranya bagaimana tidak diketahui. Bertanya tentang itu adalah bid’ah.” (Siyar A’lâm an-Nubalâ’, XVIII/474).
Imam Malik tak pernah sedikit pun menyepelekan ilmu. Ia pernah ditanya seseorang dan mengatakan, “Ini masalah sepele.” Mendengar itu, ia marah dan berkata, “Bagaimana bisa dikatakan sepele!” Ilmu itu tak ada yang sepele. Tidakkah engkau mendengar firman Allah SWT (yang artinya): Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepada kamu perkataan yang berat (TQS al-Muzzammil: 5). Semua ilmu itu berat, khususnya yang akan ditanya pada Hari Kiamat (Al-Madarik, hlm. 162).
Imam Malik pernah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Tahdzîb al-Kamâl, I/161).
Ia juga pernah bertutur, “Ilmu itu bukan dengan (menghapal) banyak riwayat. Akan tetapi, ilmu itu adalah cahaya yang Allah tanamkan di dalam kalbu.” (Al-Kamâl li ‘ibn ‘Adî, I/25).
Ia pun pernah memberi nasihat, “Janganlah mengambil ilmu dari empat jenis orang, tetapi ambillah dari selain mereka. Jangan mengambil ilmu dari orang bodoh yang terang-terangan menunjukkan kebodohannya meski dia orang yang paling terpandang di hadapan manusia; jangan pula dari orang yang didominasi hawa nafsu dan kepentingannya yang menyeru manusia sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya; jangan pula dari pendusta yang banyak berdusta di hadapan manusia meski kamu tidak menganggap dia mendustakan Rasulullah saw.; jangan pula dari orang tua yang ahli ibadah dan memiliki keutamaan jika dia tak memahami apa yang dia bicarakan (bukan orang faqîh).” (Al-Kamâl li ‘ibn ‘Adî, I/92).
Imam Malik menerima hadis dari 900 orang (guru), 300 dari tâbi’în dan 600 dari tâbi’ tâbi’în. Imam Malik lalu menyusun kitab Al-Muwaththa’ yang menghimpun 100.000 hadis. Kitab ini diriwayatkan oleh tak lebih dari seribu orang.
Imam Malik adalah ulama yang tak pernah menjilat penguasa. Diriwayatkan, dalam sebuah kunjungan ke Kota Madinah untuk menziarahi Makam Rasulullah saw., Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid (penguasa saat itu), tertarik mengikuti kajian Al-Muwaththa’ Imam Malik. Untuk itu Khalifah mengutus Yahya bin Khalid al-Barmaki untuk memanggil Imam Malik. Namun, Imam Malik menolak untuk mendatangi Khalifah seraya berkata kepada utusan Khalifah itu, “Al-‘Ilmu yuzâr wa lâ yazûr, yu’tâ wa lâ ya’tî (Ilmu itu dikunjungi, bukan mengunjungi; didatangi, bukan mendatangi).”
Akhirnya, terpaksa Khalifah Harun ar-Rasyid mengalah. Ia lalu mendatangi Imam Malik dan duduk di majelisnya. Sedianya Khalifah ingin jamaah meninggalkan majelis tersebut. Namun, permintaan itu ditolak oleh Imam Malik. “Saya tidak bisa mengorbankan kepentingan orang banyak hanya demi kepentingan seorang.”
Sang Khalifah pun akhirnya mengikuti kajian Imam Malik dan duduk berdampingan dengan rakyat kecil (Lihat: Al-‘Ashami, Samth an-Nujûm al-‘Awâlî fî Anbâ’ al-Awâ’il at-Tawâlî, II/2014).
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]
[htipress/www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment