“Seharusnya kita melihat kasus-kasus TKI itu dari sudut pandang pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam konstitusi, misalnya hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan hidup yang layak dan sebagainya,” demikian diungkapkan Pakar Hukum Johnson Panjaitan dalam diskusi bertema “ TKI Buntung, TKI Dipancung, Siapa Bertanggungjawab” yang digelar di Rumah Perubahan, Jakarta (27/06/2011)
Hal itu, menurut Johnson, tentu terkait dengan cita-cita para Founding Fathers dalam mendirikan negara Indonesia. Tetapi kalau melihat praktek-praktek pengelolaan negara yang menyebabkan adanya jutaan TKI dan sebagian diantaranya mendapat siksaan, gaji tidak dibayar, diperkosa bahkan dihukum mati karena membunuh majikannya yang sebelumnya telah menyiksanya berulang kali, maka ini adalah pengkhianatan yang nyata terhadap negara. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab atas hal ini.
Menurut Johnson, TKI itu sebetulnya orang-orang yang sangat hebat. Sebelum mereka mendapatkan pekerjaan mereka atas perintah Undang-undang harus membayar $ 15 ditambah Rp 400 ribu, diluar paspor. Belum biaya-biaya pelatihan yang bisa jutaan. Saya saja mau jadi advokat bayarnya belakangan.
”Kalau sudah terjadi pelanggaran konstitusi seperti ini masa iya sih kita masih diam saja? Seharusnya ada amandemen UUD yang memperjelas hak-hak dasar rakyat seperti hak atas pekerjaan, untuk hidup layak dan sebagainya,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan, sebetulnya Indonesia itu sudah meratifikasi hak-hak perempuan untuk bekerja tanpa diskriminasi sudah 25 tahun yang lalu. Jauh lebih dulu dari negara-negara berkembang yang lain. Namun dalam kenyataannya sangat berbeda. Diplomasi kita untuk TKI, menurut Anis, itu hanya untuk menjaga citra, tidak untuk membela mati-matian dan melindungi hak-hak dasar TKI.
“Kasus Darsem misalnya pemerintah kita bayar diat ( denda ) itu sebetulnya bisa dikatakan diplomasi bayar nyawa. Bukan menyelesaikan masalah mendasar TKI. Dalam kasus Ruyati misalnya, akhirnya terungkap bahwa didepan sidang pengadilan yang ancamannya hukuman mati itu ternyata Ruyati tidak didampingi lawyer. Demikian pula terungkap bahwa surat pemerintah Indonesia ke pemerintah Arab Saudi tentang kasus Ruyati hanya didasarkan atas klipping surat kabar disana, bukan dokumen-dokumen sidang pengadilan Ruyati,” ungkap Anis
Post a Comment