Para orang tua tersebut mempertanyakan transparansi besar uang bayaran. "Saya memang belum bayar sejak Juli tahun lalu, bukannya tidak mau, tetapi saya minta transparansi," ujar Kusman, salah satu orang tua murid kelas VII.
Para murid di SMP 1 tersebut diwajibkan membayar sumbangan rutin bulanan (SRB) yang besarnya berbeda-beda tiap orang tua. Kusman diwajibkan membayar Rp150 ribu. Tak hanya itu sekolah yang menyatakan diri sebagai rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) tersebut juga menarifkan uang gedung sebesar Rp7juta. Hingga saat ini tercatat 125 siswa belum melunasi sumbangan itu.
Menurut Kusman, pengelolaan uang di sekolah tersebut tidak transparan. Dirinya sudah setahun mempertanyakan anggaran penggeluaran dan belanja sekolah, namun belum juga diberikan penjelasan.
Kusman memaparkan awalnya ia rutin membayar SRB. Namun sejak anaknya duduk di bangku kelas IX ia tidak lagi membayar SRB. "Kita diulur-ulur terus, katanya masih disusun, belum jadi, dan lain-lain. Intinya tidak mau memberikan laporan keuangan sekolah," ujarnya.
Saat hendak mengambil rapor, ia diminta menunjukkan semacam rekomendasi dari Komite Sekolah bahwa ia sudah membayar SRB, atau tidak akan diberikan rapor anaknya.
Hal senada diungkapkan Diana, ia tidak bisa mengambil laporan nilai putranya yang duduk di kelas VII itu karena sudah beberapa bulan tidak membayar. "Saya bayar Rp600 ribu sebulan, tetapi tidak ada pertanggungjawabannya, kemana uang itu dikeluarkan," ujarnya.
Roslina, orang tua murid lainnya mengaku membayar Rp500 ribu per bulan namun tidak pernah tahu pengeluaran sekolah. "Saya sudah enam bulan tidak bayar, karena ada yang Rp350 ribu, ada yang Rp400 ribu. Beda-beda, dan dasarnya tidak jelas kenapa berbeda, tidak ada pertanggung jawabannya," kesalnya. Roslina akhirnya mendapat rapor setelah banyak berdebat dengan wali kelas anaknya.
Sedangkan Sekretaris Aliansi Orangtua Murid Peduli Pendidikan Indonesia (APPI) Jumono yang mendampingi para orang tua murid ini mengatakan, ada puluhan orang tua yang belum bisa mendapat rapor anak mereka. "Hal ini sangat kita sayangkan, mengapa tidak ada transparansi kepada orang tua murid, malah anak menjadi korban karena rapornya tidak bisa diambil," ujarnya. Bersama para orang tua murid, mereka pun melapor ke Komnas Perlindungan Anak dan Dinas Pendidikan DKI mengenai masalah ini. Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menerima pengaduan tersebut menyatakan siap menindaklanjuti pengaduan tersebut. Saat ini pihaknya tengah menunggu dokumen lengkap dari para orang tua murid.
"Ini melanggar hak anak. Harus dicari tahu kenapa sebelumnya bisa dilarang menerima rapor," ungkap Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait.
Sementara itu Wakil Kepala SMPN 1 Susanto Marto membantah pihak sekolah menahan rapor siswa. Menurutnya, masalah iuran diserahkan seluruhnya ke komite sekolah. "Saya juga tidak mengerti transparansi seperti apa yang diinginkan para orang tua murid, seharusnya aksi protes ini tidak perlu terjadi namun bisa dibicarakan dengan baik-baik," ujarnya. Menurutnya, iuran yang dibayarkan para orang tua murid digunakan sebagai biaya pendalaman materi. (VB/OL-2) MICOM
Post a Comment