Para pengamat melihat, banyak pihak yang berkepentingan terhadap pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi. Pasalnya, pengiriman TKI/TKW ke Arab Saudi telah dijadikan bisnis oleh berbagai pihak tanpa memperhatikan pekerjanya.
Prof Sulistyowati Irianto, Ketua Pusat Kajian Wanita dan Jender serta guru besar Universitas Indonesia, mengungkapkan ada ratusan agen pengerah TKW/TKI di Condet. Selain itu, berdiri pula segala usaha pendukung pengerah TKI/TKW seperti jasa pengiriman barang, travel, atau kantor hukum. Para pemilik agen, kata dia, mayoritas adalah warga keturunan Arab.
Sejak dari perekrutan, yang menentukan mereka (TKW/TKI) pergi atau tidak adalah broker kampung. Jangan heran kalau broker kampung itu menjanjikan surga di tanah Arab. “Mereka sangat terkejut karena bayangan mereka tentang tanah harapan itu sama sekali tidak sesuai dengan harapan,” kata Sulistyowati.
Bukti bahwa nyawa TKI sangat murah bisa dilihat dalam kasus TKW Ruyati yang dihukum pancung Pemerintah Arab Saudi. Keluarga Ruyati hanya diberi santunan hanya sekitar Rp97 juta. Uang itu terdiri dari santuan meninggal Rp45 juta serta 7 bulan gaji yang belum dibayar Rp12.325.600.
Juga ditambah uang duka konsorsium asuransi Rp20 juta, uang duka dari Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) Rp10 juta, uang dari Menakertrans Muhaimin Iskandar Rp5 juta dan BNP2TKI Rp5 juta. Uang itu diserahkan langsung ke ahli waris almarhumah Ruyati di Sukatani, Bekasi.
Padahal para pahlawan devisa ini meninggalkan Indonesia ke Arab Saudi meninggalkan harta benda dan keluarga. “Saya kira banyak pihak berkepentingan," kata Wahyu Susilo, analis Kebijakan Publik Migrant Care, saat diskusi di Jakarta, Sabtu (25/6/2011).
TKW/TKI kerap sangat dirugikan dengan adanya perubahan kontrak sepihak oleh agen penyalur dan majikan. Sebelum diberangkatkan, calon TKI dibuatkan kontrak yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI.
Sampai di sana ada kontrak baru yang harus ditandatangani. Lalu ada kontrak lain yang pekerja tidak dilibatkan, yaitu kontrak yang dibuat agensi dengan majikan. Itu salah satunya mengatur besarnya gaji. “Yang diterima bisa setengah upah minimum di sana," tutur Sulistyowati.
Dengan kata lain, TKI/TKW menjadi korban karena bekerja penuh risiko dengan upah relatif murah dan dalam posisi sebagai budak di Saudi atau negeri Arab lainnya.
Karena itu, penghentian pengiriman TKI/TKW ke Timur Tengah dan negara lain merupakan kaharusan. Ruyati harus menjadi korban terakhir kekerasan struktural ini. Jangan ada Ruyati lain yang dipancung, cukup sudah. [mdr/inilah]
Post a Comment