Pengantar:
Dalam konteks Daulah Islamiyah, manuver politik (al-munâwarât as-siyâsiyah) adalah tindakan yang dilakukan oleh Negara (Daulah) demi meraih tujuan tertentu yang berbeda dengan tujuan yang ditampakkan secara kasat mata oleh tindakan yang dimaksud. Dengan kata lain, manuver politik dilakukan demi merahasiakan tujuan yang sebenarnya. Contohnya adalah ketika Daulah Islamiyah menggerakkan sebagian pasukan militernya ke arah tertentu padahal yang dibidik sebetulnya adalah arah yang lain.
Tulisan ini sekadar ingin mengupas lebih jauh manuver politik yang dimaksud, yang secara singkat dimuat dalam buku, Muqaddimah ad-Dustûr, pasal 173, halaman 432-434, yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1963. Ihwal manuver politik ini juga disinggung secara implisit dan serba sedikit dalam beberapa kitab lain seperti Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr, karya Taqiyuddin an-Nabhani, yang juga dikeluarkan Hizbut Tahrir, tahun 1969; juga pada buku As-Siyâsah wa Siyâsah Duwaliyah, karya Dr. Samih ‘Athif Azzein, yang diterbitkan asy-syirkah al-‘Alamiyyah li al-Kitâb tahun 1987.
Meskipun dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr sendiri pembahasan manuver politik lebih dalam konteks Daulah Islamiyah, tulisan ini akan memperluas bahasannya pada manuver politik negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika, yang disinggung secara implisit dan serba sedikit dalam beberapa kitab yang disebutkan di atas. Manuver politik Barat kapitalis, khususnya AS, tentu saja perlu diketahui segera. Sebab, manuver politik mereka, di samping merupakan sesuatu yang real dihadapi saat ini, juga sangat berbahaya bagi kaum Muslim dan negeri-negeri Islam.
Manuver Politik Daulah Islamiyah
Dalam konteks Daulah Islamiyah, manuver politik yang dilakukan Negara (Daulah) adalah terbatas dalam tindakan, tidak dalam hal-hal yang bersifat prinsipil atau berupa pemikiran. Dalam kitab Muqaddimah ad-Dustûr disebutkan bahwa manuver politik (al-munâwarât as-siyâsiyah) adalah sangat urgen dalam politik luar negeri Daulah Islamiyah. Kekuatannya terletak pada kemampuan Negara (Daulah) memperlihatkan tindakan tertentu tetapi dengan merahasiakan tujuannya.
Pada masa lalu, sebagai kepala negara, Rasulullah saw. juga pernah melakukan sejumlah manuver politik. Di antaranya adalah pembentukan pasukan sarâyâ yang dilakukan beliau pada masa-masa akhir tahun pertama hijrah dan masa-masa awal tahun kedua hijrah. Saat itu, yang menonjol dalam pembentukan pasukan tersebut adalah keinginan Rasulullah saw. untuk memerangi orang-orang Qurays. Padahal, pada hakikatnya, hal itu dilakukan oleh Rasul sekadar untuk melakukan teror terhadap mereka, serta agar sejumlah kabilah Arab lain (non-Qurays) bersikap netral dalam perseteruan yang berlangsung antara Rasul/kaum Muslim dan orang-orang Qurays. Buktinya, saat itu Rasul hanya mengerahkan jumlah pasukan yang sangat sedikit, sekitar 60-300 pasukan; jumlah yang tidak memadai untuk memerangi orang-orang Qurays. Di samping berhasil meneror orang-orang Qurays, manuver tersebut juga menghasilkan perjanjian dengan sejumlah kabilah Arab, seperti dengan aliansi Bani Dhamrah dan Bani Mudalij.
Di antara manuver politik lain yang dilakukan Rasulullah adalah perginya beliau ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji meskipun saat itu masih dalam kondisi perang antara beliau dan orang-orang Qurays, sementara Makkah sendiri masih berada di bawah kekuasaan mereka. Maksud dari perjalan Rasulullah ini sebetulnya adalah untuk melakukan gencatan senjata dengan pihak Qurays dalam rangka memukul orang-orang Khaibar. Sebab, Rasul tahu bahwa telah terjadi semacam negosiasi antara Qurays dan Khaibar untuk memerangi Madinah. Bukti bahwa hal itu sekadar merupakan manuver politik Rasul adalah kesediaan beliau untuk kembali (tidak sampai menunaikan ibadah haji), setelah tercapai gencatan senjata dengan pihak Qurays. Dua minggu kemudian, setelah Rasul kembali ke Madinah, beliau segera melancarkan serangan kepada orang-orang Khaibar sekaligus menaklukan mereka.
Manuver Politik Barat
Manuver politik Daulah Islamiyah, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Rasulullah saw. di atas, ternyata berbeda dengan manuver politik negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika. Jika Daulah Islam melakukan manuver politik hanya dalam level aksi/tindakan, maka negara-negara Barat kapitalis dengan AS sebagai gembongnya melakukan manuver politik dalam semua level. Sebab, bagi mereka, manuver politik sudah merupakan metode baku (tharîqah) untuk melakukan tipudaya, memanipulasi kebenaran, sekaligus mengisap dan menjajah bangsa-bangsa serta mengeksploitasi kekayaan mereka. Prinsip mereka yang terkenal, yakni, “menghalalkan segala cara demi meraih tujuan,” menjadi dasar bagi setiap manuver politik yang mereka lakukan.
Negara-negara Barat kapitalis, dengan AS sebagai gembongnya, pada dasarnya biasa melakukan manuver politik dalam seluruh aspek: pemikiran, tindakan, maupun sarana; baik dalam hal-hal yang prinsipil maupun yang bukan; baik dalam hal-hal yang bersifat politik maupun bukan. Semua itu didasarkan pada alasan adanya perkembangan dan perubahan situasi dan kondisi politik ataupun yang lainnya, selain tentu saja didasarkan pada “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuannya adalah dalam rangka melakukan penyesatan serta manipulasi pemikiran dan politik; juga dalam rangka melakukan eksploitasi atas bangsa-bangsa yang ada demi memenuhi berbagai kepentingan mereka.
Dalam level pemikiran, AS melakukan manuver politik secara real dan praktis di seputar gagasan tentang demokrasi, kebebasan, egalitarianisme (persamaan), sekularisme, dan seluruh pemikirannya yang kapitalistik; juga dalam sejumlah pemikiran tentang HAM, terorisme, oposisi, pluralisme, dialog antaragama dan antar peradaban, kemerdekaan, tata dunia baru, PBB, serta seluruh pemikiran strategisnya—yakni menyangkut berbagai tindakan dan sarana yang berkaitan erat dengan berbagai pemikiran kapitalistiknya.
Secara konseptual/teoretis, pemikiran-pemikiran kapitalisme di atas memang memiliki maksud, makna, dan tujuan tertentu (yang dikesankan mulia). Akan tetapi, dalam tataran praktis, ideologi kapitalisme menghalalkan adanya penyimpangan terhadap pemikiran-pemikirannya. Gagasan demokrasi, misalnya, secara teoretis menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam negara. Akan tetapi, secara praktis, di AS dan Inggris sendiri (yang notabene negara demokrasi garda depan), yang berdaulat sesungguhnya adalah kaum kapitalis. Penyimpangan pemikiran semacam ini memang diperlukan demi mengeksploitasi bangsa-bangsa mereka semata-mata demi kepentingan kaum kapitalis.
Karena itu, meskipun secara teoretis AS, misalnya, sering berteriak dan berkoar-koar tentang demokrasi, HAM, kemerdekaan, dsb, tetapi secara praktis, AS sering melakukan sejumlah tindakan yang justru antidemokrasi, melanggar HAM, dan tidak jarang sangat otoriter. Serangan AS atas Afganistan dan Irak adalah contoh paling mutakhir dari tindakan AS yang menyalahi gagasan demokrasi dan HAM yang diembannya. AS juga sering melakukan berbagai tekanan, perampasan, penguasaan secara paksa, menyalakan api permusuhan, menciptakan berbagai krisis, serta membuat berbagai perangkap—yang semua itu dibungkus dengan berbagai pemikirannya yang destruktif (merusak), baik secara konseptual maupun praktis.
Karena itu, kapitalisme dan seluruh bangunan pemikirannya pada dasarnya merupakan pemikiran yang dapat membunuh manusia, karena mereka—dalam hal ini para kapitalis dan bangsa Amerika—melegalkan hegemoni dan dominasi atas bangsa-bangsa di dunia. Dengan itu, para kapitalis menumpahkan darah bangsa-bangsa yang ada di dunia, memanfaatkan kelemahan mereka, serta mengeksloitasi potensi dan kekayaan mereka sehingga bangsa-bangsa tersebut dijadikan oleh mereka semacam budak.
Para elit penguasa AS pada dasarnya tidak lebih merupakan alat para kapitalis yang jahat ini. Karena itu, wajar jika setiap perkara selalu menjadi bahan eksploitasi dan manuver bagi para kapitalis. Karena itu pula, tidak aneh jika mereka pun mengeskploitasi PBB dan lembaga-lembaga yang ada di bawahnya serta melakukan manuver dalam berbagai pemikiran, tindakan, dan sarana yang ada. Mereka juga mengeksploitasi berbagai lembaga regional (seperti ASEAN) maupun transnasional demi merealisasikan berbagai kepentingan kaum kapitalis yang tidak pernah mengenal rasa puas ataupun merasa cukup. Mereka, misalnya, tak segan-segan menghancurkan dan melenyapkan barang-barang dagangan dalam jumlah sangat besar hanya sekadar untuk menjaga stabilitas harganya di pasar semata-mata demi kepentingan egoistik mereka; meskipun kebanyakan manusia masih ada yang miskin, serba kekurangan, bahkan kelaparan dan tentu saja membutuhkan barang-barang tersebut. Mereka juga banyak menjerumuskan berbagai bangsa di dunia ke dalam kancah perang, pertikaian, dan berbagai bencana semata-mata demi memenuhi nafsu imperialistik dan hegemoniknya atas bangsa-bangsa tersebut. Karena itu, sangat tidak aneh jika kita melihat berbagai pemikiran dan tindakan ‘setan’ yang mereka lakukan. Sebab, mereka memang tidak berbeda dengan iblis dalam hal melakukan manipulasi, pengkaburan, makar, tindakan busuk, dan berbagai penyesatan lainnya.
Untuk melepaskan diri dari bahaya tindakan kaum kapitalis ini dan mengalahkan mereka hanya mungkin dilakukan dengan cara bersikap istiqamah. Karena itu, upaya menentang berbagai tindakan busuk dan sarana kaum kapitalis ini—dalam medan politik—tidak cukup dengan cara mengalahkan mereka, membangkitkan perlawanan, dan memerdekaan diri pada diri setiap bangsa dari setiap hegemoni, imperialisme, dan perang yang mereka kobarkan; tidak juga cukup dengan menghancurkan kekuatan mereka. Sebab, pada faktanya, kaum kapitalis hanyalah salah satu buah dari pemikiran kapitalisme yang rusak dan busuk. Karena itu, upaya melawannya harus dimulai dari akar hingga rantingnya, yakni memberangus ideologi kapitalisme itu sendiri serta para pengembannya yang berusaha menyebarluaskan ideologi tersebut melalui jalan imperialisme dan hegemoni atas bangsa-bangsa lain. Artinya, ideologi kapitalisme, baik secara pemikiran maupun secara praktis, harus dikubur dalam-dalam dan harus dilenyapkan segala pengaruhnya sehingga tidak pernah akan kembali lagi.
Manuver Politik Barat Bukan Standar Ganda
Ada isyarat bahwa sepertinya tampak ada kontradiksi—yang sering disebut sebagai standar ganda—di antara kedua realitas tersebut, yakni realitas teoris dan realitas praktis dalam kapitalisme.
Untuk melihat apakah ada kontradiksi/standar ganda ataukah tidak dalam kapitalisme (antara teori dan praktiknya, red.), ada dua pandangan yang mesti dilakukan: (1) pandangan dari segi pemikiran/teroretis; (2) pandangan dari segi praktis. Pandangan terhadap realitas kapitalisme dengan hanya menggunakan satu sudut pandang akan mendorong munculnya asumsi mengenai adanya kontradiksi/standar ganda antara hal-hal yang bersifat konseptual/teroertis dan yang real/praktis dalam kapitalisme. Padahal, tidak ada pertentangan antara hakikat kaum kapitalis sebagai penguasa hakiki di negara-negara kapitalis—merekalah yang menggaji para penguasa formal untuk merealisasikan berbagai kepentingan mereka (ini harus dilihat dari segi praktis)—dan hakikat negara-negara kapitalis yang mengadopsi pemikiran demokrasi, kebebasan, dan berbagai pemikiran kapitalistik lainnya. Pemikiran–pemikiran tersebut memang memiliki muatan-muatan makna yang khas dan tujuan-tujuan tertentu (yang harus dilihat dari segi pemikiran). Jika ditelaah lebih lanjut, di antara keduanya—yang bersifat konseptual dan yang terbukti dalam tindakan real—terdapat perbedaan. Sebab, dalam kapitalisme, memang secara praktis, ada upaya untuk selalu mengadakan penyimpangan, penyesatan, ataupun perubahan terhadap pemikiran-pemikirannya sendiri. Karena itu, untuk menghilangkan kesan adanya kontradiksi/standar ganda antara dua realitas ini harus digunakan dua cara pandang, yakni pandangan yang bersifat pemikiran dan praktis serta pandangan yang berkaitan dengan keyakinan dan hukum. Dari sini pasti tidak akan lagi ditemukan adanya kesan pertentangan satu realitas (yang bersifat teoretis)—seperti demokrasi dan kebebasan dalam pemikiran kapitalisme (yang meniscayakan rakyat memilih dan menggaji para penguasa mereka serta menentukan struktur negara untuk menjalankan dan melaksanakan berbagai undang-undang yang dikehendaki oleh mereka; juga yang meniscayakan rakyat berwenang untuk menurunkan penguasa serta melakukan perubahan atau bahkan penggantian terhadap berbagai undang-undang)—dan realitas yang lain dalam praktik kapitalisme seperti berdaulatnya para pemilik modal (bukan rakyat, red.) dalam pemerintahan negara; baik di Amerika, Inggris, atau negara-negara kapitalis lainnya. Secara real, para pemilik modallah sesungguhnya yang menggaji para penguasa dan para pejabat negara lainnya. Mereka juga yang melakukan permainan dalam pembentukan opini umum, baik secara konseptual maupun praktis, demi melayani berbagai kepentingan mereka yang destruktif dan egoistik. Mereka juga sesungguhnya (bukan rakyat) yang menurunkan para penguasa sebagaimana terjadi dalam penurunan John F. Kenedy (AS).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada kontradiksi—yang sering diistilahkan dengan standar ganda itu—dalam kapitalisme. Sebab, yang satu berkaitan dengan kapitalisme secara konseptual/teoretis, sementara yang lain berhubungan dengan kapitalisme secara real/praktis. Dalam kapitalisme, hal semacam ini memang dibenarkan. Karena itu, sudah semestinya setiap gerakan dan kekuatan Islam melancarkan perang tanpa ampun terhadap seluruh pemikiran kapitalisme—dari akar hingga seluruh cabangnya; melawan secara intelektual dan politik pengusung utamanya, yakni Amerika; sekaligus menentang secara keras siapa pun yang menyerukannya, baik kalangan para penguasa pengkhianat maupun berbagai gerakan yang hina yang mengekor pada mereka di seluruh dunia, termasuk dunia Islam.
Sesungguhnya siapa pun yang menyadari berbagai hakikat kemanusiaan dan hakikat berbagai pemikiran kapitalisme, baik secara teoretis maupun praktis, akan menyadari sejauhmana kerusakan dan bahaya pemikiran yang mematikan ini bagi manusia; akan mengetahui hakikat penderitaan yang dialami oleh berbagai bangsa di dunia akibat begitu buruknya pemikiran kapitalisme; akan melihat sejauh mana dominasi dan hegemoni kaum kapitalis dan berbagai perusahaan mereka dalam lapangan politik, pemikiran, ilmu pengetahuan, dsb; akan memahami sejauh mana bahaya kaum kapitalis tersebut bagi bangsa-bangsa mereka sendiri dan bagi semua bangsa yang ada di muka bumi; juga akan menyadari bahwa para penguasa di dunia saat ini pada hakikatnya lebih banyak mengabdi pada berbagai kepentingan dan tujuan kaum kapitalis yang sangat rakus dan busuk. Karena itu, jelas harus ada upaya secara terus-menerus untuk menentang kaum kapitalis ini dan berbagai perangkatnya, yakni berbagai kekuatan politik yang pro mereka—di medan politik— yang mampu mengekspos niat busuk mereka; menyingkap berbagai manuver, penyimpangan, dan penyesatan yang mereka lakukan; serta menampakkan berbagai tindak kriminal dan kejahatan mereka. Sebab, melalui jalan manuver politik semacam inilah mereka melakukan penyesatan terhadap bangsa-bangsa mereka sendiri sekaligus mengekploitasinya; seolah-olah mereka memilih sendiri penguasa mereka, menentukan sendiri perundang-undangan mereka. Mereka disibukkan oleh pemikiran kapitalisme yang sesat dan menyesatkan; yang menghalalkan manuver baik dalam pemikiran, tindakan, sarana, maupun tujuan—apa pun bentuknya.
Dalam level praktis, di Amerika, yang disebut dengan kebebasan sesungguhnya adalah upaya menjadikan bangsa Amerika bebas untuk memanjakan diri; melepaskan ikatan keluarga; memutuskan tali silarurahmi, kekerabatan, dan ketetanggaan; serta hidup dalam atmosfir angan-angan, khayalan, dan dan berbagai kebohongan intelektual. Sebaliknya, di luar Amerika, kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan Amerika untuk melakukan penjajahan dan hegemoni atas bangsa-bangsa lain. Begitulah kapitalisme dengan seluruh pemikirannya yang mewujud dalam bentuk demokrasi, HAM, pluralisme, dialog antaragama dan antaraperadaban, PBB, IMF, Bank Dunia, dll.
Penutup
Dengan melihat paparan di atas, jelas bahwa ada perbedaan mendasar antara manuver politik Islam dan manuver politik yang dikembangkan dalam kapitalisme. Islam tidak mengenal manuver dalam hal pemikiran dan tindakan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat ideologis. Bahkan sebaliknya, hakikat pemikiran dan aspek-aspek ideologis Islam justru harus ditampilkan secara jelas dan tegas; tidak boleh ada penyimpangan ataupun manipulasi sedikitpun semata-mata demi meraih tujuan. Hukum Islam tentang jihad sebagai perang (al-qitâl) melawan orang-orang kafir, misalnya, tidak boleh disimpangkan maknanya sekadar perang demi mempertahankan diri—apalagi sekadar dimaknai secara bahasa saja, yakni sebagai kesungguhan—hanya demi menghindari tuduhan orang-orang Barat kafir bahwa Islam adalah agama yang disebarkan dengan pedang atau bahwa Islam identik dengan kekerasan. Kita juga tidak boleh berusaha mempertemukan Islam dan demokrasi—dua hal yang memang mustahil dipertemukan—hanya karena takut dicap antidemokrasi. Semua itu tidak dapat dikategorikan sebagai manuver politik yang dibenarkan Islam. Sebab, Islam mengharamkan upaya menghalalkan segala cara dalam manuver politik. []
Post a Comment