MISRATA, ---- Kelompok oposisi Libya menunaikan shalat di gurun di sebuah pos pemeriksaan garis depan dekat Zwitina di pinggiran kota Ajdabiya, selatan Benghazi, bagian timur Libya, Kamis (24/3).
Misrata, Kamis - Misrata, kota ketiga terbesar di Libya, menjadi medan tempur paling berdarah, Rabu (23/3) malam. Loyalis Moammar Khadafy membombardir rumah sakit Misrata yang di dalamnya ada 1.000 orang. Sebanyak 16 orang dilaporkan tewas akibat aksi para penembak jitu.
Situasi di
rumah sakit dan sekitarnya kacau balau tak menentu. Ratusan orang menangis, menjerit, dan berteriak minta tolong. Rumah sakit gelap gulita karena listrik padam. ”Situasi di sini sangat serius,” kata dokter RS Misrata per telepon.
Dokter itu melaporkan, situasi di Misrata, kota ketiga terbesar setelah Tripoli dan Benghazi, memang kacau sejak Rabu pagi. Terjadi pertempuran antara kubu oposisi dan loyalis Khadafy. Beberapa kali pasukan aliansi militer Barat meredam serangan loyalis, tetapi tak bisa menghentikan kekerasan senjata loyalis yang menyasar warga sipil.
Percakapan via telepon dengan dokter putus. Belakangan diketahui, jaringan telepon putus setelah listrik padam. Rumah sakit ditembaki senjata berat dan dibombardir. Tidak jelas alasan loyalis menyerang rumah sakit.
Ghoga Hafiz, juru bicara Dewan Nasional Oposisi Libya di Benghazi, dalam konferensi pers, menuturkan, serangan di Misrata, Libya barat, menewaskan 16 orang. Mereka ditembak para penembak jitu tentara Libya. Akibat serangan serupa di Zintan, kota lain di Libya barat, enam orang tewas.
Abdul Basset, juru bicara oposisi, mengatakan, penembakan di RS Misrata masih berlanjut. ”Kami takut ada pembantaian. Ada 1.000 orang di rumah sakit. Kebanyakan kritis, tidak bisa bergerak dan berjalan. Banyak yang kakinya diamputasi,” katanya.
Abdul Basset mengatakan, akibat serangan pasukan Khadafy, jaringan listrik mati total setelah mesin generatornya hancur terkena rudal. ”Kami meminta dunia ikut membantu. Tuhan menyelamatkan kita,” katanya.
Oposisi di Misrata yang telah berjuang berminggu-minggu menyambut gembira serangan udara koalisi untuk menghadang pasukan Khadafy. Berbeda dengan benteng-benteng utama oposisi di Libya timur, Misrata di Libya barat justru dalam kepungan pasukan Khadafy. Penduduk menuturkan, puluhan orang tewas dalam beberapa hari ini.
”Sekarang ini serangan udara dari koalisi membuat kami lebih optimistis,” kata Saadoun, warga Misrata. ”Serangan memberi kami harapan, terutama lagi karena separuh kekuatan militer Khadafy berhasil dilumpuhkan.”
Kamis pagi, ledakan keras terdengar di Tripoli. Trafalgar, salah satu kapal selam Inggris, menembakkan rudal Tomahawk ke sistem pertahanan udara Libya. Serangan ini masih dalam rangkaian Operasi Fajar Odyssey yang sudah berjalan enam hari. Operasi dipimpin Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris untuk menegakkan zona larangan terbang di atas Libya sesuai dengan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
”Angkatan bersenjata Inggris kembali berpartisipasi dalam serangan terkoordinasi untuk mendukung Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973,” kata Mayor Jenderal John Lorimer, juru bicara Kepala Staf Pertahanan Inggris.
Ledakan di Tripoli
Kamis, ledakan dan tembakan senjata antipesawat terbang melanda Tripoli. ”Angkatan Udara Perancis menyerang pangkalan udara Libya, Kamis dini hari,” kata juru bicara Staf Umum Militer Perancis, Thierry Burkhard, dalam jumpa pers.
Serangan dilancarkan oleh jet tempur Rafale dan Mirage 2000-D. Targetnya adalah sebuah pangkalan udara yang terletak sekitar 250 kilometer dari Tripoli, tetapi Burkhard tidak menyebut lokasi bandara secara pasti. Dia menolak menjelaskan kerusakan yang terjadi di pangkalan dengan mengatakan ”rahasia”.
Perancis adalah pendukung keterlibatan militer asing di Libya dan mengakui telah menghancurkan lebih dari 10 kendaraan lapis baja milik Khadafy. Menteri Luar Negeri Perancis Alain Juppe mengatakan, operasi koalisi akan berlanjut, tetapi tidak akan berlangsung lama. Mungkin hanya berlangsung dalam seminggu ke depan.
Sementara itu, armada kapal perang Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berpatroli di pantai Libya, Laut Tengah. Langkah itu untuk menegakkan embargo senjata terhadap Khadafy.
NATO telah menyusun rencana struktur komando guna menjalankan operasi militer di Libya. Semuanya ditempatkan di Italia. Komando operasional sehari-hari berpusat di Naples, Italia, pangkalan NATO. Komando cadangan operasi angkatan laut juga di Naples. Komando zona larangan terbang dipusatkan di Poggio Renatico, Italia utara.
Markas pusat strategis NATO, Supreme Headquarters Allied Power Europe (SHAPE), di Mons, Belgia, akan mengawasi operasi umum. Misi udara akan diawasi dari Izmir, Turki, tetapi taktis operasional sehari-hari diawasi dari Poggio Renatico.
Para duta besar NATO mengadakan pertemuan setiap hari untuk memutuskan apakah aliansi harus ikut dalam penegakan zona larangan terbang di Libya. Mereka mengakhiri pertemuan tiga hari di Brussels dengan ”tidak ada keputusan apa-apa”, seperti diungkapkan seorang diplomat senior NATO kepada Reuters.
NATO gagal mencapai kesepakatan untuk mengambil alih komando dari AS karena Turki menolak. Turki tak ingin NATO terlibat dalam aksi di Libya. ”Tidak mungkin kami berbagi tanggung jawab dalam operasi militer. Beberapa pihak sudah menggambarkannya sebagai Perang Salib,” ujar Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu di Ankara.
Diplomat itu menuturkan, Kamis, aliansi 28 negara mencoba lagi mencapai keputusan apakah NATO harus terlibat dalam aksi militer yang dipelopori Perancis, AS, dan Inggris itu. Meski demikian, Turki tetap konsisten menolak. Juru bicara NATO, Oana Lungescu, mengatakan, embargo perlu untuk ”mencegah aliran senjata dan tentara bayaran”.
RI tidak tegas
Pemerintah RI tidak secara tegas menyatakan sikap mendukung atau menolak intervensi dan serangan yang dilancarkan koalisi Barat itu. Pemerintah hanya menyatakan dukungan terhadap aksi mewujudkan perdamaian Libya serta mengutamakan keselamatan warga sipil.
”Pemerintah bisa memahami tindakan dunia internasional di Libya. Yang ingin ditegaskan, bentuk tindakan apa pun yang diambil harus mengutamakan keselamatan warga sipil. Kalaupun ada aksi militer, tidak boleh ada warga sipil jadi korban. Aksi militer tetap harus memprioritaskan keselamatan warga sipil,” kata Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Kamis.
Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan, sejak persoalan di Libya semakin genting, Presiden Yudhoyono telah mengirimkan surat kepada Sekretaris Jenderal PBB. Dalam surat itu, Presiden menekankan dua prinsip dalam penyelesaian krisis Libya.
Pertama, perlindungan warga sipil dan ajakan kepedulian masyarakat internasional. Kedua, perlu upaya menciptakan situasi kondusif agar Libya bisa menentukan nasibnya secara mandiri tanpa intervensi pihak lain.
”Kita tidak ingin resolusi justru menimbulkan penderitaan berlebihan bagi masyarakat dan warga sipil di Libya. Kekerasan tak menyelesaikan permasalahan,” kata Marty. Terkait evakuasi WNI di Libya, Marty menyatakan, sebanyak 892 WNI sudah dipulangkan ke Tanah Air.(Juf/Kcm/RIMANEWS)
Post a Comment