Oleh: Yahya Abdurrahman
Dunia saat ini mengarah pada koalisi dan unity. Sebaliknya, kita mendapati negeri-negeri Islam berjalan semakin lemah, tercerai-berai, dan terkotak-kotak; padahal Islam menyerukan kesatuan. Persatuan politis kaum Muslim merupakan konsekuensi alami dari persatuan mereka dalam akidah. Rasulullah saw. telah menetapkan persatuan ini sejak awal beliau mendirikan Negara Islam Madinah. Beliau telah menetapkan manhaj yang menentukan corak umat dan Negara Islam serta menyatukan kaum Muslim berdasarkan asas Islam.
Teks Piagam Madinah yang ditulis Rasul saw. menyatakan:
Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm. Ini adalah perjanjian Muhammad, Nabi di antara kaum Mukmin dan Muslim dari kalangan Quraisy dan Yatsrib serta orang-orang yang mengikuti mereka dan berjihad bersama mereka, bahwa mereka semua merupakan umat yang satu yang berbeda dari manusia lainnya.… Sesungguhnya kaum Mukmin itu, sebagian mereka adalah pelindung sebagian yang lain….. dan sesungguhnya apapun yang mereka perselisihkan maka tempat kembalinya adalah kepada Allah dan kepada Muhammad Rasulullah.… Sesungguhnya keselamatan kaum Mukmin adalah satu.
Ungkapan Piagam Madinah ini secara pasti menunjukkan persatuan politis kaum Muslim sebagai satu umat yang berbeda dari manusia lainnya, di samping juga menunjukkan kesatuan referensi mereka, yaitu al-Kitab dan as-Sunnah. Allah Swt. juga berfirman:
]وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا[
Berpeganglah kalian semuanya pada tali (agama) Allah dan janganlah bercerai-berai. (QS Ali Imran [3]: 103).
Kata jamî‘an di sini merupakan hal (keterangan) dan bukan tawkîd (penekanan), karena seandainya merupakan tawkîd bentuknya pastilah jamî‘akum. Makna ayat tersebut menunjukkan makna jamaah yang berpegang kepada satu imam (khalifah) dan bukan pada lebih dari satu imam (khalifah) supaya mereka tidak bercerai-berai.
Banyak hadis yang secara jelas memberikan pengertian tentang persatuan politis kaum Muslim. Di antaranya sabda Rasul saw.:
«إِذَا بُوْيِعَ لِخَالِفَتَيْنِ فَاقْتُلُوْا أَخِرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim).
«مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنْ اِسْتَطَاعَ فَإِذَا جَاءَ آخَرٌ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوْا عُنُقَ اْلآخَرَ» وَ فِيْ رِوَايَةٍ «فَاضْرِبُوْهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ»
Siapa saja yang telah membaiat seorang imam (khalifah) lalu ia memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya, dan jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher orang lain itu. Dalam satu riwayat: maka penggallah dengan pedang siapapun dia. (HR Muslim).
Konsepsi jamaah dalam istilah syariah secara tegas memberikan pengertian akan persatuan. Sebab, jamaah maknanya adalah kaum Muslim yang membaiat seorang imam bagi mereka. Jamaah itu memiliki tiga unsur, yaitu: kaum Muslim, seorang imam, dan baiat.
Di antara dalil yang menjelaskan makna jamaah demikian adalah hadis penuturan Hudzaifah bin al-Yaman saat ia bertanya kepada Rasulullah saw. tentang keburukan karena takut akan menjumpainya. Rasulullah saw. menjawab:
«تَلْزَمْ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَ إِمَامَهُمْ»
Hendaklah engkau berpegang pada jamaah kaum Muslim dan imam mereka. (HR Muslim).
«فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَنَالَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزَمْ الْجَمَاعَةَ»
Siapa saja dari kalian yang ingin meraih kenikmatan surga, hendaklah ia menetapi jamaah. (HR Ahmad).
«مَنْ خَرَجَ مِنْ الْجَمَاعَةِ قَيَدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ اْلإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ إِلَى أَنْ يَرْجِعَ»
Siapa saja yang keluar dari jamaah sejengkal saja, maka sesungguhnya ia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya sampai ia kembali. (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi, dan Ahmad).
Umar bin al-Khaththab juga pernah berkata: Sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jamaah, tidak ada jamaah kecuali dengan Imamah (Khilafah), dan tidak ada Imamah kecuali disertai ketaatan. (HR ad-Darimi).
Said bin Zaid juga pernah berkata tentang para Sahabat: Mereka tidak suka melewati sebagian hari, sedangkan mereka tidak berada dalam jamaah. (HR ath-Thabari).
Semua ini secara jelas memberikan pengertian akan persatuan kaum Muslim di seputar seorang imam yang dibaiat.
Islam telah membagi dua wilayah hukum: (1) Dâr al-Islâm, yaitu wilayah yang di dalamnya diterapkan sistem dan hukum-hukum Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah non-Muslim; (2) Dâr al-kufr, yaitu wilayah yang di dalamnya diterapkan sistem dan hukum-hukum kufur, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Dâr al-Islâm ada dua: dâr ‘adl, yaitu wilayah yang di sana dibaiat seorang khalifah yang sah secara syar‘i berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya; dâr al-bughyi, yaitu wilayah yang di sana dibaiat khalifah lain dengan baiat yang tidak sah secara syar‘i berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Jamaah dengan imam yang dibaiat oleh kaum Muslim untuk memangku jabatan Khilafah itu berada di dâr al-Islam, dâr ‘adl. Makna dâr ‘adl dan dâr al-islâm terkait dengan jamaah, dan makna keduanya berkaitan dengan persatuan politis kaum Muslim.
Nasionalisme bukanlah asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena berdiri di atas fanatisme Jahiliah dan ‘ashabiyah. Patriotisme juga bukan asas syar‘i untuk menyatukan kaum Muslim, karena bersandar pada tanah sebagai dasar ikatan semua orang yang hidup di atasnya. Ini bukanlah asas pemikiran, namun berupa asas instingtif yang hanya bersandar pada penampakan gharîzah baqâ’ saat ada ancaman dari luar. Ia tidak layak menjadi ikatan dalam kondisi stabil, apalagi patriotisme menyalahi Islam sebagai ikatan antar manusia.
Eksperimen praktis penyatuan kaum Muslim dengan selimut dua ide tersebut justru melanggengkan disintegrasi mereka, semisal ide Pan Arabisme. Ini adalah ide Inggris, bukan ide Arab. Menlu Inggris, Antoni Eden-lah yang pertama kali menyerukannya untuk melanggengkan dan memperkokoh disintegrasi Arab. Anggaran Dasar Pan Arabisme melarang penghapusan kedaulatan negara anggotanya. Hal itu menghalangi terwujudnya persatuan kaum Muslim secara praktis. Ide ini adalah pemecahbelahan Arab, bukan penyatuan Arab. Begitu pula Organisasi Konferensi Islam (OKI), keanggotaannya juga mensyaratkan penjagaan kedaulatan negara anggota. Dari pengalaman praktis dua organisasi itu sejak puluhan tahun lalu tampak bahwa eksistensi keduanya justru menghalangi persatuan Arab dan kaum Muslim.
Negara-negara boneka di negeri-negeri Islam adalah buah penjajahan dan desain penjajah, serta hasil kesepakatan negara-negara penjajah, yang terpenting adalah Perjanjian Sykes-Picot dan San Remo. Negara-negara itu juga adalah hasil alami dari ide nasionalisme dan patriotisme serta adanya berbagai organisasi regional yang memecah-belah kaum Muslim dan menghalangi persatuan mereka.
Barat yang mendesain semua itu justru berupaya menyatukan negara-negara mereka meski dengan seluruh kesulitan yang menghadang, seperti penyatuan Jerman dan penyatuan Eropa dalam Uni Eropa. Sebaliknya, di negeri-negeri kaum Muslim, Barat terus-menerus mengobarkan berbagai sengketa perbatasan dan merancang garis batas serta memecah-belah kaum Muslim.
Persatuan politik mengharuskan adanya poros politik. Poros politik universal yang akan menyatukan kaum Muslim hanya Daulah Khilafah, bukan yang lain. Menegakkan Daulah Khilafah adalah kewajiban. Ini adalah suatu keharusan, tidak ada pilihan dan kompromi. Melalaikan kewajiban ini termasuk di antara kemaksiatan terbesar, pelakunya akan mendapat azab yang sangat pedih. Rasulullah saw. pernah bersabda:
«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةِ اللهِ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةً لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِيْ عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan kepada Allah, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati, sementara di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka matinya seperti kematian Jahiliah. (HR Muslim).
Ketika Rasul yang mulia wafat, para Sahabat telah mendahulukan upaya mewujudkan baiat daripada mengebumikan jenazah beliau. Padahal mengebumikan jenazah, apalagi jenazah Rasul yang mulia, adalah perkara yang penting. Ini merupakan dalil yang paling jelas mengenai wajibnya mengangkat Khalifah melalui baiat dan wajibnya persatuan kaum Muslim dalam satu poros Khilafah.
Khilafah juga menjadi prasyarat sempurnanya realisasi berbagai kewajiban. Kaidah syariah menyatakan: Mâ lâ yatimmu al-wâjib illa bihi fahuwa wâjib (Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu adalah wajib). Oleh karena itu, di antara kewajiban teragung adalah kewajiban beraktivitas mendirikan Khilafah.
Sebagian orang mengopinikan tentang sulit atau tidak perlunya mewujudkan kesatuan kaum Muslim dengan alasan adanya minoritas non-Muslim. Alasan ini merupakan alasan yang sangat rancu dan tidak berdasar. Islam tegas memerintahkan untuk memutuskan perkara dan bertindak secara adil (QS an-Nisa’ [4]: 58 dan al-Maidah [5]: 42), meski terhadap orang yang dibenci (QS al-Maidah [5]: 8). Piagam Madinah menyebutkan: Sesungguhnya siapa saja yang megikuti kami dari orang Yahudi maka baginya ada hak pertolongan dan keteladanan. Rasulullah saw. juga bersabda:
«مَنْ قَتَلَ نَفْساً مُعَاهَدَةً لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ»
Siapa saja yang membunuh seorang mu’âhad, ia tidak akan mencium harumnya surga. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, dan Ahmad).
Bahkan Rasul saw. pernah menghukum bunuh (meng-qishâsh) seorang Muslim karena telah membunuh seorang Yahudi.
Teks perjanjian Rasul saw. dengan penduduk Najran juga berbunyi: Gereja mereka tidak boleh dihancurkan, pastornya tidak boleh dikeluarkan (tidak diusir), dan mereka tidak dipaksa meninggalkan agama mereka selama mereka tidak membuat suatu perkara atau memakan riba.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Mereka (yakni ahlu dzimmah) membayar jizyah agar harta mereka seperti harta kita dan darah mereka seperti darah kita.”
Umar bin al-Khaththab berwasiat, “Aku berwasiat kepada Khalifah sesudahku akan dzimmah Allah dan Rasulullah, hendaknya ia berperang membela dan melindungi ahl adz-dzimah dan hendaknya mereka tidak dibebani di luar kemampuan mereka.”
Islam juga melarang memaksa non-Muslim agar meninggalkan agamanya untuk masuk Islam (QS al-Baqarah [2]: 256). Rasul saw. pernah bersabda:
«مَنْ كَانَ عَلَى يَهُوْدِيَتِهِ وَنَصْرَانِيَتِهِ فَإِنَّهُ لاَ يُفْتَنَّ عَنْهَا»
Siapa saja yang tetap memeluk agama Yahudi atau Nasrani, maka mereka tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya.
Ahlu adz-dzimah dan mu‘âhad sama dengan kaum Muslim, tidak dipungut cukai. Ziyad bin Hudair berkata, “Kami tidak memungut ‘usyr (cukai) dari Muslim atau mu‘âhad.” Ia juga berkata, “Kami memungut cukai dari para pedagang kafir harb sebagaimana mereka memungut cukai dari kita jika kita mendatangi mereka.”
Ringkasnya ahl adz-dzimmah memiliki hak dan kewajiban seperti kaum Muslim sesama warga negara. Mereka berhak atas keadilan dan pelayanan sebagaimana kaum Muslim. Di dalam Daulah Islam, mereka mendapat jaminan atas lima hak utama:
1. Hak pemeliharaan (haq ar-ri‘âyah).
2. Hak perlindungan (haq al-himâyah).
3. Hak jaminan kehidupan (haq dhamânah al-‘aisy).
4. Hak muamalat yang setara (haq al-mu‘âmalah bi al-mitsli).
5. Hak diperlakukan secara lemah lembut (haq ar-rifq wa al-layin).
Berbagai keuntungan hidup demikian hanya akan mereka dapatkan di dalam Daulah Islam. Untuk semua itu, mereka tidak dimintai apapun kecuali hanya tunduk pada hukum-hukum Islam dan membayar jizyah. Setelah itu, mereka boleh ikut berperang bersama kaum Muslim dengan mendapat gaji. Mereka tidak diwajibkan ikut berperang.
Kewarganegaraan Daulah Islam bagi ahl adz-dzimmah sama dengan yang dimiliki kaum Muslim. Seluruh manfaat dan pelayanan yang dinikmati kaum Muslim sebagai konsekuensi kewarganegaraan itu juga dinikmati oleh ahl adz-dzimmah. Jika mereka melakukan kejahatan/kriminal, mereka wajib mendapat sanksi secara adil.
Minoritas non-Muslim telah hidup di bawah Daulah Khilafah Islam lebih dari seribu tahun. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mengajukan suatu pengaduan. Tidak seorang pun yang berbicara negatif tentang persatuan politis kaum Muslim. Mereka justru ikut serta bersama kaum Muslim dalam memperkuat persatuan politis tersebut.
Karena itu, ahl adz-dzimmah hendaknya justru menuntut kembalinya Khilafah sebagaimana kaum Muslim sehingga mereka bisa kembali menikmati semua kebaikan itu.
Tuntutan atas kembalinya Daulah Khilafah secara otomatis merupakan tuntutan atas persatuan kaum Muslim dan kesatuan seluruh penjurunya dalam satu negara. Persatuan politis kaum Muslim terkait erat dengan pendirian Daulah Islam. Dengan pendirian Daulah Islam akan terwujud persatuan politis kaum Muslim. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. []
Post a Comment