"Peristiwa yang terjadi tahun 1965 jelas bersifat domestik, namun tidak dapat dipisahkan dari tatanan dunia yang terbagi dalam dua kutub saat Perang Dingin," kata Baskara T. Wardaya S.J, dosen Sejarah, Agama dan Pengembangan Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma.
Baskara mengemukakan hal tersebut dalam diskusi yang merupakan bagian dari konferensi bertajuk "Indonesia dan Dunia Tahun 1965," yang berlangsung Rabu (19/1) di Goethe Institut, Menteng, Jakarta.
Dia menjelaskan bahwa ketika itu di Asia terjadi dua negara yang mengalami perpecahan yaitu Korea Utara dengan Korea Selatan dan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Saat itu, juga terjadi konflik Indonesia dengan Belanda mengenai Papua Barat dan rencana Inggris untuk membentuk federasi Malaysia. Awalnya pembentukan federasi itu tidak masalah bagi presiden Soekarno namun selanjutnya dia melancarkan konfrontasi.
Dalam konteks domestik, pada pemilu tahun 1955 PKI menduduki peringkat ke-4 di daerah dan pada tahun 1957 PKI bisa menambah dukungan. "Pada tahun 1955 banyak pihak yang mendesak Soekarno membatalkan Pemilu karena takut PKI akan menang," katanya.
Baskara juga mengemukakan "PKI merupakan partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan China. Jumlah anggotanya meningkat, terorganisir dengan baik dan tidak tercemar oleh korupsi."
Mengenai peristiwa pembantaian massal anggota PKI setelah peristiwa Gerakan 30 September, Baskara mengemukakan ada banyak versi.
"Menurut versi pemerintah, orang-orang balas dendam dengan secara spontan membunuh para anggota PKI. Menurut versi saksi mata dan korban peristiwa itu, tidak semua orang yang dibunuh dan dipenjara adalah komunis. Banyak tuduhan yang salah. mereka merupakan korban ambisi kekuasaan Soeharto," katanya. Versi sejarawan menurut Baskara adalah soal konflik internal di tubuh TNI yang merupakan inti masalah.
"Dari semua versi itu pada kenyataannya versi pemerintah yang lebih dominan," katanya.
Hal yang menjadi pertanyaan Baskara adalah mengapa pembunuhan massal itu tidak terjadi di Jawa Barat, padahal pembantaian terjadi di Jawa tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara dan Kalimantan.
Dalam diskusi lainnya, Bradley Simpson, dosen Sejarah dan Hubungan Internasional Universitas Princeton, mengatakan Amerika Serikat tidak terlibat dalam pembantaian massal tersebut.
Namun, menurut Simpson, banyak pejabat AS yang meyakini bahwa PKI harus dimusnahkan. "AS tidak terlibat tetapi mendukung. Menurut pendapat negara-negara Barat, pembunuhan itu dibutuhkan untuk integrasi Indonesia," kata Simpson.
Pada acara pembukaan konferensi di Goethe Institut itu, Selasa (18/1), terjadi demonstrasi dari Gerakan Pemuda Islam (GPI). Christiane Jekeli, Humas Goethe Institut mengatakan massa yang berjumlah 20-an mendatangi tempat diskusi pada Selasa sore. Mereka menyatakan bahwa konferensi internasional ini mendukung komunisme di Indonesia dan merupakan bagian dari konspirasi komunis internasional.
Penyelenggara mengatakan konferensi tersebut bermaksud untuk menyorot konteks global dari peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 1965.
Mereka mengundang tiga wakil demonstran untuk mendiskusikan sudut pandang mereka. Pimpinan GPI diundang untuk menghadiri diskusi terbuka yang akan berlangsung pada malam penutupan pada hari Jumat, (21/1).
Membaca Ulang Peristiwa 30 September 1965
Pada suatu pagi yang indah dan cerah di penghujung bulan September 1965, Tupu, seorang gadis kecil bermain kuda-kudaan dengan ceria di depan rumahnya.
Tak lama berselang, dari balik pintu rumah berdinding kayu itu, turun seorang bocah lelaki perlahan-lahan menuruni tangga rumah yang juga terbuat dari kayu, khas rumah pedesaan pada masa itu.
Dialah Moyo, kakak Tupu, datang dengan menggenggam sebuah balon merah. Keduanya lantas asyik bermain, meloncat-loncat, berlarian, diam, lari lagi, diam lagi dan pada akhirnya juga rebutan mainan.
Tupu merengek manja hingga memaksa Moyo mengalah dan memberikan balonnya. Mereka seperti memiliki dunia sendiri, simbol komunikasi sendiri yaitu meniup pluit merah untuk memanggil satu sama lain.
Hari-hari kedua bocah ini penuh dengan kegembiraan, bertetangga baik dengan Haki yang memiliki putri bernama Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda hingga pada suatu malam muncul tanda segitiga merah di dinding jendela rumah Tupu dan Moyo. Oleh ayah mereka yang bertangan satu, tanda itu sebenarnya coba dihapuskan namun upaya itu gagal. Siapa gerangan yang membuatnya?
Hari-hari berikutnya, kehidupan mereka mendadak berubah secara drastis. Suatu hari misalnya tiba-tiba segerombolan tentara bersenjata laras panjang mendatangi halaman rumah saat ayah mereka sedang membetulkan kuda-kudaan Tupu yang rusak dengan palu.
Setelah melihat tanda segitiga, para serdadu berwajah sangar itu “mengambil” ayah Tupu dan Moyo. Mereka berdua sangat ketakutan dan tak mengerti mengapa sang Ayah tak pulang-pulang hingga malam dan keesokan hari. Sang Ayah juga tak berkata apa-apa saat dibawa tentara selain menyerahkan kuda-kudaan Tupu yang sudah selesai diperbaiki. Haki juga tak lagi ramah dan melarang Lacuna bermain bersama Tupu dan Moyo.
Begitulah adegan pembukaan Cerita Kecil di Mwarthirika, garapan terbaru Maria Tri Sulistyanti dan Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre dalam rangka memeriahkan pameran Indonesia and the World in 1965 di GoetheHaus, Jakarta.
Pameran ini berlangsung sejak 18-21 Januari dengan ditandai peluncuran buku, konferensi internasional dan pertunjukan tari. Acara berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman pembubaran oleh sekelompok orang yang mengaku penentang komunisme dan paham komunisme.
Mwarthirika, seperti kata Maria dan Iwan, adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah abu-abu yang disampaikan dengan cara imajinatif seperti di negeri dongeng. Mereka menggunakan boneka jenis Bunraku dan Kuruma Ningyo dari Jepang sebagai tokoh dan menggunakan Bahasa Swahili sebagai judul pementasan sekaligus nama-nama karakter.
Dunia Tupu dan Moyo mirip dengan kehidupan Scout Finch dan Jeremy Atticus “Jem” Finch, dua anak bersaudara dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang juga berlatarbelakang pedesaan dan fokus pada prasangka negatif terhadap ras kulit hitam.
Kedua karya ini menceritakan peristiwa besar, pelik, rumit dan abu-abu melalui sudut pandang anak kecil yang terlalu muda untuk memahami kejadian di sekitarnya tapi jelas merasakan akibatnya. Tupu kehilangan ayah yang mereka cintai, pelindung mereka dan pada saat yang sama juga kehilangan kedamaian dalam hidup.
Namun, di situlah letak kekuatan Mwarthirika. Tanpa melupakan kisah eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) -misalnya salah satu adegan menunjukkan orang-orang “kiri” dibariskan dengan jempol terikat lalu ditembak dicemplungkan ke kali, stigmatisasi terhadap pengikut PKI dan keturunannya dengan simbol cap merah di kepala boneka-boneka, dan penangkapan orang-orang yang rumahnya diberi tanda segitiga merah- pertunjukan ini seperti menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar narasi soal pahlawan dan penjahat.
Maria dan Iwan mengangkat kepedihan orang-orang usai hari-hari paling kelam dalam sejarah Indonesia melalui peristiwa yang terlalu sulit diungkapkan dengan bahasa tapi berhasil meresap ke ulu hati penonton.
Dan sejarah pada akhirnya –seperti kata mereka- bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Tapi sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang? (fn/ant/ok) www.suaramedia.com
Dia menjelaskan bahwa ketika itu di Asia terjadi dua negara yang mengalami perpecahan yaitu Korea Utara dengan Korea Selatan dan Vietnam Utara dan Vietnam Selatan.
Saat itu, juga terjadi konflik Indonesia dengan Belanda mengenai Papua Barat dan rencana Inggris untuk membentuk federasi Malaysia. Awalnya pembentukan federasi itu tidak masalah bagi presiden Soekarno namun selanjutnya dia melancarkan konfrontasi.
Dalam konteks domestik, pada pemilu tahun 1955 PKI menduduki peringkat ke-4 di daerah dan pada tahun 1957 PKI bisa menambah dukungan. "Pada tahun 1955 banyak pihak yang mendesak Soekarno membatalkan Pemilu karena takut PKI akan menang," katanya.
Baskara juga mengemukakan "PKI merupakan partai komunis terbesar di luar Uni Soviet dan China. Jumlah anggotanya meningkat, terorganisir dengan baik dan tidak tercemar oleh korupsi."
Mengenai peristiwa pembantaian massal anggota PKI setelah peristiwa Gerakan 30 September, Baskara mengemukakan ada banyak versi.
"Menurut versi pemerintah, orang-orang balas dendam dengan secara spontan membunuh para anggota PKI. Menurut versi saksi mata dan korban peristiwa itu, tidak semua orang yang dibunuh dan dipenjara adalah komunis. Banyak tuduhan yang salah. mereka merupakan korban ambisi kekuasaan Soeharto," katanya. Versi sejarawan menurut Baskara adalah soal konflik internal di tubuh TNI yang merupakan inti masalah.
"Dari semua versi itu pada kenyataannya versi pemerintah yang lebih dominan," katanya.
Hal yang menjadi pertanyaan Baskara adalah mengapa pembunuhan massal itu tidak terjadi di Jawa Barat, padahal pembantaian terjadi di Jawa tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara dan Kalimantan.
Dalam diskusi lainnya, Bradley Simpson, dosen Sejarah dan Hubungan Internasional Universitas Princeton, mengatakan Amerika Serikat tidak terlibat dalam pembantaian massal tersebut.
Namun, menurut Simpson, banyak pejabat AS yang meyakini bahwa PKI harus dimusnahkan. "AS tidak terlibat tetapi mendukung. Menurut pendapat negara-negara Barat, pembunuhan itu dibutuhkan untuk integrasi Indonesia," kata Simpson.
Pada acara pembukaan konferensi di Goethe Institut itu, Selasa (18/1), terjadi demonstrasi dari Gerakan Pemuda Islam (GPI). Christiane Jekeli, Humas Goethe Institut mengatakan massa yang berjumlah 20-an mendatangi tempat diskusi pada Selasa sore. Mereka menyatakan bahwa konferensi internasional ini mendukung komunisme di Indonesia dan merupakan bagian dari konspirasi komunis internasional.
Penyelenggara mengatakan konferensi tersebut bermaksud untuk menyorot konteks global dari peristiwa tragis yang terjadi pada tahun 1965.
Mereka mengundang tiga wakil demonstran untuk mendiskusikan sudut pandang mereka. Pimpinan GPI diundang untuk menghadiri diskusi terbuka yang akan berlangsung pada malam penutupan pada hari Jumat, (21/1).
Membaca Ulang Peristiwa 30 September 1965
Pada suatu pagi yang indah dan cerah di penghujung bulan September 1965, Tupu, seorang gadis kecil bermain kuda-kudaan dengan ceria di depan rumahnya.
Tak lama berselang, dari balik pintu rumah berdinding kayu itu, turun seorang bocah lelaki perlahan-lahan menuruni tangga rumah yang juga terbuat dari kayu, khas rumah pedesaan pada masa itu.
Dialah Moyo, kakak Tupu, datang dengan menggenggam sebuah balon merah. Keduanya lantas asyik bermain, meloncat-loncat, berlarian, diam, lari lagi, diam lagi dan pada akhirnya juga rebutan mainan.
Tupu merengek manja hingga memaksa Moyo mengalah dan memberikan balonnya. Mereka seperti memiliki dunia sendiri, simbol komunikasi sendiri yaitu meniup pluit merah untuk memanggil satu sama lain.
Hari-hari kedua bocah ini penuh dengan kegembiraan, bertetangga baik dengan Haki yang memiliki putri bernama Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda hingga pada suatu malam muncul tanda segitiga merah di dinding jendela rumah Tupu dan Moyo. Oleh ayah mereka yang bertangan satu, tanda itu sebenarnya coba dihapuskan namun upaya itu gagal. Siapa gerangan yang membuatnya?
Hari-hari berikutnya, kehidupan mereka mendadak berubah secara drastis. Suatu hari misalnya tiba-tiba segerombolan tentara bersenjata laras panjang mendatangi halaman rumah saat ayah mereka sedang membetulkan kuda-kudaan Tupu yang rusak dengan palu.
Setelah melihat tanda segitiga, para serdadu berwajah sangar itu “mengambil” ayah Tupu dan Moyo. Mereka berdua sangat ketakutan dan tak mengerti mengapa sang Ayah tak pulang-pulang hingga malam dan keesokan hari. Sang Ayah juga tak berkata apa-apa saat dibawa tentara selain menyerahkan kuda-kudaan Tupu yang sudah selesai diperbaiki. Haki juga tak lagi ramah dan melarang Lacuna bermain bersama Tupu dan Moyo.
Begitulah adegan pembukaan Cerita Kecil di Mwarthirika, garapan terbaru Maria Tri Sulistyanti dan Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre dalam rangka memeriahkan pameran Indonesia and the World in 1965 di GoetheHaus, Jakarta.
Pameran ini berlangsung sejak 18-21 Januari dengan ditandai peluncuran buku, konferensi internasional dan pertunjukan tari. Acara berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman pembubaran oleh sekelompok orang yang mengaku penentang komunisme dan paham komunisme.
Mwarthirika, seperti kata Maria dan Iwan, adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah abu-abu yang disampaikan dengan cara imajinatif seperti di negeri dongeng. Mereka menggunakan boneka jenis Bunraku dan Kuruma Ningyo dari Jepang sebagai tokoh dan menggunakan Bahasa Swahili sebagai judul pementasan sekaligus nama-nama karakter.
Dunia Tupu dan Moyo mirip dengan kehidupan Scout Finch dan Jeremy Atticus “Jem” Finch, dua anak bersaudara dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang juga berlatarbelakang pedesaan dan fokus pada prasangka negatif terhadap ras kulit hitam.
Kedua karya ini menceritakan peristiwa besar, pelik, rumit dan abu-abu melalui sudut pandang anak kecil yang terlalu muda untuk memahami kejadian di sekitarnya tapi jelas merasakan akibatnya. Tupu kehilangan ayah yang mereka cintai, pelindung mereka dan pada saat yang sama juga kehilangan kedamaian dalam hidup.
Namun, di situlah letak kekuatan Mwarthirika. Tanpa melupakan kisah eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) -misalnya salah satu adegan menunjukkan orang-orang “kiri” dibariskan dengan jempol terikat lalu ditembak dicemplungkan ke kali, stigmatisasi terhadap pengikut PKI dan keturunannya dengan simbol cap merah di kepala boneka-boneka, dan penangkapan orang-orang yang rumahnya diberi tanda segitiga merah- pertunjukan ini seperti menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar narasi soal pahlawan dan penjahat.
Maria dan Iwan mengangkat kepedihan orang-orang usai hari-hari paling kelam dalam sejarah Indonesia melalui peristiwa yang terlalu sulit diungkapkan dengan bahasa tapi berhasil meresap ke ulu hati penonton.
Dan sejarah pada akhirnya –seperti kata mereka- bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Tapi sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang? (fn/ant/ok) www.suaramedia.com
Post a Comment