YERUSALEM (Berita SuaraMedia) – Pimpinan negosiator Palestina nampaknya tidak terhubung dari rakyatnya sendiri dan konstituensi Arab-nya yang lebih luas juga konstituensi Muslimnya. Salah satu dari pengungkapan yang paling mengejutkan dari kantor berita Palestine Papers yang didapatkan oleh Al-Jazeera menghubungkan demografis dan konsesi kawasan yang mana Otoritas Palestina (Palestinian Authority – PA) berkeinginan untuk menyerahkan Yerusalem.
Harian tersebut menunjukkan bahwa tidak hanya para negosiator yang menunjukkan sebuah keinginan untuk menerima pengambilan semua pemukiman di Yerusalem, kecuali Jabal Abu Ghneim (Har Homa) namun bahwa mereka juga berkeinginan untuk menyangkal bagian-bagian dari perkampungan Arab yang terkepung di kota tersebut. Masih saja, yang lebih buruk, Saeb Erekat, pimpinan negosiator tersebut, menunjukkan "fleksibilitas" jelas menyangkut kedaulatan di Haram Al-Sharif.
Seperti yang Ahmed Qurei gambarkan bahwa konsesi PA tentang pemukiman Yerusalem Timur, ini adalah "pertama kalinya di dalam sejarah bahwa kami membuat sebuah usulan semacam itu, kami menolak untuk melakukan demikian di Kamp David."
Untuk bagian mereka, Israel, selama negosiasi pada tahun 2008 menolak untuk mengembalikan pokok yang mana Kamp David membicarakan tentang kejatuhan pada Juli tahun 2000. Udi Dekel, pimpinan tim Israel tersebut menunjukkan kejatuhan tersebut pada sebuah pertemuan 29 Mei 2008 dengan Samih Al-Abid, pakar peta PA: "Sejak tahun 2000, sesuatu terjadi dalam delapan tahun tersebut. Jadi kita tidak sedang berada di titik awal yang sama. Anda memulai sebuah perang teror pada kami dan kami menciptakan fakta pada lokasi nyata. Ini adalah realitas yang kami tinggal di dalamnya saat ini, jadi kami tidak dapat kembali ke Kamp David. Keadaan berubah banyak setelah saat itu."
Pertama kali kedua pihak tersebut pernah membahas status pendudukan Yerusalem Timur – dan, pada khususnya, tempat-tempat sucinya – ada di Kamp David pada tahun 2000. Di bawah hukum internasional, Yerusalem (termasuk Haram Al-Sharif/Bukit Suci) dianggap sebagai bagian dari kawasan ilegal Palestina terjajah. Meskipun demikian, Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan presiden Palestina Yasser Arafat berusaha untuk menegosiasikan persoalan tersebut selama pertemuan akbar Kamp David mereka. Beberapa partisipan dalam pembicaraan kontroversial tersebut mengiyakan bahwa kegagalan mereka untuk menyelesaikan status tempat-tempat suci berkontribusi pada kejatuhannya yang getir.
Di Kamp David, proposal pemerintahan Clinton dibangun pada sebuah prinsip umum bahwa "daerah-daerah Arab adalah daerah Palestina dan daerah Yahudi adalah Israel." Bagaimanapun juga, proposal tentang Haram sangat problematis: proposal tersebut nampaknya mengakui kedaulatan Israel di bawah Haram. Aspek lainnya tentang proposal tersebut nampaknya mempersiapkan kondisi untuk pedalaman Palestina di dalam kota, semua terpisah satu sama lain. Namun Israel, tidak seperti Palestina, nampaknya berencana untuk mempertahankan hubungan.
Oleh karena itu, sementara teori proposal Clinton menyebutkan untuk "hubungan maksimum keduanya," dalam praktiknya, hal ini diterjemahkan menjadi "hubungan maksimum untuk Israel".
Menyadari konsekuensi yang tidak bagus bagi semacam hasil tersebut, Arafat menolak tawaran tersebut dan mempertahankan keinginan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization – PLO) untuk mengkompromikan tentang kedaulatan Haram berada pada sebuah posisi mendasar yang dengan cepat memberinya hinaan Israel dan begitu juga dengan Amerika – walaupun dukungan universal berada pada Palestina, dan di seluruh dunia Islam.
Dengan semua akbat dari sebuah perlawanan yang menimbulkan luka, Arafat mengatakan kepada Clinton, "Pimpinan Palestina yang akan memberikan Yerusalem masih belum dilahirkan. Saya tidak akan mengkhianati rakyat saya atau kepercayaan yang mereka telah tempatkan di dalam diri saya. Jangan melihat kepada saya untuk mengesahkan penjajahan! Tentu saja, hal ini akan berlanjut lebih lama, namun hal ini tidak akan berlanjut seterusnya."
Palestine Papers menunjukkan bahwa sepuluh tahun kemudian kepemimppinan PLO, sekarang secara substansial melemah dan terpecah belah, dipisahkan untuk meneyelewengkan garis merah yang digambarkan oleh Arafat. Sedikitnya satu anggota komite eksekutifnya, Saeb Erekat, telah mununjukkan keinginan tersebut untuk menunjukkan "fleksibilitas" di Haram.
Baik itu ia membuat tawaran tersebut untuk memenangkan kekaguman dari rekan Amerika-nya, atau hanya untuk memecah jalan buntu yang diciptakan oleh pemerintahan ekstrimis Netanyahu, tidak jelas; apa yang sebenarnya jelas, walaupun, apakah itu adalah usulan pengutak-atikan dengan status legal dari Haram Al-Sharif berbahaya dan tidak pernah terjadi sebelumnya. Meskipun terdapat resiko yang jelas terlihat membututi, bagaimanapun juga Erekat membuat saran "kreatif pada 21 Oktober 2009 selama sebuah pertemuan di Washington. Ia mengatakan bahwa penasihat Obama, David Hale dan penasihat legal departemen Jonathan Schwartz: "Bahkan jika Kota Tua dapat berhasil kecuali untuk Haram dan apa yang mereka sebut Bukit Suci. Maka Anda membutuhkan kreativitas dari orang-orang seperti saya…"
Ketika Schwartz bertanya apakah mereka membahas Yerusalem dengan perbatasan atau secara terpisah, Erekat menjawab: "Masalah ini terselesaikan. Anda memiliki Formula Parameter Clinton. Untuk kedaulatan Kota Tua bagi Palestina, kecuali perempatan Yahudi dan bagian perempatan Armenia…. Haram tersebut dapat ditinggalkan untuk dibahas – ada cara kreatif, menyelenggarakan sebuah badan atau sebuah komite, mengambil alih untuk contoh tidak menggali."
Ini adalah bukti dari pertukaran tersebut, bahwa; padahal Arafat telah menolak parameter Clinton, tim Palestina sebelumnya (dipimpin oleh Erekat) dipersiapkan untuk menerimanya.
Terlebih lagi, ia mengakui bahwa Perempatan Yahudi dan bagian dari Perempatan Armenia akan berada di bawah kekuasaan Israel. Dengan melakukan demikian, Erekat berakibat, memindahkan Garis Gencatan Senjata, yang baru-baru ini jauh dari Haram Al-Sharif dan di luar Kota Tua, untuk keseluruhan dinding Haram.
Yang lebih mencamaskan, saran Erekat tentang "sebuah badan atau sebuah komite" untuk menyelesaikan masalah Haram tersebut menunjukkan fleksibilitasnya atas kedaulatan Haram sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa ini bukanlah sebuah garis merah lagi.
Dari awal, Erekat menyadari dengan baik sensitivitas akut dari persoalan Haram bagi orang-orang Arab dan Muslim. Ia mengiyakan kepada asisten Menteri Luar Negeri AS David Welch setelah pertemuan Annapolis pada 2 Desember 2008, ketika ia mengatakan kepada Arab Saudi, "Yerusalam adalah Haram."
Dapat dilihat di dalam Palestine Papers bahwa bahkan Condoleezza Rice menyadari sensitivitas ekstrim dari Haram, menyebutkan negosiator Palestina dan Israel pada sebuah pertemuan 29 Juli 2008 bahwa di Haram "anak-anak Anda tidak akan mendapakan sebuah persetujuan." Ia meminta kedua pihak untuk "membiarkannya tidak terselesaikan."
Namun pimpinan negosiator Palestina nampaknya benar-benar tidak terhubung dengan rakyatnya sendiri, begitu juga dengan konstituensi Arab dan Muslim, ketika ia membuat tawaran "kreatif" tentang Kota Tua dan Haram. Ia nampaknya, begitu termakan oleh negosiasi yang ia menjadi tidak menyadari tentang impor dari ucapan-ucapannya di antara Arab dan Muslim dan – sebagian besar – rakyatnya sendiri. Bahkan di antara beberapa Israel hal ini nampaknya kekanak-kanakan; sebagai pengacara Israel, Daniel Seidemann mengawasi dalam sebuah artikel baru, "adanya upaya untuk mengartikan Inisiatif Palestina Arab di dalam sebuah sikap yang jatuh segera dari "perhentian sepenuhnya" dari kedaulatan Palestina atau Arab pada Haram Al-Sharif tersebut akan menjadi sebuah pelatihan dalam hal halusinasi diri."
Dr. Daud Abdullah adalah Direktur Monitor Timur Tengah – sebuah institusi penelitian media independen yang didirikan di Inggris untuk mengembangkan sebuah peliputan yang adil dan akurat di media Barat tentang persoalan Timur Tengah dan terutama masalah Palestina. (ppt/aje) www.suaramedia.com
Post a Comment