WASHINGTON (Berita SuaraMedia) – Mengawali tahun 2011, Angkatan Udara AS menambah jumlah prajurit yang dikirimkan di Afghanistan untuk memanggil serangan udara. Jumlahnya ditingkatkan lebih dari dua kali lipat. Hal tersebut dilakukan saat penggunaan bom, peluru kendali, serta berondongan peluru meningkat hingga titik tertinggi sejak perang di negara tersebut diawali.
Angkatan Udara AS meningkatkan jumlah terminal gabungan pengendali serangan – para personel AU yang bekerja sama dengan prajurit darat untuk mengoordinasikan serangan udara – menjadi 134 di Afghanistan, meningkat dari 53 pada 2009, kata Mayor Ike Williams, seorang petugas operasi di Pangkalan Tempur Udara di Langley, Virginia.
Semakin meningkatnya ketergantungan terhadap serangan udara dan para prajurit yang mengarahkannya muncul saat militer AS meningkatkan jumlah pasukannya di Afghanistan menjadi 100.000 orang, termasuk 30.000 personel yang dikirimkan tahun lalu.
Pasukan tersebut sering kali mengandalkan bom-bom untuk menghalau serangan dan membantu mereka menghancurkan markas-markas Taliban.
"Yang Anda saksikan adalah reaksi terhadap musuh di darat," kata Kolonel AU Richard Gannon, seorang komandan opersi udara dalam wawancara hari Minggu lalu di Kabul.
"Musuh yang ulet dan musuh yang gigih," tambahnya.
Para analis militer mengatakan, pendekatan yang semakin agresif mungkin saja memberikan perlindungan yang lebih baik bagi para prajurit AS dan NATO serta membantu menghabisi para gerilyawan, namun hal itu juga berpotensi membuat marah para pejabat dan penduduk Afghanistan.
"Ini merupakan hal utama yang menciptakan perselisihan antara masyarakat Afghanistan dan NATO," kata Arturo Munoz, seorang ilmuwan politik di Rand Corp dan mantan pejabat antiterorisme di CIA.
"Jika yang jadi keluhan utama harus disoroti, maka tanpa diragukan lagi bahwa hal itu adalah serangan udara dan korban jiwa dari pihak sipil akibat serangan udara," kata Munoz.
Akan tetapi, ada pertanda bahwa penekanan pasukan koalisi untuk mengurangi jumlah korban sipil berhasil. Jumlah korban dari pihak sipil, yang meninggal maupun terluka, akibat serangan pasukan Afghanistan dan pasukan koalisi dalam 10 bulan pertama tahun lalu berjumlah 742 orang, menurun 18 persen dari periode yang sama di tahun 2009, demikian menurut sebuah laporan PBB.
Pada tanggal 1 Januari, seorang warga yang diklaim sebagai anggota Taliban yang bertanggung jawab atas sejumlah serangan bom tewas dalam serangan udara, demikian menurut NATO. Para personel AU menunggu hingga target muncul di lahan terbuka, sebelum kemudian menghabisinya.
Pasukan yang mengendalikan serangan udara banyak diminta di Afghanistan, dan dalam beberapa kasus menghabiskan waktu sama banyaknya dalam pertempuran jika dibandingkan dengan yang mereka lakukan di rumah, kata Williams.
Mereka menghabiskan waktu selama enam bulan atau satu tahun dengan ditugaskan bersama unit-unit militer, dan beberapa di antaranya telah dikirimkan lima kali atau lebih.
Mereka berperan sebagai perantara antara para komandan Angkatan Darat dan pilot, mereka mengoordinasikan penjatuhan bom atau pengintaian dari udara terhadap sasaran.
Oktober lalu, mereka membantu mengoordinasikan 1.000 misi tempur saat pesawat-pesawat tempurmenjatuhkan bom atau menembakkan peluru kendali atau senjata api. Jumlah itu merupakan yang terbanyak, menembus rekor 984 serangan pada bulan Juni 2008.
Ia menambahkan, pelatihan bisa memakan waktu empat tahun, dan sekitar sepertiga yang mengikutinya gagal.
"Mereka harus kuat secara fisik, dan cerdas," kata Williams. (dn/ut) www.suaramedia.com
Post a Comment