Gerakan Islam dan Masalah Khilafah (Tanggapan Hizbut Tahrir Atas Surat Kabar Al-Ahram)

Pemimpin Redaksi Surat Kabar Al-Ahram Yang Terhormat:
Di dalam artikel berjudul “Gerakan Islam dan Masalah Khilafah” yang dipublikasikan pada edisi 45.305, tanggal 21/12/2010, Dr Wahid Abdul Majid menginginkan agar “Gerakan Islam Politik” menjelaskan sikapnya terhadap masalah Khilafah. Ia mengajukan untuk memulai diskusi dengan “Gerakan Islam Politik” seputar rancangan negara yang diserukannya, hingga “Gerakan Islam Politik” meninggalkan sistem Khilafah, dan mengumumkan bahwa sistem Khilafah merupakan peninggalan sejarah, serta programnya tidak lagi berisi seruan untuk menghidupkan kembali Khilafah di masa yang akan datang.
Sementara itu, ia mengakui bahwa sistem pemerintahan yang menaungi kehidupan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw, sampai Khilafah Utsmani merupakan sistem politik Islam yang didasarkan pada integrasi agama dan politik. Hanya saja, ia menyisakan kegagalan dalam usahanya yang sia-sia, yang ingin membuat pemisahan antara agama dan politik.
Namun, Saya tidak tahu dari mana ia membuat klasifikasi bid’ah ini, ketika ia menyebut gerakan yang beraktivitas untuk Islam dengan sebutan Islam politik. Seolah-olah ada Islam politik, ada juga Islam spiritual, Islam olahraga (yoga), dan Islam sosial, serta upaya-upaya pemisahan lainnya yang sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah atau obyektif. Usahanya itu hanyalah copy paste dari seruan para orientalis dan negara-negara penjajahan Barat, yang telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mendistorsi Islam dari dalam kesadaran kaum Muslim, lalu mempromosikan rencara penjajahn Barat yang bertujuan untuk membuat umat Islam sebagai umat yang  terpecah dan terbelah sesuai peta penjajahan, sehingga membuat generasi yang sebelumnya dari negara yang sama dan agama yang sama menjadi saling bermusuhan dan saling berperang di bawah bendera nasionalisme yang menjijikkan, yang telah ditanam oleh Barat di tengah-tengah umat Islam.
Apakah Dr Wahid Abdul Majid sadar dengan pernyataan yang dilontarkannya ini, ketika ia menyatakan hak untuk menolak terkait hasil berpikir independen, dengan menabrak rasionalitas yang ingin ia sebutkan dengan negara sipil? Apakah ia sadar bahwa ia sedang menempatkan dirinya untuk berbicara atas nama rencana penjajahan Barat yang bertujuan untuk menaklukan Islam, agar Islam menjadi lemah lembut, penurut, tunduk, serta menerima dominasi Barat terhadap umat Islam, seperti yang seringkali dikatakan oleh Dr Rafiq Habib dalam beberapa artikelnya?
Sesungguhnya Islam itu tegak di atas akidah “Lâ Ilâha Illallâh Muhammadar Rasulullâh, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah”. Akidah ini tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Seorang Muslim diperintahkan agar menjalankan semua aktivitas dan urusan hidupnya menurut ketentuan syariah Islam, di mana ia merupakan subjek hisab (perhitungan) pada hari kiamat, bukan sistem dan perundang-undangan positif buatan manusia.  Sementara itu ayat Al-Qur’an Al-Karim mengatakan, “Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’.” (TQS. Al-An’am [6] : 162).
Allah SWT yang telah menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan. Dan Allah juga yang telah membuat untuk manusia syariah (peraturan) yang akan mengarahkan manusia kepada jalan yang lurus di dunia dan di akhirat.
Sedang berhukum dengan perundang-undangan buatan manusia, lalu mereka menghalalkan dan mengharamkan berdasarkan kemaslahatan (kepentingan), hawa nafsu dan keinginan, maka sesungguhnya inilah hakikat kesyirikan kepada Allah SWT.
Sebelumnya, Dr Wahid Abdul Majid mendefinisikan bahwa negara sipil adalah negara yang  berdasarkan kewarganegaraan, keragaman agama dan sekte, serta supremasi hukum. Dalam hal supremasi hukum ini tidak ada perbedaan, namun yang berbeda adalah mengenai perundang-undangan yang mana? Artinya siapa yang berhak membuat hukum untuk diterapkan pada manusia dalam mengatur setiap urusan hidupnya dan dalam menjalankan semua aktivitasnya? Islam membatasi bahwa hak legislasi merupakan hak Allah semata, tidak dengan yang selain-Nya.
Adapaun dalam sistem perundang-undangan positif, maka itu buatan manusia, atau segelintir manusia dengan nama Dewan Legislatif dan dikuatkan oleh lembaga yang bernama Mahkamah Konstitusi. Kemudian undang-undang ini yang diterapkan dalam menyelesaikan sengketa, serta menentukan solusi dalam menjalankan urusan individu dan masyarakat dalam perekonomian, pemerintahan, dan aspek kehidupan lainnya.
Dr Wahid Abdul Majid tahu betul bahwa perundang-undangan Islam tidak membedakan antara penguasa dengan rakyat, antara masyarakat elite dengan masyarakat biasa, bahkan antara Muslim dan non-Muslim. Semuanya berada di bawah atap perundang-undangan. Sehingga siapa saja yang melanggar ketentuan Allah, maka ia akan memperoleh balasannya, siapapun dia.
Perundang-undangan Islam dibuat melalui teks-teks wahyu yang diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Muhammad Saw, bukan untuk kepentingan satu orang atau sekelompok orang, seperti halnya dalam realitas perundang-undangan buatan manusia yang melayani kepentingan pembuatnya dari kalangan elite penguasa, yang membuat klain palsu dan dusta bahwa ia memerintah atas nama rakyat, dan untuk kepentingan rakyat, sedang rakyat berlepas diri darinya.
Realitas sistem Barat memperlihatkan dengan mudah kebenaran sesungguhnya, bahwa para pemilik uang dan modal adalah orang-orang yang memberikan dan mengambil kembali pemerintahan. Sehingga peran penguasa eksekutif dan partainya di legislatif adalah semata-mata untuk melayani para pemilik kepentingan itu, sebab jika tidak, maka mereka akan terdepak dari kursinya.
Kita tidak perlu pada daftar berkah atau kelebihan demokrasi Barat dan negara sipil sekuler yang telah membuahkan banyak peperangan yang menghancurkan tanaman dan ternak di dunia dulu dan sekarang (di mana perang telah menyapu bersih bangsa Indian) pada abad kesembilan belas dan abad dua puluh! Hingga sapai pada berkah demokrasi “Israel” yang telah menghasilkan orang-orang seperti Menachem Begin, Ariel Sharon dan Benjamin Netanyahu, serta masih berlanjutnya penjara Guantanamo, Abu Ghraib dan Bagram …!!
Saya telah bertemu dengan Dr Abdul Mun’im Said dalam pertemuan di sebuah pameran media Dubai pekan lalu. Sedang fokus pembicaraan kita adalah, bahwa media harus menjadi alat yang objektif dan adil, untuk menggerakkan semangat umat agar keluar dari bencana dan malapetaka, serta menghancurkan belenggu yang diikatkan oleh rencana Barat, dan bukan menjadi terompet yang mempromosikan sistem busuk yang menjijikkan.
Semua orang tahu bahwa Hizbut Tahrir sejak didirikan pada awal tahun lima puluhan abad yang lalu, tetap konsisten menawarkan pemikiran politik, yang di dalamnya terlihat jalan untuk mengambil tangan umat guna membebaskannya dari pengaruh rencana penjajahan Barat untuk mengambil tempat di antara bangsa-bangsa, dan memusuhi para pengemban pelita mencu suar bagi bangsa yang tidak berdaya di dunia.
Inilah pembebasan yang kita serukan, yaitu membebaskan manusia dari hawa nafsu orang-orang yang tidak mengenal arti nilai spiritual, kemanusiaan atau etika dalam politik mereka yang membinasakan, yang hanya membawa manusia lebih jauh ke dalam jurang kehancuran. Jadi, bagi mereka yang mempromosikan negara sipil sekuler, yang percaya pada kebebasan berpikir dan berpendapat, mari kita berdiskusi tentang hak yang bertujuan untuk mengungkap berbagai fakta yang jauh dari politik pendektean dan prasyarat. Namun, apakah mereka akan melakukan?
Osman Bakhash
Direktur Pusat Biro Informasi Hizbut Tahrir
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 31/12/2010.