KABUL (Berita SuaraMedia) – Roket dan bom Amerika Serikat akan lebih banyak menghancurkan desa-desa di Afghanistan jika kawasan tersebut "dipenuhi" oleh bahan peledak buatan sendiri dan para penduduk desanya "diusir" Taliban. Namun, pasukan koalisi yang dipimpin AS tidak akan menghancurkan wilayah berpenduduk. Hal itu dikemukakan seorang juru bicara Jenderal David Petraeus, komandan perang di Afghanistan. Pekan lalu, dilaporkan bahwa pasukan koalisi menggunakan 25 ton bahan peledak untuk menghancurkan sebuah Desa Tarok Kolache yang tampaknya tidak berpenduduk, Oktober tahun lalu. Menurut klaim komandan Unit Militer Gabungan 1-320th, tempat tersebut merupakan markas Taliban, dipenuhi bom rakitan dan sama sekali tidak ada penduduk sipil, jadi unit militer itu meratakan desa tersebut dengan tanah.
"Ada satu lingkungan yang seluruhnya tidak berpenduduk dan dipasangi jebakan. Satu lingkungan, bukan hanya satu rumah," kata Kolonel Erik Gunhus, juru bicara Petraeus kepada Danger Room. Ia menambahkan, pasukan AS terus menemukan lebih banyak kawasan berbahan peledak saat berperang di selatan Afghanistan. Itu berarti militer AS menyalahkan Taliban atas penghancuran yang mereka lakukan.
Bahkan, sang juru bicara mengatakan bahwa pasukan koalisi "dipaksa" menyapu bersih kawasan desa. "Kami dipaksa melakukan hal-hal ini," tandasnya. "Bukan kami yang memasang perangkap di rumah-rumah atau mengusir para penduduk dari rumah mereka di tengah musim dingin."
Lantas, dari mana pasukan itu yakin bahwa mereka tidak membunuh satu pun penduduk sipil karena pasukan itu tidak menyisir desa menjelang pengeboman?
Gunhus menolak berbicara secara terperinci mengenai Tarok Kolache. Namun, ia mengatakan bahwa saat pasukannya bertemu desa-desa yang dipenuhi bom rakitan, mereka memiliki "setumpuk" informasi dari pengintaian udara dan ada penduduk setempat yang meyakinkan mereka bahwa tidak ada warga sipil sebelum membumihanguskan sebuah kawasan.
"Kami harus meratakan sebuah kota sebelum dipasangi (jebakan)," kata Gunhus. "(Kota) itu dipenuhi bom rakitan yang dipasang untuk mencederai pasukan (NATO). Tidak ada penduduk di kota itu."
Gunhus menambahkan, pertemuan dengan para penduduk dan tokoh desa setelah penghancuran desa-desa memungkinkan warga sipil mendapatkan kompensasi dan juga pemberitahuan kepada pasukan AS jika ada kerabat mereka yang terluka. Menurutnya, hal itu tidak terjadi di Tarok Kolache.
Ekspansi serbuan pasukan AS ke kawasan selatan yang belum pernah mereka terjuni sebelumnya berujung padapenemuan desa-desa tidak berpenduduk yang "dipenuhi" bom dan keputusan para komandan untuk menghancurkannya.
Tapi, Agustus lalu Petraeus memperingatkan pasukannya agar tidak menggunakan taktik militer yang terlalu berat. "Buru musuh dengan agresif, tapi hanya pergunakan daya tembak yang diperlukan untuk memenangkan sebuah pertempuran."
"Jika kita membunuh warga sipil atau merusak properti mereka dalam operasi kita, kita akan menciptakan lebih banyak musuh. Itulah yang diinginkan Taliban. Perlakukan masyarakat Afghanistan dan properti mereka dengan hormat," tulis Petraeus dalam sebuah memo.
Tarok Kolache mungkin adalah contoh yang ekstrem. Namun, di sepanjang musim gugur dan musim dingin, setelah penghancuran desa, muncul sejumlah laporan bahwa dalam pertempuran berdarah untuk memperebutkan Kandahar, militer AS mulai menghancurkan rumah-rumah yang mereka yakini dipasangi bom Taliban. Di Desa Khosrow, Arghandab, New York Times melaporkan bahwa 40 rumah dihancurkan oleh peluru kendali, sebagian dari yang disebut gubernur distrik 120 hingga 130 penghancuran rumah di Arghandab.
Akan tetapi, sang gubernur yang diangkat Presiden Hamid Karzai itu membela penghancuran tersebut. "Tidak ada cara lain, kami tahu masyarakat ingin kami menyingkirkan (bom-bom) mematikan ini."
Seperti dilansir Washington Post, akibat pengeboman yang dilakukan pesawat AS di dekat Kota Kandahar Oktober lalu, seorang penduduk bertanya kepada seorang jenderal NATO, "Mengapa kalian harus meledakkan begitu banyak ladang dan rumah kami?" (dn/wr) www.suaramedia.com
Post a Comment