Bung Karno, sebuah nama legendaris di Indonesia. Kebesaran namanya telah melampaui jasa-jasanya. Di mata pengagumnya, Bung Karno, presiden RI pertama, hampir-hampir tidak memiliki sisi
negatif. Bahkan sebagian besar rakyat muslim pernah mengangkatnya sebagai Ulil Amri Ad-Dharury bis Syaukah. Seorang sejarawan Arab, bernama Dr. Abdullah Tal, mencoba meneropong sisi kehidupan Soekarno dari prespektif yang sama sekali berbeda dengan yang kita kenal selama ini. Selengkapnya, ikutilah tulisan beliau di bawah ini yang kami terjemahkan dari kitab Al-’Afal Yahudiyah fi Ma’aqilil Islami (Operasi Ular Berbisa di negara-negara Islam). Kitab ini menyoroti sepak terjang pemimpin-pemimpin negara yang menjadi agen-agen Zionis dan beroperasi di negara-negara Islam.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar kelima setelah Cina, India, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 3000 pulau lebih, yang terbesar adalah Irian, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Luas wilayahnya mencapai 735.865 mil persegi [17] dan termasuk negeri terkaya di dunia. Dalam pembahasan ini kami hendak mengetengahkan bahaya yang dihadapi negeri besar ini, karena sepak terjang Zionisme Internasional dan Komunis yang mencengkeram negeri tersebut. Sembilan puluh persen dari penduduknya beragama Islam. Islam tidak pernah menghadapi suatu tempat yang begitu dipenuhi oleh pemikiran dan keyakinan yang berlawanan dengan Islam seperti yang terjadi di Indonesia, yaitu perintang dari agama Hindhu dan Budha pada masa-masa takhayul dan khurafat dahulu. Islam
menghadapi keadaan ini dengan penuh semangat ketenangan dan maju dengan langkah damai, jauh dari senjata, tentara, dan armada tempur; tetapi hanya dengan mengandalkan kekuatan yang terkandung dalam ajaran Islam yang bersifat toleran, sederhana, dan utuh. Ketika benteng-benteng perintang yang begitu kokoh mengalami serbuan dakwah, tiba-tiba hati dan pikiran penduduknya terbuka untuk menerima kebenaran. Dengan begitu Islam tersiar, berkembang dan mendapatkan ribuan pemeluk tanpa kekerasan dan paksaan. Tiba-tiba mayoritas dari penduduk kepulauan ini beriman kepada Allah dan Muhammad rasulullah saw. dengan suatu cara yang hampir-hampir merupakan mukjizat.
[17] An Amullah Khan, Taqwimul Buldanil Islamiyah, Karachi, 1964, hal. 95
Para pedagang Muslim yang datang menyebarkan Islam ke negeri ini melakukannya tidak sebagaimana badan-badan kristenisasi yang dilengkapi dengan ilmu, kemampuan, dan dana organisasi yang teratur, tetapi mereka melakukannya secara individual yang ditopang oleh keimanan yang mendalam, dan semangat yang tinggi di dalam diri mereka, sehingga berhasillah mereka mewujudkan keajaiban tersebut, sehingga Allah memberikan balasan yang baik kepada mereka. Dengan demikian menjadi jelaslah secara ilmiah, bahwa Islam tidak disebarkan melalui pedang.
Penyebaran Islam di kepulauan Indonesia (dahulu disebut kepulauan Melayu) telah tuntas sebelum datangnya penjajah Belanda yang merampas negeri ini sejak abad ke-16.[18] Kolonial Belanda baru keluar dari negeri ini setelah serbuan Jerman dan Jepang pada tahun 1942, dan angkatan perang Jepang berhasil menduduki seluruh kepulauan Melayu, kemudian hengkang dari negeri ini pada tahun 1945 setelah Amerika menjatuhkan bom atomnya di Hiroshima, sehingga mempercepat kemenangan Amerika dalam Perang Dunia ke II ini.
[18] Mahmud Syarqawi, Indonesia Al Mu’ashirah, Anglo, hal. 23
Setengah abad pertama dari masa penjajahan Belanda selama 3,5 abad di Indonesia, Belanda mendapatkan perlawanan sengit dari puluhan juta rakyat Muslim Indonesia yang miskin atas kekejaman kolonialisme yang keji. Dalam masa perlawanan baik yang dilakukan di bawah tanah maupun terang-terangan, muncullah tokoh-tokoh pejuang Indonesia seperti Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Soekarno, Ahmad Soebardjo, Sjahrir, dan Kasman Singodimedjo.
Sewaktu penjajahan Jepang, para tokoh di atas dan lain-lainnya melakukan perlawanan secara rahasia terhadap Jepang, tetapi Soekarno adalah salah satu tokoh yang mengajak bekerja sama dengan angkatan perang penjajah Jepang, karena itu dia dianggap sebagai tokoh yang moderat [19]. Penjajah Belanda dan Jepang memaksa Soekarno untuk menjadi juru bicaranya, dengan imbalan, Soekarno diangkat sebagai tokoh utama lantaran kemampuannya yang luar biasa dalam mempengaruhi pikiran publik. Ia dicintai oleh rakyat, dan di depan namanya mereka tambahkan kata Ahmad, sehingga nama lengkapnya menjadi Ahmad Soekarno. Hubungan Soekarno dengan Islam sama persis sebagaimana Kemal Attaturk di Turki dengan Islam, yang secara lahiriah menam-pakkan perhatiannya kepada Islam, tetapi di balik itu, ia melakukan tipu daya terhadap rakyat dan ulama guna memantapkan kekuasaan seperti yang diperbuat oleh Kemal Attaturk. Begitulah yang dilakukan oleh Soekarno sejak ia memegang kekuasaan di Indonesia sebagai presiden pada 23 Agustus 1945. [20]
[19] D. Smith, Indonesia, Sya’buha wa Arbuha, terjemah Hassan Mahmud, An Nahdhah, 1962, hal. 137
[20] Syarqawi, hal. 5
Soekarno dengan terang-terangan tidak mengacuhkan Islam dan menyatakan perang terhadap partai-partai Islam dan menggalakkan kemajuan partai Komunis serta badan-badan penyebaran Kristen dengan biaya negara. Ringkasnya tindakan-tindakan Soekarno yang busuk itu, telah menjerumuskan Indonesia ke dalam suasana kacau dan kemelut yang terjadi dewasa ini, yaitu:
1. Sejak ia memegang kekuasaan telah mengumumkan strategi tipu dayanya yang pertama dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar dan filsafat negara bangsa Indonesia. Pancasila ini terdiri dari ke-Tuhan-an yang Maha Esa, Kema-nusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan Sosial. Kata-kata Pancasila ini selalu diucapkan berulang-ulang oleh orang Indonesia yang secara sepintas terlihat baik dan membawa “rahmat” tetapi pada hakikatnya adalah racun yang ditebarkan oleh Soekarno untuk tujuan menggalang kerja sama antara rakyat Indonesia yang 90% Muslim dengan golongan-golongan lain, terutama sekali dengan golongan Komunis dalam kedudukan yang sama. Alasannya adalah, untuk menyatukan barisan nasional dalam menghadapi kekuatan kolonial.
2. Soekarno memecah belah kekuatan revolusioner yang sebenarnya, terutama sekali partai Masyumi dan Syarikat Islam yang merupakan kekuatan penentang penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan para tokoh utama dari pejuang-pejuang tersebut dipenjarakan oleh Soekarno seperti Mohammad Natsir, mantan Perdana Menteri setelah Prok-lamasi, Dr. Sjahrir, Ahmad Soebardjo, mantan Menteri Luar Negeri, Burhanuddin Harahap, mantan Perdana Menteri tahun 1955, Mohammad Roem, mantan ketua delegasi perundingan Konferensi Meja Bundar tahun 1949 dan Menteri Pendidikan, karena Kementerian ini melarang penerbitan buku dan selebaran-selebaran anti Komunis yang begitu gencar di negeri ini. Beberapa tahun setelah Soekarno memegang kekuasaan, teman-temannya yang dahulu berjuang bersamanya, dijebloskan ke dalam penjara atau dikenai tahanan rumah atau tahanan rumah sakit, karena mereka menghalangi langkah Soekarno untuk menghancurkan Islam dan menyerahkan Indonesia ke tangan Komunis serta golongan Kristen.
3. Soekarno menggalakkan para misionaris untuk menyebarkan Kristen dalam bentuk yang belum pernah terjadi sebelumnya, sekalipun pada masa penjajahan Belanda yang berlangsung 300 tahun lebih. Pemerintah Soekarno turut mendanai badan-badan misionaris Kristen bahkan ia mengijinkan Kristenisasi di kalangan militer Indonesia atas biaya negara. Ada sebanyak 260 tokoh-tokoh Pendeta Kristen Protestan yang bekerja di lingkungan militer dengan gaji negara [21]. Pada masa Soekarno dan dalam sejarah Islam pertama di Indonesia terjadi ribuan orang Islam pindah ke agama Kristen dengan sepengetahuan pemerintah Soekarno. Akibat dari politik ini, maka dengan cepat jumlah orang Kristen mencapai lebih dari 5 Juta orang yang berarti berlipat ganda sekian kali jumlahnya dibandingkan masa penjajahan Belanda.
4. Soekarno menggalakkan Komunis dan mengelabui rakyat Indonesia dengan doktrin Nasakom-nya guna menggalang kerja sama antara kaum Muslimin dan golongan Komunis untuk melawan penjajah. Rakyat menerima ajakan pemim-pin besarnya, karena mereka menganggap munculnya kolonialis baru yang mengancam negeri mereka dan untuk menghadapi bahaya penjajahan yang fatamorgana ini hanya bisa dilakukan dengan cara bekerja sama antara golongan Islam dan golongan
Komunis [22]. Dengan demikian golongan Komunis menjadi kuat berkat bantuan pemerintah sendiri dan paham Komunis meresap ke seluruh penjuru negeri, bahkan ke dalam tubuh militer Indonesia sendiri. Para perwira yang Komunis memberikan latihan militer kepada ribuan teman-teman Komunisnya untuk menghadapi hari H. [23] Kerja sama antara Soekarno dan golongan Komunis tidak lagi menjadi rahasia bagi setiap orang di Indonesia maupun di luar negeri, kecuali mereka yang terbuai oleh kelicikan Soekarno pada masa-masa perjuangan bawah tanah dan terang-terangan di masa lalu. Patut diketahui bahwa jumlah kaum Komunis telah berkembang menjadi 3 Juta lebih di masa Soekarno padahal di zaman penjajahan Belanda hanya beberapa ribu orang saja. [24]
[21] Majalah Asy Syubanul Muslimin, April 1962
[22] Arnold Brackman, Indonesian Communism, New York, 1963, hal. 282
[23] An Nadwah, Makkah Al Mukarramah, 29-5-1966
[24] An Nadwah, 11-5-1966
5. Soekarno melicinkan jalan bagi kolega-kolega Cina Komunis untuk menguasai perekonomian negeri ini sehingga jumlah orang-orang Cina yang menonjol semakin besar. Begitu juga penyebaran majalah Yahudi yang dicetak di India dengan beraninya disalurkan melalui Kedutaan India di Jakarta. Soekarno melayani kepentingan Yahudi tidak secara langsung, tetapi melalui partai Komunis yang menjadi kepanjangan tangan dari gerakan Zionisme Yahudi Internasional. Adakah pelayanan yang lebih besar bagi kepentingan Yahudi lebih dari upaya menyerahkan negeri yang besar ini ke tangan golongan Komunis dan menempatkan negeri ini di bawah pengaruh Komunis RRC ataupun Komunis Rusia?
Hari H
Soekarno merasa bahwa ajalnya sudah hampir tiba, maka dia tidak ingin mati sebelum dapat memberikan pelayanan terakhir yang berharga kepada kolega Komunisnya. Ia menyadari bahwa sangat sulit menjebol akar Islam bila dia telah mati. Karena itu dia ingin menyelesaikan urusan ini dan menyerahkan kekuasaan negara kepada Partai Komunis, baru kemudian dia bisa dengan tenang menutup mata untuk selamanya. Soekarno tidak perlu berpikir keras mencari solusi, karena kolega-koleganya yang berpengalaman cukup lihai untuk mencari solusi dan dalih sebagai justifikasi (pembenar). Mereka adalah intelijen-intelijen yang pandai menciptakan kebohongan dan membuat fitnah kepada tokoh-tokoh yang baik. Oleh karena itu, Soekarno bersepakat dengan mereka untuk mengadakan revolusi sehingga kelak kekuasaan pemerintah jatuh ke tangan mereka. Mereka lalu mengadakan komplotan dan fitnah dengan menyebarkan tuduhan bahwa ada beberapa jenderal Muslim yang berniat untuk menggulingkan Soekarno. Komplotan yang palsu ini mendorong perwira-perwira Komunis untuk melakukan tindakan dan menghabisi sejumlah Jenderal serta teman dan pendukung mereka. Operasi pembantaian yang keji ini telah berlangsung dengan cara-cara yang sangat mengerikan pada awal Oktober 1965. Bahkan salah seorang puteri dari Jenderal tersebut mati ditembus oleh peluru kaum Komunis, karena bapaknya yang Jenderal bersembunyi di belakang
tembok taman dan lepas dari maut.
Kaum Komunis membantai 6 orang Jenderal dalam satu waktu dan mereka dapat menguasai angkatan udara serta sejumlah besar kelompok militer. Mereka mengumumkan, bahwa mereka telah melakukan pembunuhan tersebut demi menyelamatkan pemimpin besar Soekarno dari usaha kudeta yang telah disiapkan oleh beberapa Jenderal. Allah masih berkehendak untuk menye-lamatkan Negeri ini dengan munculnya perlawanan yang dipimpin oleh Nasution, seorang Jenderal beragama Islam dan Soeharto sebagai koleganya. Komplotan ini dapat dibasmi dan terungkap tipu daya serta kebohongannya. Cara-cara komplotan ini melakukan pembasmian, teror, dan pembunuhan massal yang tidak mengenal belas kasihan atau adab sopan dan adat-istiadat.
Pada akhirnya terungkap apa yang sebebnarnya terjadi dan membuat Soekarno jatuh dari kekuasaannya karena telah berkomplot dengan Partai Komunis. Kemudian muncullah pemerintahan baru untuk melakukan penertiban dan pemulihan keamanan. Peran Soekarno di Indonesia akhirnya terungkap, dan ia tidak sanggup lagi melindungi Partai Komunis untuk menutup kesalahannya yaitu pengkhianatan dan tipu daya. Soekarno hanya dapat melakukan pembelaan melalui pidato guna menyelamatkan apa yang masih dapat diselamatkan dari reruntuhan komplotan Komunis dengan dirinya.
Suatu saat dia berpidato: ”Bahwa golongan-golongan yang berusaha untuk menghabisi Partai Komunis di Indonesia ibaratnya seperti orang yang berusaha mematahkan besi” . Saat yang lain dia berpidato untuk meminta didirikan monumen bagi kaum Komunis yang telah memberikan pengorbanan besar dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini. [25] Soekarno hari ini telah berada di ambang sakaratul maut politiknya, yang kelak waktulah akan mengungkapkannya sebelum ajalnya datang, apakah dia termasuk dalam barisan pahlawan atau penghianat. [26]
[25] Al Jumhuriyah, Al Qahirah, 22-2-1966
[26] Halak, 21-6-1970
Soekarno bukan orang bodoh atau dungu jika kita ingin mengatakan, bahwa kebijakan-kebijakan yang dilakukannya adalah dilandasi oleh niat baik, tetapi telah terjadi kesalahan di sana-sini. Sesungguhnya dia adalah seorang yang amat lihai karena ia mampu memainkan peran rahasia dan melayani kepentingan Yahudi Internasional sepenuh hati, dan rasa tanggung jawab sekalipun dengan mengorbankan masa lalunya dan masa kininya serta menghadapi bahaya dalam hidupnya demi mensukseskan peran yang diletakkan di atas pundaknya, dan menjalankan sandiwara di atas panggung sejarah Indonesia. Karena sesungguhnya Soekarno adalah seorang keturunan Yahudi suku Dunamah [27].
Allah telah melindungi Indonesia dan rakyatnya yang Muslim dan pemberani dan militernya yang ksatria yang telah berhasil menghancurkan kekuatan Komunis terbesar di luar negara-negara Komunis. (Diterjemahkan dari Al Af’’al Yahudiyah fii Ma’aqilil Islami, Dr, Abdullah Tal, bab V, hal. 128-133, terbitan Al Maktab Al Islamy, Beirut, 26 Agustus 1971)?
[27] Dunamah adalah salah satu suku Yahudi yang tinggal di Turki
Bab 7
PANCASILA SOEKARNO
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, Kekaisaran Jepang, melalui Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengumumkan janji pemberian kemerdekaan kepada segenap rakyat Indonesia. Pengumuman ini dikeluarkan di depan resepsi istimewa The Imperial Diet yang ke 85 pada 7 September 1944. Langkah pertama pelaksanaan janji ini ialah pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 29 April 1945, hari ulang tahun Kaisar Jepang. Badan Penyelidik yang beranggotakan 62 orang ini, termasuk Dr. Rajiman Widyodiningrat dan R.P. Soeroso masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua, dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 dan menyelesaikan tugasnya di Gedung Pejambon dalam dua kali sidang.
Pertama, berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Dan yang kedua, berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 16 Juli 1945. Pada hari terakhir sidang pertama, Soekarno, salah seorang anggota Badan Penyelidik, menyampaikan pidato sebagai berikut:
Saudara-saudara! sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka”, maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar. Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, mintaphilosophische grondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu. Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas suatu “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanschauung”, filsafat-nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”, yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung.
Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas satu “Weltanschauung”, yaitu yang dinamakan “Tennoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tennoo Koodoo Seishin”, inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung”, bekerja mati-matian untuk me-realiteit-kan” “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s”, – John Reed, di dalam kitabnya: Ten days that shook the world, “sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin mendirikan Sovyet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung” nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu telah disusun. Bahkan dalamrevolutie 1905, Weltans-chauung itu “dicobakan”, di “generale-repetitie -kan”. Lenin, di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” dari pada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung” itu disediasediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruh-kan kekusaan itu diatas Weltanschauung yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu.
Tidakkah pula Hitler demikian? Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas NationalsozialistischeWeltanschauung. Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punyaWeltanschauung itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1912 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Nazisme ini, Weltanschauung ini, dapat menjelma dengan dia punya Munchener Putsch, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara ditelakkan oleh beliau di atas Weltanschauung yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu. Maka demikian pula, jika kita hendak mendiri-kan negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah Weltanschauung kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasionalsosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka, tetapi Weltanschauung-nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I, – Mintsu, Minchuan, Min Sheng, -nasionalisme, demokrasi, sosialisme, – telah digambarkan oleh doktor Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas Weltanschauung San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh tahun. Kita hendak mendirikan negara Indonesia, merdeka di atas Weltanschauung apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu I-kah, atau Weltanschauung apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemuka-kan macam-macam, tetapi alangkah benar perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagus Hadikusumo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan paham. Kita bersama-sama mencari persatuanphilosophische grondslag, mencari satu Weltanschauung yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setuju, yang Ki Bagus setujui, yang Ki Hajar setujui, yang sdr. Sanusi setujui, yang sdr. Abikusno setujui, yang sdr. Lim Kun Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.
Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokoritsu Zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia. Saya minta, saudara Ki Bagus Hadikusumo dan saudara-saudara Islam lain: maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagus Hadikusumo katakan kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan, nenek moyang tuanpun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagus Hadikusumo itulah, kita dasarkan negara Indonesia. Satu Nationale Staat ! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerang-kannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan, syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu”. Perlu orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu. Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage ”, disitu ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah: “Eine Nation ist eini aus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Caharaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie . (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Supomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat membuat rencana. Yamin berkata: “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik. Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagus Hadikusumo, atau tuan Munandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antar orang dan tempat, tuan-tuan sekalian!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “I ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan.
Allah swt membuat peta dunia, menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat menunjukkan dimana “kesatuankesatuan” disitu. Seorang anak kecilpun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar Lautan Pacific dan Lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benua Asia dan benua Australia.
Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmahera, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia sebagai “golfbreker” atau penghadang gelombang lautan Pacifis, adalah satu kesatuan. Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah swt demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athena saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah Tanah air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap keperluan yang ditunjuk oleh Allah swt menjadi satu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah Tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup le desir d’etre ensemble, tidak cukup definisi Otto Baueraus Schiksalsgemeinschaft erwachsene Charakter-gemeinschaft itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Diantara bangsa di Indonesia, yang paling ada desir d’etre ensem-ble, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan! Penduduk Yogya pun adalah merasa le desir d’etre ensemble , tetapi Yogya pun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di Jawa-Barat rakyat Pasundan sangat merasakan le desir d’etre ensemble tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Pendek kata bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan le desir d’etre ensemble diatas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang, menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah swt tinggal dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Papua! Seluruhnya! Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada le desir d’etre ensemble , sudah terjadi Charaktergemeinschaft ! NatieIndonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat).
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Papua. Saya yakin tidak ada satu golongan diantara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu natinale staat! Bukan Pruisen, bukan Beiren, bukan Saksen adalah nationale staat , tetapi seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di Utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat . Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segitiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri ditanah air kita yang merdeka dijamin dahulu, adalah nationale staat . Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu dijaman Sriwijaya dan dijaman Majapahit. Diluar dari itu kita tidak mengalaminationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokusumo bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat . Dengan perasaan hormat kepada Sultan Agung Tirtayasa, saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hasanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saja berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat. Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri dijaman Sriwijaya dan Majapahit, dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.
Maaf, Tuan Lim Kun Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab:“Saya tidak mau akan kebangsaan”.
Tuan Lim Kun Hian: “Bukan begitu, ada sambungannya lagi”.
Tuan Sukarno: Kalau begitu, maaf, dan Saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Kun Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk paham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya menschheid, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk dibangku sekolah H.B.S. di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, – katanya: Jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles , saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saja sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruhThe Three people’s principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk ke lobang kubur. (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan).
Saudara-saudara. Tetapi…. tetapi…..memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadichauvinisme, sehingga berpaham “Indonesia Uber Alles” . Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalisme, tetapi kebangsaan saya adalah peri kemanusiaan. ”My nationalisme is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakanDeutschland uber Alles , tidak ada yang setinggi “Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri diatas asas demikian, Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua, yang saja usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya. Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, satu buat semua, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, sayapun, adalah orang Islam,-maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, -tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat. Apa-apa yang
belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar-supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam kedalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60,70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam.
Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya diatas bibir saja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat.
Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan paham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip pewakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebat-nya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar dari pada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahuwa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari padanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya.
Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan! Prinsip No.4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan. Prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang- pangan kepadanya?
Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat, di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah perlementaire democratie. Tetapi tidaklah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela? Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidaklah di Amerika kaum Kapitalis merajalela? Tidakkah diseluruh benua Barat kaum Kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Fransche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinama-kan democratie disana itu hanyalah politieke democratie saja; semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid,-tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perantjis, Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. “Di dalam Perlementaire Democratie, kata Jean Jaures, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan dikalangan rakyat?” Maka oleh karena itu Jean Jaures berkata lagi: “Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politik itu, di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik,-sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar kejalan raja, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki? Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratieyang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan paham Ratu-Adil, ialahsociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan dunia-baru yang di dalamnya ada keadilan, dibawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun diatas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheiddan sociale rechtvaardigheid. Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie“vooronderstelt erfelijkheid”,-turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghendaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara, kita pilih.
Jikalau pada suatu hari Ki Bagus Hadikusumo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikusumo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikusumo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3. Mufakat,-atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhamad s.a.w, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadlirin). Nabi Muhamad s.a.w telah memberi bukti yang cukup tentang verdraag-zaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaam-heid itu.
Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi
pekerti luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa! Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula! Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah tempatnya kita mempropagan-dakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! “Dasar-dasar Negara” telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Dari kita lima setangan. Kita mempunyai Panca Indera. Apa lagi yang lima bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa Lima).
Pendawapun lima orangnya. Sekarangpun banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi – saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi. (Tepuk tangan riuh).
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltans-chauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socionationalisme. Dan Demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiekeconomische democratie, yaitu politik demokrasi dengan socialerechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.
Tinggal lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio demokratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikusumo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia,- semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong! (Tepuk tangan riuh-rendah).
“Gotong-Royong” adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu
amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Sukarjo satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah
pembantingan- tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagian semua. Ho-lopis-kuntul-baris
buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! (Tepuk tangan riuhrendah).
Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah, saudara-saudara, yang saya usulkan kepada saudara-saudara. Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah kepada tuan-tuan, mana yang tuan-tuan pilih: Trisila, Ekasila ataukah Pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi.
Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia,- di dalam gunturnya peperang-an! Bahkan saya mengucap syukur alhamduli’llah kepada Allah Subhanahu wata’ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi dibawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka, Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah s.w.t.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untukWeltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk pemu-fakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhanan. Panca Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun. Tetapi, saudara-saudara , diterima atau tidak, terserah kepada saudara-saudara.
Tetapi saya sendiri seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan realiteit, jika tidak dengan perjuangan!. Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! De Mensch,-manusia!-harus perjuangan itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat menjadi realiteit. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Qur’an, zwart op wit (tertulis diatas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjuangan manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya, tidak dapat menjelma zonderperjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realiteit , yakni jikalau kita ingin hidup menjadi satu bangsa, satunasionaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan ke-Tuhanan yang luas dan sempurna,- jaganlah lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia Merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnja dengan perjuangan sekarang, lain corak- nya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan terutama dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah, dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani meng-ambil resiko,- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalam-nya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka”,-merdeka atau mati”!(Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo jang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verschrikkelijk zwaarwichtig” itu. Terima kasih! (Tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin)?
Bab 8
ASAL USUL PANCASILA RUMUSAN SOEKARNO
Endang Saifuddin Anshari, dalam bukunya berjudul: Piagam Jakarta 22 Juni 1945, mengemukakan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah Soekarno benar-benar perumus yang pertama sekali Lima
Sila itu?” Jawabnya adalah negasi. Tiga hari sebelum Soekarno menyampaikan pidatonya yang terkenal itu, Muhammad Yamin telah menyampaikan, pada tanggal 29 Mei 1945, di depan sidang Badan Penyelidik tentang Lima Asas sebagai dasar bagi Indonesia Merdeka, sebagai berikut: Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Ketuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.
Tidak terdapat perbedaan fundamental antara Lima Asas Yamin dan Lima Sila Soekarno itu. Perbedaan hanya dalam istilah yang digunakan untuk “demokrasi” dan dalam susunan atau urutan asas-asas tersebut. Mohammad Roem, seorang pemimpin terkenal Masyumi memandang: “Tema dari kedua pidato itu sama, jumlah prinsip atau dasar sama-sama lima, malah sama juga panjangnya pidato, yaitu dua puluh halaman dalam “Naskah” tersebut. 17) B.J. Boland mencatat bahwa atas dasar kesamaan ini maka orang sampai kepada kesimpulan bahwa“The Pancasila was in fact creation of Yamin’s, and not Soekaro’s . 18) (Pancasila itu ternyata karya Yamin, dan bukan karya Soekarno). (Dalam beberapa tahun terakhir hidupnya, dalam beberapa kesempatan baik secara implisit maupun eksplisit, Mohammad Hatta membantah anggapan bahwa Yamin perumus pertama ”Panca-sila”. Hatta memperkuat anggapan, bahwa Soekarnolah perumus pertama “Pancasila”. Bantahan Hatta tersebut meragukan, sekurang-kurangnya menimbulkan beberapa pertanyaan. Mengenai masalah ini diperlukan pembahasan khusus, dan tidak akan diuraikan disini.
Bagaimanapun, ini semua bukanlah rumusan pertama prinsip-prinsip ini. Ketika Yamin dipecat dari Gerindo pada tahun 1939, kemudian dia dan kawan-kawannya mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo) berasaskan Sosial-nasionalisme dan Sosial-demokrasi. Enam tahun sebelumnya, dalam konferensi Partindo (Partai Indonesia) di Mataram pada bulan Juli 1933, Soekarno menyatakan bahwa bagi kaum Marhaen asas itu ialah Kebangsaan atau Kemarhaenan (Marhaenisme). Di dalam ayat 1 putusan konferensi tersebut ditegaskan bahwa Marhaaenisme itu bukanlah lain melainkan Sosio-nasionalisme dan Sosio-demokrasi; 22) Sosio-nasionalisme terdiri atas (1) Internasionalisme dan (2) Nasionalisme, sedangkan Sosio-Demokrasi mencakup (3) Demokrasi dan (4)Keadilan Sosial; 23) Oleh karena itu jelaslah baik “Pancasila” Soekarno maupun Lima Asas Yamin bukanlah lain melainkan pernyataan kembali (restatement) empat segi Marhaenisme Soekarno yang dirumuskan pada tahun 1933 ditambah Ke-Tuhanan.
Keterangan-keterangan Soekarno sendiri me-ngenai prinsip-prinsip ini dalam Badan Penyelidik menunjukkan dengan jelas bahwa dia sendiri mengakui ketergantungannya pada orang-orang lain. Ketika membahas hubungan antara Nasional-isme dan Internasionalisme dan menyatakan: “Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya,-katanya : jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, alham-dulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya,- ialah Dr. Sun. Yat Sen ! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People Principles”. Saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politanisme yang diajarkan A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People Principles” itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa mengharap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr Sun Yat Sen, – sampai masuk lobang kubur. Ketika membicarakan prinsip keadilan sosial, Soekarno sekali lagi menyebutkan pengaruh San Min Chu I karya Dr. Sun Yat Sen : “Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam tiga hari belum mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Saya katakan tadi : prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus ……. Kesejahte-raan sosial, ……. Sociale rechtvaardigbeid.” Ketiga prinsip Nasionalisme, demokrasi dan Sosialis ini dapat ditelusuri kembali kepada tahun 1885. Menurut Soekarno: “Maka demikian pula,jika kita hendak mendi-rikan Negara Indonesia Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan : apakah “Weltans chauuung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka diatasnya? Apakah nasionalis-sosialism? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doktor Sun Yat Sen ? Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok mereka, tetapi “Welants-chauuung”nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak salah, difikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The Three People’s Principles” San Min Chu I, – Mintsu, Min chuan, Ming Sheng, – Nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh Dr Sun Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauuung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.”
......................
referensi:
DOKTRIN ZIONISME DAN IDIOLOGI PANCASILA
Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Father Republik Indonesia
Editor: Drs. Muhammad Thalib & Irfan S Awwas
Wihdah Press, Yogyakarta, 1999
Repost: http://www.facebook.com/note.php?note_id=446038629505

Post a Comment