Tahukah anda parameter sebuah world-class city? Kota kelas dunia. Banyak negara berkembang yang ingin memacu peringkat kota-kota yang dimilikinya dengan even-even internasional, semacam Olympiade atau Piala Dunia. Sejak sepuluh tahun yang lalu, Afrika Selatan telah bekerja ekstra keras membangun sejumlah kota yang sekarang menjadi ajang pagelaran Piala Dunia Sepakbola. Kota-kota itu harus sudah disulap sedemikian rupa sehingga aman dan nyaman untuk didatangi ratusan ribu orang dari seluruh dunia. Kota-kota itu harus setara atau lebih baik dengan kota-kota kelas dunia yang sebelumnya pernah menjadi tuan rumah acara serupa, seperti Tokyo, Muenchen atau Buenos Aires.
Apa saja yang dibangun? Yang pasti, infrastruktur! Para pecandu bola yang jauh-jauh datang dari segala penjuru tentu akan marah besar kalau mereka telat menonton pertandingan gara-gara macet. Jadi jaringan kereta listrik yang menjangkau seluruh kota harus sudah siap. Para supporter itu juga pasti akan marah kalau sampah ada di mana-mana. Jadi sistem pengelolaan sampah juga harus sip. Demikian seterusnya. Tentu saja infrastruktur itu tidak hanya berfungsi selama even berjalan, tetapi juga bermanfaat selanjutnya untuk kehidupan masyarakat kota itu. Baru pantas itu disebut kota kelas dunia.
Seribu tahun yang lalu, peringkat pertama dan kedua kota kelas dunia diraih oleh dunia Islam: Baghdad dan Cordoba. Baghdad kini masih dalam status perang sejak invasi Amerika. Cordoba kini statusnya tenang …. Sejak kaum muslim terusir dari sana lebih dari tujuh abad yang silam!
Cordoba terlatak di region Andalusia, Spanyol selatan. Andalusia dimerdekakan oleh pasukan muslim dari penjajahan Romawi pada tahun 711 M. Pada 750, di ibukota khilafah Damaskus terjadi revolusi penumbangan dinasti Umayyah yang korup. Nyaris seluruh keluarga Bani Umayyah dihabisi. Abdurrahman, seorang pemuda bani Umayyah yang baru 20 tahun berhasil lolos. Lima tahun ia berkelana dalam kemiskinan dan kebingungan di Afrika Utara, hingga ia diterima para pemuka di Andalusia.
Akhirnya, pada 756 ia dibaiat sebagai khalifah guna mengatasi kemelut politik yang masih berkecamuk hingga 33 tahun sesudah itu. Namun lambat laun, anak cucunya mengakui bahwa Baghdad lebih berhak pada khilafah, karena sesungguhnya di dunia Islam hanya boleh ada satu khalifah. Namun sejarah terlanjur mencatat eksistensi kedua khilafah ini, meski antar mereka tak ada lagi perang. Yang ada adalah kompetisi peradaban yang mengangkat umat Islam ke periode keemasannya.
Ciri suatu permukiman Islam adalah masjid. Untuk itu Abdurrahman membeli sebuah gereja tua yang telah rusak dengan harga 500.000 Dirham, atau dengan kurs Dirham saat ini sekitar Rp. 30 ribu, nilainya sama dengan Rp 15 Milyar. Ini agak aneh, biasanya pemenang perang langsung menghancurkan tempat ibadah bangsa yang ditaklukan, tetapi dengan uang itu orang-orang Nasrani malah bisa membangun gereja besar di tempat lain.
Abdurrahman menghancurkan sisa gereja itu lalu di atasnya dibangun masjid yang indah, yang arsitekturnya menginspirasi Eropa yang sebelumnya bergaya Yunani.
Ketika politik stabil dan ekonomi membaik, penguasa Cordoba mulai memikirkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Al-Hakam yang memerintah tahun 796-822 sejak hari pertama pemerintahannya ingin menjadikan rakyatnya bangsa termaju di dunia. Setiap masjid digabungkan dengan sekolah, dan di tiap bagian kota dibangun perpustakaan dan balai latihan keahlian, di mana anak-anak dapat belajar tanpa membayar, karena guru-gurunya telah dibayar negara. Al-Hakam juga mengirim duta-duta ke seluruh dunia untuk mencari ilmuwan atau membeli karyanya. Tak jarang, karya yang ditulis di Baghdad sudah beredar di Andalusia sebelum khalayak Baghdad mengetahuinya. Orang-orang Kristen Eropa juga bangga, bila bisa belajar di Cordoba, seperti pada abad-21 ini banyak ilmuwan muslim bangga belajar di Amerika. Bahkan Gerbert dari Aurillac, yang pada tahun 999 M diangkat menjadi Paus di Roma pun bangga, pernah belajar matematika di Cordoba. Eropa yang saat itu harus mengakui supremasi militer muslim keheranan, bahwa penguasa di Cordoba ternyata tidak dikelilingi oleh para jenderal yang perkasa nan bengis, tetapi oleh para ulama, ilmuwan, dan pujangga.
Gerbert pertama kali melihat cara orang Islam berhitung saat dia mengunjungi pasar di perbatasan Andalusia tahun 971. Saat itu Andalusia sudah menjadi wilayah yang sangat maju. Di Cordoba selain istana khalifah dan para wazirnya, sudah terdapat 113.000 rumah, 600 masjid, 300 pemandian, 50 rumah sakit, 80 sekolah umum, 17 sekolah tinggi (yang mahasiswa fakultas syariahnya saja 4000 orang) serta 20 perpustakaan umum, yang sebagian dengan koleksi di atas setengah juta buku.
Selain Konstantinopel, saat itu tidak ada kota Eropa Kristen yang berpenduduk di atas 30.000 orang, atau punya rumah sakit umum, universitas atau perpustakaan. Pada saat itu jalan-jalan kota di Eropa masih belum diperkeras dan di mana-mana masih bereceran kotoran dan sampah. Bahkan pada 28 Maret 1819, koran di kota Koln (Jerman) “Kolnische Zeitung” masih mencela proyek penerangan jalan dengan gas. Alasannya, “gelapnya malam adalah aturan Tuhan, dan seharusnya manusia haram merubahnya”.
Sejak tahun 950, jalan-jalan di Cordoba sudah diperkeras, secara teratur dibersihkan dari kotoran, dan malamnya diterangi lampu minyak. Baru duaratus tahun kemudian, yakni 1185, Paris memutuskan sebagai kota pertama Eropa yang meniru Cordoba, menjadi world-class city.
Pada akhir abad-11, kaum muslimin seluruh penjuru khilafah mulai terlena oleh kemakmuran yang dicapai. Jihad tak lagi mendapat perhatian serius. Stabilitas politik dijaga, namun melupakan misi Islam rahmatan lil ‘alamin. Mereka lupa bahwa saat itu masih banyak belahan dunia yang belum mendengar syiar Islam, masih tenggelam dalam kejahilan dan kezhaliman.
Demikianlah ketika akar-akar pohon khilafah mulai lapuk, tentara Salib berhasil menduduki Yerusalem tahun 1076, dan baru bisa diusir Shalahuddin al-Ayyubi 111 tahun kemudian (yakni 1187). Jadi posisi negara Khilafah memang lemah ketika pada 1236 Cordoba diserang tentara Kristen di bawah Fernando III. Apalagi sudah hampir 5 abad, kota ini berstatus separatis, tidak sepenuhnya di bawah kendali dan perlindungan Khilafah di Baghdad. Tak heran kota ini lalu takluk nyaris tanpa perlawanan. Saat itu sebenarnya ada perjanjian, bahwa kaum Nasrani mengambil alih pemerintahan, namun tak boleh mengganggu penduduk muslim, sebagaimana kaum muslim tidak mengusik mereka saat masuk Cordoba lima abad sebelumnya.
Namun benarlah firman Allah dalam QS At-Taubah:8 “Bagaimana bisa (ada perjanjian dengan orang-orang musyrik), padahal bila mereka memperoleh kemenangan, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Kaum muslim, dan semua yang tidak sepaham dengan penguasa (termasuk Yahudi dan sekte-sekte Kristen minoritas) ditindas dengan kejam, dan akhirnya harus memilih: mati atau meninggalkan Cordoba (mirip yang terjadi di Palestina saat ini).
Itulah yang menjelaskan mengapa Cordoba saat ini hanya berpenduduk sekitar 300 ribu orang dan tak lagi penting di Eropa. Setelah kaum muslim habis, tak ada lagi sumber daya manusia yang mampu meneruskan peradaban di Cordoba. Infrastruktur, universitas dan rumah-rumah sakit hancur satu demi satu dimakan usia. Sisa-sisa isi perpustakaan Cordoba berpindah ke museum di Eropa. Buku-buku antik itulah saksi bisu zaman keemasan Cordoba. Dalam hal ini nasib Cordoba sedikit lebih mujur daripada Baghdad yang seluruh koleksi bukunya dilemparkan ke sungai Tigris dan dijadikan jembatan oleh tantara Mongol tahun 1258. Bedanya, Baghdad beruntung karena tiga tahun kemudian (1261) Mongol sudah dikalahkan di Ain Jalut dan Baghdad dapat direbut kembali. Sedang Cordoba hingga kini belum pernah direbut kembali. (Dr. Fahmi Amhar)
Post a Comment