Syabab.Com - Tahun 2010 sudah berada di penghujung akhir. Berbagai peristiwa terjadi menambah catatan-catan kelam negeri ini akibat sekularisme atau ide pemisahan agama dari kehidupan. Hingga hari ini berbagai persoalan negeri ini pun belum juga berakhir, baik dalam masalah politik, sosial, termasuk di bidang ekonomi, semuanya buram. Berikut beberapa catatan penting sebagai refleksi khususnya di bidang ekonomi selama tahun 2010.
1. Fenomena Gayus: Potret Buruknya Birokrasi dan Mental Birokrat
Seperti kita ketahui bersama bahwa tahun 2010 adalah tahun kelabu untuk aparat negara baik yang bertugas di dirjen pajak (keuangan), kepolisian maupun kejaksaan, karena tiga lembaga inilah yang paling di sorot oleh public akibat adanya fenomena Gayus dan Markus. Hal ini sangat wajar dan mendapat perhatian banyak pihak karena semakin membuka Boroknya birokrasi di negeri ini.
Fenomena Gayus, PNS Dirjen Pajak golongan IIIA dengan rekening miliaran rupiah menghenyakkan banyak orang ditengah reformasi birokrasi yang digembar-gemborkan Pemerintah. Betapa tidak, untuk ukuran PNS, sebenarnya gaji seorang Gayus sudah termasuk tinggi. Namun kasus Gayus menunjukkan banyaknya celah dalam sistem hukum dan perpajakan untuk mengambil keuntungan pribadi. Dengan membantu perusahaan-perusahaan yang bermasalah menyelesaikan pajaknya, Gayus mengaku, antara lain mendapat total Rp.30 miliar. Ini hanya untuk urusan membantu mengeluarkan SKP PT KPC yang ditahan pada awal 2008, membuat surat banding dan segala sesuatu persiapan banding PT Bumi Resources pada 2005, serta membantu SPT Sunset Policy Arutmin. Belum lagi dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang pernah diselesaikannya.
Bermula dari laporan transaksi mencurigakan oleh PPATK dan keterangan mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjen Pol Susno Djuadi, kasus Gayus berkembang dan menyeret banyak pihak. Tak tanggung-tanggung, kalangan pejabat, jenderal, hakim dan jaksa bahkan pengacara pun menjadi pesakitan. Semakin membuktikan begitu masifnya jual beli perkara di negeri ini. Kasus Gayus hanyalah ujung gunung es berkeliarannya makelar-makelar kasus atau markus di Indonesia.
“Tak heran jika kita bersengketa tanah misalnya 1 hektar maka siap-siap saja kita kehilangan 2 hektar tanah” ungkap Lutfi Affandi salah seorang pengamat hukum UNPAD. Inilah bukti yang nyata yang sering kita temukan di masyarakat bahwa mafia kasus sering merugikan masyarakat.
Lain halnya Markus maka lain pula dengan Korupsi. Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Ibarat penyakit, korupsi telah menyebar luas ke seantero negeri dengan jumlah yang dari tahun ke tahun cenderung semakin meningkat serta modus yang makin beragam.
Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Straits Times, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.
Korupsi tentu saja sangat merugikan keuangan negara. Kwik Kian Gie, Ketua Bappenas, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana dari penggelapan pajak, kebocoran APBN, maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor.
Menurut penelitian seorang mahasiswa dari Universitas Gajah Mada pemenang peneliti remaja ke-9 yang berjudul Pemberian Efek Jera Optimum Bagi Para Pelaku Koruptor bahwa saat ini para pelaku Korupsi yang merugikan uang negara tidak memperoleh efek jera salah satunya dalam undang-undang korupsi bahwa yang dianggap korupsi adalah yang mengambil uang diatas lima juta, sedangkan bagi para koruptor yang telah melakukan korupsi hanya di bebankan 1 Milyar. Jadi berapa pun uang yang telah di korupsi misalnya 20 Milyar, 1 Trilyun kewajiban dia mengembalikan kepada negara hanya 1 Milyiar. Jelas ini merugikan negara dan hal ini tidak memberi efek jera sehingga berdampak bahwa korupsi menjadi sebuah profesi baru di negeri ini.
Demikian fenomena Korupsi dan Markus didalam sistem hukum Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Karena ditenggarai sama-sama memberi keuntungan bagi pihak yang melakoninya. Padahal praktik ini membuktikan kebobrokan berjalannya sistem hukum yang berasaskan sekuler-kapitalistik. Kepercayaan rakyat pun semakin luntur terhadap kemampuan hukum dan aparatnya menyelesaiakn kasus-kasus yang ada. Terlebih lagi dalam melindungi dan memberikan keadilan kepada masyarakat.
2. Persoalan TKW
Pada bulan November 2010, kita disentakkan oleh nasib tragis yang dialami Sumiati. Jari tengahnya retak, giginya rontok, kedua kakinya hampir lumpuh, kulit tubuh dan kepalanya terkelupas, dan yang lebih parah, bibir atasnya hilang. Untungnya dia masih hidup. Pada waktu yang hampir bersamaan, Kikim Komalasari ditemukan tewas mengenaskan di sebuah tong sampah di kota Abha. Sumiati dan Kikim adalah TKW di Arab Saudi yang menjadi korban kekerasan sang majikan.
Berdasarkan catatan Migrant Care, dari Januari hingga Oktober 2010, terungkap setidaknya ada 1187 kasus penganiayaan, 874 kasus pelecehan seksual, dan 908 kasus meninggal dunia dari total 45.845 berbagai kasus yang menimpa buruh migran Indonesia di luar negeri. Tahun sebelumnya, 2009, Migrant Care mencatat ada 6.314 angka kekerasan dan 1.017 angka kematian yang dialami para TKI.
Yang juga memiriskan hati, indosiar.com (5/4/2010) mencatat setidaknya setiap bulan ada 25 TKW yang pulang ke Indonesia dalam keadaan hamil atau membawa anak. Sebagian besarnya adalah karena hubungan gelap atau perkosaan. Anak-anak itu tidak dibawa ke kampung halamannya, karena malu pada sanak keluarga, tetapi ditampung ditempat tertentu untuk kemudian disalurkan kepada orang yang berminat dengan sejumlah imbalan.
Sikap abai terhadap para buruh migran juga ditunjukkan oleh sebagian wakil rakyat. Sabtu, 6 November 2010, para anggota komisi V DPR RI sedang transit di bandara Dubai dalam perjalanan pulangnya dari Rusia. Di bandara yang sama, sejumlah TKW sedang terlantar tidak bisa segera pulang ke tanah air dan harus menginap. Mereka tidak tahu bahwa mereka harus mengurus administrasi perijinan di negara tersebut. Anehnya, para anggota Dewan tidak tergerak sedikit pun untuk menolong. Padahal, di antara para TKW yang terlantar itu ada seorang TKW yang kedua tangannya melepuh disiram air keras oleh majikannya di Arab Saudi. Matanya pun merah karena dicolok oleh majikannya. Selain itu, ada pula seorang TKW yang perutnya mengalami pendarahan akibat kista. Untungnya, ada beberapa WNI lain yang kemudian menolong mereka.
Menanggapi sikap para anggota DPR tersebut, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Muhidin Mohammad Said mengatakan, "Kita salah kalau mereka ditelantarkan. Kalau ada aduan, wajarlah kita harus memperhatikan hak-hak mereka. Tapi kalau tidak ada aduan, ya apa yang mau diperhatikan," (kompas.com, 19/11/2010). Jadi inilah mungkin logika umum pejabat: jika tidak ada aduan, maka tidak akan diperhatikan.
Para TKW sesungguhnya adalah korban diterapkannya ideologi Kapitalisme. Betapa tidak, TKI atau TKW dijadikan “sapi perah” oleh system kapitalisme. Siapapun tidak mengingkari bahwa TKI adalah pundi-pundi pendapatan negara yang dipelihara setiap tahun karena TKI menghasilkan devisa rata-rata 100 Trilyun pertahun. Itu dari sekitar 3,2 juta TKI yang tercatat bekerja di luar negeri (Media Umat edisi 48). Namun dibalik limpahan sumbangan kepada negara tersebut, justru banyak diantara TKI yang menderita. Bahkan banyak yang tinggal nama. Mereka tidak berhasil menikmati impiannya yaitu mengangkat derajat diri dan keluarga.
Padahal jika dihitung rata-rata, pendapatan para TKW tidak terlalu besar. setiap tahun rata-rat mereka memperoleh penghasilan sebesar Rp.31,25 juta. Jika sejumlah itu dikurangi dengan biaya sebelum berangkat rata-rata Rp.18,29 juta, maka mereka mendapat uang sebesar Rp.12,96 juta pertahun atau 1 Rp.1,08 juta perbulan (media umat edisi 48). Angka ini hampir setara dengan UMR kota-kota tertentu, malah lebih rendah dibandingkan beberapa kota besar di Indonesia.
Nalar Kapitalisme, yang menjadikan perolehan manfaat duniawi sebagai tolok ukur kebahagiaan, ditambah dengan kampanye masif kesetaraan gender, menjadikan para wanita berbondong mencari pekerjaan. Terkadang bukan hanya untuk membantu keluarga memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga sebagai aktualisasi diri. Dan ketika di dalam negeri lapangan pekerjaan begitu susahnya didapati, berangkatlah mereka keluar negeri dengan resiko yang begitu besar menanti dan perlindungan dari pemerintah yang terkesan asal-asalan. Inilah yang terus terjadi dari tahun ke tahun, dan semakin lama semakin memburuk.
3. Skandal Bail Out Bank Century
Salah satu kasus yang banyak menyita perhatian publik selama tahun 2010 bahkan sampai saat ini adalah skandal Bank Century (kini bernama Bank Mutiara). Kasus ini tergolong heboh, karena dalam skandal tersebut terjadi penggelontoran uang negara sebesar 6,76 triliun yang penuh rekayasa dan sarat dengan tindakan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat penting di negeri ini seperti Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, anggota DPR, dan menyeret berbagai institusi hukum seperti KPK, POLRI, dan DPR. Bahkan konon kabarnya disinyalir dana bail out Bank Century mengalir ke dana kampanye salah satu partai politik dan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2009. Oleh karenanya, banyak pihak menilai skandal Bank Century sejatinya adalah ‘perampokan’ uang rakyat yang berkedok penyelamatan dunia perbankan.
Alasan Klasik Pemerintah
Jika bank century tidak di bail out maka akan berdampak sitemik?
sungguh alasan yang absur dan tidak berdasar. mengapa? karena Bank Century tergolong bank yang sangat kecil dibandingkan total asset perbankan nasional. Proporsi asset Bank Century terhadap industri perbankan nasional hanya sebesar 0,72%. Demikian pula dengan Dana pihak ketiga di Bank Century hanya 0,68 persen dari total dana di perbankan, kredit Bank Century hanya 0,42% dari total kredit perbankan dan pangsa pasar kreditnya hanya 0,42 persen dari total kredit perbankan (www.jurnal-ekonomi-ideologis.org). Jelas, dengan kecilnya ukuran proporsi Bank Century tersebut sulit untuk bisa mempengaruhi sistem keuangan dan ekonomi Indonesia secara umum sekalipun terjadi penarikan dana secara tiba-tiba. Tambahan pula,
Bank Century bukan bank retail yang memiliki banyak nasabah dan kantor cabang.
Padahal jika pemerintah konsisten dan objektif justru kenaikan TDL dan BBM lah yang akan berdampak sistemik terhadap ekonomi di negeri ini. Menurut para pakar ekonomi seperti Hendri Saparini dari Ekonit misalnya, bahwa dengan kenaikan harga TDL akan mengakibatkan sector UKM banyak yang gulung tikar dan memperbanyak pengangguran. Namun alasan itu semua tidak di gubris oleh pemerintah.
Mengurai Benang Kusut
Persoalan skandal bank Century sebenarnya berpangkal pada tiga hal :
Pertama, Carut marutnya hukum sekuler yang tidak akan pernah mampu mewujudkan clean and good government. Hal ini sendiri diakui oleh pimpinan KPK Bibit Samat Riyanto yang menyatakan bahwa sekalipun KPK dan DPR menggunakan hukum yang sama dalam menyelesaikan Bank Century, tetapi masing-masing menafsirkannya secara berbeda (rimanews.com, 27/11/2010). Hal lainnya terkait dengan wacana hukum yang mengatakan bahwa “kebijakan tidak bisa dipidana”. Padahal semua kejanggalan-kejanggalan dan pelanggaran-pelanggaran dalam kasus Bank Century justru dikemas dalam bentuk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Dan kalaupun dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), hampir dipastikan tidak akan berhasil karena konstitusi menyatakan harus disetujui oleh 2/3 anggota DPR yang hadir dalam paripurna. Dan kenyataannya hasil voting akhir pada paripurna lalu tidak mencapai 2/3 suara untuk membawa kasus ini ke MK.
Kedua, sistem ekonomi kapitalis yang didalamnya dijalankan praktek perbankan berbasis ribawi dan transaksi non-real yang selalu menciptakan siklus ekonomi yang bergolak. Pengalaman krisis tahun 1998 dan krisis keuangan global 2008 membuktikan betapa rapuhnya sistem ekonomi kapitalis yang rentan krisis. Argumen awal kasus bail out Bank Century pun dibangun berdasarkan krisis keuangan global yang terjadi saat itu.
Ketiga, penguasa yang tidak amanah dan pro-rakyat. Dalam kasus Bank Century, alih-alih penguasa menjaga amanah dan memikirkan nasib rakyat, yang terjadi justru ‘merampok’ uang rakyat dengan berbagai tipu daya. Ini merupakan konsekuensi logis dari sistem sekuler yang melahirkan penguasa sekuler yang hanya memikirkan kepentingan diri dan golongannya.
4. Kenaikan TDL
Pada 1 Juli 2010 pemerintah atas persetujuan DPR telah menaikkan Tarif Dasar Listik (TDL) rata-rata 10% pada pengguna sambungan di atas 450-900 VA. Meski mendapatkan kecaman dari berbagai pihak temasuk pengusaha kebijakan tersebut berlanjut. Dampak kebijakan tersebut pengusaha di sejumlah industri terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan. Di tingkat konsumen harga sejumlah barang mengalami kenaikan akibat membengkaknya biaya poduksi.
Kanaikan TDL tidak lepas dari penurunan subsidi listrik hingga batas minimal. Peningkatan TDL memang telah menjadi agenda pemerintah saat ini hingga tahun-tahun berikutnya. Pada Nota Keuangan APBN 2011 misalnya dinyatakan bahwa dalam rangka mengurangi subsidi khususnya untuk listrik, pemerintah akan menempuh sejumlah kebijakan yang diantaranya penyesuaian TDL sebesar 15% yang akan diberlakukan mulai awal tahun 2011. Pemerintah juga menerapkan TDL sesuai dengan harga keekonomian secara otomatis untuk pemakain energi di atas 50% konsumsi rata-rata nasional tahun 2010 bagi pelanggan rumah tangga, bisnis dan publik dengan daya mulai 6600 VA ke atas.
Jika merujuk data konsumsi listrik PLN 2008 ditambah dengan kenaikan masing-masing golongan per 1 Juli 2010 maka tambahan pendapatan PLN diperkirakan mencapai Rp8.8 triliun/tahun. Sementara menurut laporan keuangan PLN tahun 2009, BUMN tersebut bahkan telah membukukan laba bersih sebesar Rp10,3 triliun. Selain itu subsidi listrik pada APBN-P 2010 juga naik menjadi Rp56,15 triliun dari Rp47,5 triliun tahun sebelumnya. Dengan demikian tanpa kenaikan tersebut sebenarnya keuangan PLN masih cukup sehat.
Pandangan bahwa subsidik listrik membebani APBN juga tidak berasalan. Nilai Rp 8.8 triliun yang akan diraup PLN tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan makin memperburuk kondisi perekonomian negara ini. Bila pun perlu pemangkasan anggaran maka semestinya pos-pos non-subsidi yang kurang produktiflah yang didahulukan. Sebut saja dana pembayaran utang dan bunganya serta anggaran departemen-departemen tertentu yang mendapat jatah anggaran lebih besar dari kemampuan dan kebutuhannya. Buktinya, dalam tiga tahun terakhir nilai Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) masih sangat tinggi. Tahun 2009 saja angkanya mencapai Rp23.96 triliun.
Padahal besarnya subsidi listrik merupakan akibat tidak efisiennya pengelolaan PLN yang justru lahir dari kebijakan pemerintah sendiri. Salah satu sumber infesiensi tersebut adalah besarnya komponen pembelian BBM pada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Tenaga Listrik. Dengan demikian, adalah hal yang tidak logis jika kelemahan pemerintah ditimpakan kepada rakyat. Parahnya lagi yang menanggung dampak bukan hanya konsumen PLN namun juga rakyat yang hingga kini masih hidup tanpa ketersediaan listrik. Oleh karena, bagaimanapun juga kebijakan pemerintah untuk menurunkan nilai subsidi dengan meningkatkan TDL pada tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya merupakan kebijakan yang keliru dari sisi teknis ekonomi.
5. Perampokan Kekayaan Rakyat Melalui Privatisasi Krakatau Steel
Perampokan kekayaan rakyat kembali terjadi dengan potensi kerugian negara akan lebih besar dan dahsyat dibandingkan dengan kasus skandal Bank Century. Perampokan tersebut dilakukan Pemerintah melalui Kementerian BUMN dengan menjual atau melepas 3,15 miliar lembar saham Krakatau steel dengan harga Rp 850 per lembar saham sehingga meraup total dana sebesar Rp2,681 triliun. Persoalan muncul ketika pelepasan saham dinilai tidak transparan, Penetapan harga saham perdana terlalu rendah sebesar Rp850 per lembar saham. Terbukti sehari setelah pelepasan saham perdana tanggal 11 november 2010 , Saham Krakatel listing (di jual) di pasar sekunder yaitu Bursa Efek Indonesia dengan kode KRAS harganya langsung melejit Dengan kenaikan mencapai sebesar 50, 5 % dari harga perdana dengan harga jual sebesar Rp. 1.280, sehingga keuntungan yang di terima oleh pembeli saham perdana (IPO) sehari itu saja diperkirakan sebesar 1,2 T (detikfinance, 11/11) dan tentu ini adalah perampokan uang rakyat yang dilegalkan melalui penjualan saham Krakatau Steel.
Privatisasi = Perampokan
Sayangnya pro dan kontra penjualan Saham Perdana (IPO) PT Krakatau Steel ini fokusnya pada penetapan harga perdana yang terlalu rendah, padahal akar masalahnya adalah kebijakan privatisasi terhadap harta milik rakyat . Dalam Pandangan Islam Industri Besi dan Baja merupakan Industri milik umum (rakyat) yang status hukumnya haram diprivatisasi walaupun seandainya dijual dengan harga saham perdana (IPO) wajar maupun tinggi terlebih lagi kalau dijual dengan harga murah.
Dalam kasus penjualan saham perdana PT Krakatau Steel memang bukan saja Privatisasinya sendiri yang merugikan rakyat tapi proses privitasinya juga penuh dengan rekayasa yang secara sistematis akan merugikan rakyat baik penentuan harga saham perdana (IPO) maupun penggunaan dana hasil penjualan saham tersebut. Dalam kasus penetuan saham perdana menurut Ketua Presidium Nasional Asosiasi Baja Dunia (WSA) Arief Poyuono sangat janggal karena saat ini keadaan pasar saham di Indonesia sedang mengalami trend strong Bullish (harga saham sedang menguat) , Di sisi lain, permintaan baja dunia kemungkinan "rebound" (berbalik naik) tahun ini, tumbuh 13,1 persen setelah kontraksi pada 2009, dan akan mencapai rekor tinggi pada 2011. maka harga penawaran perdana (IPO) PT Krakatau Steel yang dipatok Rp 850 per lembar saham dinilai underpriced (terlampau rendah) dan sangat tidak masuk akal. Terlebih lagi kinerja keuangan PT KS juga menunjukkan kinerja yang sangat baik dan positif dengan mencatatkan laba bersih hingga semester I-2010 sebesar Rp 997,75 miliar atau lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya sebesar Rp 800 miliar. Dengan pendapatan mencapai Rp 9 trilyun berarti laba bersih perseroan lebih tinggi 24,7 persen.
Dengan data tersebut sulit untuk dipungkiri bahwa penetapan harga saham perdana penuh dengan korupsi dan kolusi serta rekayasa antara para politikus dengan para kapitalis (pengusaha). Terlebih lagi dalam IPO itu, PT KS menunjuk tiga penjamin emisi yakni PT Mandiri Sekuritas, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Bahana Securities yang semuanya adalah BUMN. Data lain yang memperkuat adanya dugaan pat-pat gulipat, antara lain, adalah informasi yang diperoleh di lapangan bahwa investor lokal menawar harga saham KS diatas Rp 1.000 per saham, sementara investor asing hanya menawar saham KS dikisaran Rp 800 per saham hingga Rp 1.000 per saham. Jika benar demikian, tentunya penawaran harga saham KS IPO harus lebih tinggi dari level Rp 1.000. (RMOL/3/11/2010). Korupsi dan kolusi antara Politikus dengan Para kapitalis semakin aman ketika BAPEPAM menolak memberikan data nasabah pembeli saham Krakatau steel dengan alasan perlindungan terhadap kerahasiaan data nasabah dan akan membahayakan sistem pasar modal Indonesia serta merusak kepercayaan investor.
Jika kita mengurai kejadian yang terjadi selama tahun 2010 maka kita akan melihat dengan sangat gamblang bahwa ini semua berawal dari kebijakan ekonomi kapitalis yang di terapkan di negeri ini. Sejak awal kapitalisme lahir sebagai ide yang penuh dengan “premature” dan tidak layak digunakan sebagai system untuk mengatur manusia. Dengan demikian, sejatinya melihat paparan fakta di atas semakin menambah keyakinan kita akan kebutuhan aturan khususnya dalam ekonomi yang berumber dari zat yang Maha Mengetahui kekurangan dan kelebihan manusia. Itulah syariat islam. Dengan syariat islam yang didalam diterapkan system ekonomi islam terbukti baik secara empiris maupun histori telah mampu membawa kesejahteraan bagi umat manusia. hal ini terlihat selama kurang lebih 14 abad system islam mampu bertahan dan membawa kesejahteraan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. oleh karena itu siapa pun diantara kita yang masih objektif, hendakya melirik ekonomi islam sebagai satu-satu alternative solusi penganti kapitalis dan sosialis.
Semakin kita berdiam diri terhadap kondisi seperti ini maka sejatinya kita telah merestui dan meridhoi negeri ini menuju pada kehancuran. Saatnya melakukan perubahan dan songsong Ekonomi Islam dalam tempo sesingkat-singaktnya sebagai solusi fundamental menuju Indonesia lebih baik. [syabab.com]
*) Penulis adalah Direktur Pembinaan dan Pengkaderan Pusat Kajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis
Universitas Pendidikan Indonesia
Sumber:
- Hidayatullah Muttaqin. Alasan Pencabutan Subsidi Suatu Kebohongan Publik? Siapakah di Balik Kebijakan Tersebut?. makalah
- www. hizbut-tahrir.or.id
- www.jurnal-ekonomi-ideologis.org
- Media umat ediasi 48 tahun 2010
- Majalah Al Waie
Post a Comment