Penafsiran al-Quran memerlukan metodologi. Tanpa metodologi tafsir, upaya penafsiran al-Quran akan berjalan tanpa kaidah dan lebih bersifat arbitrer, alias suka-suka tanpa alasan rasional.
Di sinilah urgensi metodologi tafsir, atau istilah teknisnya ushul at-tafsir, yang didefinisikan sebagai sekumpulan kaidah (qawâ’id) atau dasar (asas) yang wajib digunakan oleh mufassir untuk menafsirkan al-Quran secara benar. (Al-’Ak, Ushûl at-Tafsîr wa Qawâ’iduh, hlm. 30; ar-Rumi, Buhûts fî Ushûl at-Tafsîr wa Manâhijuh, hlm. 11; Haqqi, ‘Ulûm al-Qur’ân min Khilal Muqaddimât at-Tafâsîr, I/52).
Tulisan ini bertujuan menjelaskan metodologi tafsir yang digagas Syaikh Atha‘ Abu Rasytah, pemimpin Hizbut Tahrir kini, dalam kitabnya At-Taysir fî Ushûl at-Tafsir (Beirut: Darul Ummah, 2006).
Latar Belakang dan Tujuan
Abu Rasytah berpandangan bahwa penafsiran al-Quran yang paling baik terjadi pada masa Rasulullah saw. dan masa Sahabat. Pada masa ideal ini, umat Islam memahami al-Quran berdasarkan tiga hal, yaitu: penjelasan Rasulullah saw., kaidah-kaidah bahasa Arab dan akal dalam batas-batas kemampuannya (hlm. 11-13).
Pada saat Allah memerintahkan mereka shalat (QS al-Baqarah [2]: 34), mereka memahami kata shalat dari praktik shalat yang dilakukan Rasulullah saw. Ketika Allah mengharamkan bangkai (QS al-Maidah [5]: 3), mereka memahami artinya berdasarkan kaidah bahasa Arab, yaitu pengharaman memakan bangkai (tahrîm akli al-maytah). Mereka pun memahami ayat-ayat al-Quran dengan akal dalam batas-batas kemampuannya, yaitu hanya pada objek-objek yang dapat diindera, misalnya alam semesta; bukan pada hal-hal yang gaib, misalnya memikirkan sifat-sifat Allah, apakah ia menyatu atau terpisah dengan Zat Allah. (hlm. 11-13).
Namun, sejak generasi tâbi’it at-tâbi’în dan sesudahnya (sejak abad ke-2 H), kualitas penafsiran al-Quran umat mengalami kemerosotan. Abu Rasytah menyebut tiga macam musibah beruntun yang kemudian merusak pola pikir umat dalam menafsirkan al-Quran. Musibah pertama terjadi ketika kemampuan bahasa Arab umat melemah sehingga al-Quran ditafsirkan tidak sesuai lagi dengan kaidah bahasa Arab. Musibah kedua terjadi saat sebagian umat membebaskan akal dalam memahami al-Quran, tanpa mengenal batas-batas kemampuan akal, semisal membahas kemakhlukan al-Quran (khalq al-Qur’ân). Musibah ketiga terjadi ketika ada sebagian umat yang mengadopsi berbagai konsep rusak dari filsafat Yunani, lalu menggunakannya untuk menafsirkan al-Quran (hlm. 14). (Lihat Abu Ulbah, Syawâ’ib at-Tafsîr, hlm. 33-51).
Rasa prihatin melihat kemerosotan penafsiran al-Quran inilah yang melatarbelakangi Abu Rasytah menulis kitabnya, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr. Tujuan yang beliau harapkan adalah merumuskan metodologi tafsir yang sahih seperti yang pernah digunakan umat Islam pada masa Rasulullah saw. dan para Sahabat (hlm. 32)
Pokok-Pokok Metodologi Tafsir
Metodologi tafsir Abu Rasytah secara garis besar tidak keluar dari lingkup metodologi tafsir Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau banyak mengembangkan gagasan pendahulunya, yakni Imam Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya, Ays-Syakhshiyah al-Islâmiyah Juz I (Bab Tafsir) dan Juz III (Ushul Fiqih).
Metodologi tafsir beliau dapat diringkas dalam pokok-pokok berikut:
1. Menjadikan bahasa Arab penafsir al-Quran.
Abu Rasytah menegaskan tak mungkin seseorang memahami al-Quran dengan benar tanpa memahami bahasa Arab. Sebab, al-Quran telah diturunkan dalam bahasa Arab (QS Yusuf [12]: 2; QS an-Nahl [16]: 103) (Hlm. 22).
Prosedur pemaknaan al-Quran dengan bahasa Arab adalah sebagai berikut:
a) Suatu ayat hendaknya lebih dulu ditafsirkan menurut haqîqah syar’iyyah, yaitu makna hakiki menurut syariah. Misalkan kata shalat (QS al-Baqarah [2]: 34) harus ditafsirkan secara syar’i sebagai shalat yang dicontohkan Rasulullah saw. meski makna asal shalat secara bahasa adalah ad-du’â (doa).
b) Jika tidak ada makna syar’i-nya, hendaklah ayat ditafsirkan menurut haqîqah ‘urfiyah, yaitu makna hakiki menurut kebiasan orang Arab berbicara. Jika makna haqîqah ‘urfiyah juga tak ada, maka ayat ditafsirkan menurut haqiqah lughawiyah, yaitu makna hakiki sebagai makna asal bahasa. Misalkan firman Allah SWT:
Demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang berkaki empat dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya) (QS Fathir [35]: 28).
Pada ayat ini, kata an-nas diartikan sebagai Adam as. dan keturunannya (haqîqah lughawiyah), kata al-an’âm diartikan unta, sapi dan domba (haqîqah lughawiyah). Namun, kata ad-dawâb diartikan binatang yang berkaki empat (haqiqah ‘urfiyah), tidak diartikan “binatang yang melata di bumi” (haqîqah lughawiyah). Sebab, haqiqah ‘urfiyah menurut bahasa Arab harus didahulukan daripada haqîqah lughawiyah (hlm. 33).
c) Jika suatu ayat tidak dapat ditafsirkan dalam ketiga makna hakikinya mengikuti tertib di atas, ia diartikan menurut makna majazinya. Makna majazi adalah makna sekunder, setelah makna primernya (yaitu makna hakiki) tidak dapat digunakan dalam pengertian aslinya. Misal kata wajh[un] dalam ayat yang berbunyi wa yabqa wajhu rabbika (QS ar-Rahman [55]: 27). Kata wajh[un] tidaklah tepat jika diartikan dalam makna hakikinya (wajah): Tetap kekal wajah Tuhanmu.” Sebab, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah. (QS asy-Syura [42]: 11). Karena itu, kata wajah itu hendak-lah dialihkan menuju makna majazinya, yaitu zat, sehingga makna ayat menjadi: Tetap kekal Zat Tuhanmu (hlm. 27-28).
Jadi, posisi Abu Rasytah memang menerima adanya makna majazi dalam bahasa Arab dan al-Quran. Ini berbeda dengan posisi Ibnu Taimiyah dan pengikutnya, seperti Ibn al-Qayyim Jauziyah, yang menolak keberadaan makna majazi. (Ya’qub, Asbâb al-Khathâ’ fî at-Tafsîr, hlm. 239; ad-Dahasy, Al-Aqwâl asy-Syadzah fî at-Tafsîr, hlm. 169; Al-Fanisan, Ikhtilâf Mufassirîn Asbâbuhu wa Atsaruhu, hlm. 105; ar-Rumi, Buhûts fî Ushûl at-Tafsir wa Manâhijuhu, hlm. 105).
d) Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui isytiqâq, yaitu proses derivasi berbagai kata yang berasal dari sebuah akar kata. Misalkan kata rahmah, rahîm dan rahmân, yang berasal dari kata rahima. Proses isytiqâq menurut wazan (pola baku pembentukan kata) dalam bahasa Arab meski melahirkan banyak kata, namun memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata rahmân (QS al-Isra’ [17]: 110), artinya adalah kasih sayang yang banyak (katsîr ar-rahmah), yang masih satu makna secara umum dengan akar katanya, yakni rahima (mengasihi/menyayangi) (hlm. 33).
e) Suatu ayat dapat ditafsirkan dengan mengetahui ta’rîb, yaitu proses arabisasi suatu kata yang berasal dari bahasa non-Arab sesuai dengan wazan bahasa Arab. Misalkan kata sundus dan istabraq (QS al-Insan [76]: 21) yang berasal dari bahasa Nabatean (an-nabathiyah). Kedua kata itu dapat diberi makna oleh orang Arab mengikuti makna aslinya dari bahasa yang non-Arab, yaitu sundus berarti sutra halus; sedangkan istabraq berarti sutra kasar (hlm. 34).
2. Menjadikan Akal Penafsir al-Quran dalam batas kemampuannya.
Akal hanya dapat berfungsi jika obyek yang dipikirkan adalah fakta yang dapat diindera. Jika yang dipikirkan bukan fakta yang dapat diindera, berarti akal sudah melampaui batas kemampuannya.
Karena itu, perkara-perkara gaib tidak dapat dibahas menggunakan akal, melainkan harus menggunakan sarana lain, yaitu dalil naqli (berita yang dinukil dari al-Quran dan as-Sunnah). Contoh: kata kalâmullâh (QS at-Taubah [9]: 6). Allah sendiri telah menyebut bahwa al-Quran adalah kalamullah. Dalam hal ini, tidak perlu dibahas lagi mengenai kayfiyah (bagaimana) caranya Allah ber-kalam (berfirman) itu. Sebab, pembahasan ini sudah berada di luar kemampuan akal manusia (hlm. 35).
3. Menjadikan muhkam hakim untuk mutasyâbih.
Muhkam artinya ayat yang hanya memiliki satu makna. Mutasyâbih adalah ayat yang mengandung makna lebih dari satu. Muhkam adalah induk al-Quran atau makna asal yang wajib menjadi rujukan (QS Ali ‘Imran [3]: 7). Karena itu, muhkam menjadi hakim (penentu) makna mutasyâbih (hlm.28-29). Contoh mutasyâbih adalah kata wajh[un] (QS ar-Rahman [55]: 27). Kata ini tidak dapat diartikan “wajah tetapi tak seperti wajah kita”. Sebab, pemaknaan ini masih tetap mengikuti arti hakikinya, yakni wajah. Padahal akidah Islam tidak membolehkan adanya tasybîh (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya. Jadi, kata wajh[un] yang mutasyâbih (QS ar-Rahman [55]: 27) ini wajib dipalingkan ke arah makna majazinya, karena ada ayat muhkam (QS asy-Syura [42]: 11) sebagai hakim yang tidak membenarkan makna hakikinya, yakni firman Allah yang muhkam:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya (QS asy-Syura [42]: 11).
4. Memperhatikan hubungan ayat sebelumnya dengan sesudahnya.
Abu Raystah menegaskan bahwa ada hubungan antara ayat sebelumnya dan sesudahnya. Misalkan QS al-Baqarah [2]: 3-5, misalnya, adalah ayat yang menerangkan ciri-ciri tertentu, yaitu ciri muttaqîn yang disebut dalam ayat sebelumnya (QS al-Baqarah [2]: 2). Kedua kelompok ayat ini memiliki hubungan bahwa orang beruntung (muflihûn) dicirikan dengan iman dan amal salih (hlm. 43).
5. Men-tarjîh dalâlah (makna) yang berbilang.
Abu Rasytah tidak membiarkan satu ayat memiliki beberapa makna sekaligus. Beliau cenderung melakukan tarjîh (memilih yang terkuat) dari beberapa kemungkinan makna ayat. Contoh: arti alif lâm mîm pada awal QS al-Baqarah. Menurut Abu Rasytah, arti alif lâm mîm yang paling tepat adalah nama bagi surah al-Baqarah itu (hlm. 41). Wallahu a’lam.
Daftar Bacaan
Abu Ar-Rasytah, Atha’ bin Khalil, At-Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Beirut: Darul Ummah, 2006).
Abu Syuhbah, M. Muhammad, Al-Madkhal li Dirâsah al-Qur’ân al-Karîm (Riyadh: Darul Liwa’, 1987).
Abu Ulbah, Abdurrahim Faris, Syawâib at-Tafsîr fî al-Qarn ar-Râbi’ ‘Asyara al-Hijri (Beirut: t.p, 2005).
Al-’Ak, Khalid Abdurrahman, Ushûl at-Tafsîr wa Qawâ’iduhu (Beirut: Darun Nafa’is, 1986).
Al-Baghdadi, Abdurrahman, Beberapa Pandangan Mengenai Penafsiran al-Quran (Nazharât fî at-Tafsîr al-‘Ashri li al-Qur’ân al-Karîm) Penerjemah Abu Laila & Muhammad Tohir, (Bandung: Almaarif, 1988).
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsîr wa Mufassirûn, Juz I-III (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
—————, Ilmu Al-Tafsîr (Kairo: Darul Ma’arif, t.t.).
Al-Fanisan, Su’ud, Ikhtilâf Mufassirîn Asbâbuhu wa Atsaruhu (Riyadh: Markaz Ad-Dirasat wa Al-I’lam, 1997).
Al-Hasan, M. Ali, Al-Manâr fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Amman: Mathba’ah Al-Syarq, 1983).
Al-Hasani, Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Jeddah: Dar Al-Syuruq, 1983).
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdus Salam, Ittijâhât at-Tafsîr fî al-’Ashr ar-Rahin (Amman: Maktabah an-Nahdhah al-Islamiyah, 1982).
An-Nabhani, Taqiyuddin, Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz I (Beirut: Darul Ummah, 2003).
—————, Al-Syakhshiyah al-Islâmiyah, Juz III (Beirut: Darul Ummah, 2005).
Ad-Dahasy, Abdurrahman, Al-Aqwâl asy-Syadzdzah fî at-Tafsîr (Manchester: Al-Hikmah, 2004).
Al-Qaththan, Mana’, Mabâhits fî ’Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000).
Ar-Rumi, Fahad, Buhûts fî Ushûl at-Tafsîr wa Manâhijuhu, (t.tp: Maktabah at-Taubah, 1419 H).
As-Sabat, Khalid bin Ustman, Qawâ’id at-Tafsîr Jam’[an] wa Dirâsat]an] (Madinah: Dar Ibn Affan, 1421 H).
As-Sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran al-Quran (Al-Qawâ’id al-Hisan li Tafsîr al-Qur’ân), Penerjemah Marsuni Sasaky & Mustahab Hasbullah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997)
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyân fî ’Ulûm al-Qur’ân (Beirut: Alam al-Kutub, 1985).
Al-Shalih, Shubhi, Mabâhits fî ’Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Darul Ilmi lil Malayin, 1988).
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Quran (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-Kaidah Penafsiran al-Quran (Bandung: Mizan, 1998).
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam (A History of Islamic Philosophy), Penerjemah R. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1986).
Goldziher, Ignaz, Madzâhib at-Tafsîr al-Islâmi, Penerjemah Abdul Halim an-Najjar (Kairo: Maktabah al-Khanja, 1955).
Haqqi, Muhammad Shafa, ‘Ulûm al-Qur’ân min Khilal Muqaddimât at-Tafâsîr, Juz I-II (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2004).
Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fî Ushûl at-Tafsîr, (Kuwait: Darul Quran al-Karim, 1971).
Mustaqim, Abdul, Madzahibut Tafsir Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur‘an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003).
Mustaqim, Abdul & Syamsudin, Sahiron (Ed.), Studi al-Quran Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002).
Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir al-Quran Kajian Kritis, Objektif, dan Komprehensif (Methodologies of The Quranic Exegesis), Penerjemah Hasan Basri & Amroeni (Jakarta: Riora Cipta, 2000).
Ya’qub, Thahir Mahmud Muhammad, Asbâb al-Khathâ’ fî at-Tafsîr (Damam: Dar Ibnul Jauzi, 1425 H).
Post a Comment