INILAH.COM, Jakarta - Peluang kenaikan harga minyak ke level rata-rata US$100 per barel siap melibas asumsi ICP APBN 2011. Larangan BBM bersubsidi bagi mobil pelat hitam pun tak akan bermanfaat.
Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai, asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam asumsi APBN 2011 di level US$80 per barel terlalu rendah. Menurutnya, angka itu teracam meleset di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia yang saat ini mencapai US$91 per barel. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2008.
Apalagi pada kuartal pertama 2011, banyak faktor yang mendukung harga minyak mentah dunia tembus di atas US$100 per barel. “Salah satunya adalah faktor perang nilai tukar mata uang yang belum akan selesai tahun depan,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (27/12).
Selain itu, lanjut Pri Agung, musim dingin awal tahun depan juga akan terus mendongkrak harga minyak. Sementara kuota produksi minyak OPEC tidak bertambah.
Pada saat yang sama, ekspektasi pelaku pasar membaik atas ekonomi dunia di 2011. OPEC Sabtu (11/12) memutuskan untuk mempertahankan kuota produksinya di 24,84 juta barel per hari. “Semua itu akan mendorong harga minyak ke atas level US$100, paling tidak di kuartal pertama tahun depan,” ujarnya.
Pri Agung memaparkan, saat harga minyak mentah dunia mencapai US$100 per barel, harga ICP akan berada di level US$95-97 per barel. Sebab, harga rata-rata minyak mentah dunia tahun depan bisa melampau target rata-rata ICP di level US$80 per barel. “Pemerintah perlu merevisi asumsi tersebut dalam APBNP 2011,” ucapnya.
Namun, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu mengatakan, revisi APBN 2011 tidak perlu dilakukan saat ini sambil melihat perkembangan lebih lanjut. “Pemerintah bisa mempertimbangkan revisi di kuartal pertama 2011, saat harga rata-rata ICP berada di atas US$80 per barel,” timpalnya.
Harga minyak, lanjutnya, sangat tergantung terhadap informasi yang mendorong kenaikannya. Dia memaparkan, prediksi fluktuasinya harga minyak dipastikan menembus US$100 per barel pada kuartal pertama 2011. Tapi, pemerintah harus memastikan level stabil harga minyak di kuartal pertama untuk menghasilkan pertimbangan perubahan harga asumsi ICP.
“Yang, jelas harga rata-ratanya akan jauh lebih tinggi di atas target harga ICP di level US$80 per barel,” tukasnya. Akibatnya, lanjut Pri Agung, kebijakan pemerintah terkait larangan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tidak akan bermanfaat. “Larangan itu tidak bisa mencegah pembengkakan subsidi saat harga minyak naik,” ucapnya.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak antisipatif terhadap kenaikan harga minyak. Ia memprediksikan, saat rata-rata harga minyak US$90 per barel, pemerintah akan teriak lagi soal bobolnya APBN. “Solusi lebih baik adalah menaikkan BBM bersubsidi secara bertahap Rp200-300 per liter,” tuturnya.
Langkah tersebut, dinilainya akan memberikan penghematan lebih besar, tapi tahan terhadap harga minyak hingga rata-rata US$90 per berel. Larangan BBM bersubsidi bagi mobil pelat hitam, hanya memicu daya tahan APBN di kisaran ICP US$83 per barel. “Karena itu, penghematan itu tidak signifikan karena defisit APBN akan tetap bengkak,” tandasnya.
Menurutnya, angka penghematan hanya Rp1,5 triliun untuk skenario pembatasan premium tahap pertama di wilayah Jabodetabek. Sebab, setiap perbedaan US$1 per barel di atas asumsi APBN, akan menambah defisit Rp500 miliar.
Di sisi lain, masyarakat juga dirugikan dengan larangan BBM itu. Pada saat harga minyak di level US$100 per barel, harga pertamax bisa naik ke level Rp8.900 per liter. “Itu sangat mahal, karena masyarakat tidak tidak punya pilihan lain,” ucapnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi LIPI Latief Adam menyebut harga minyak masih akan terus naik, setidaknya hingga kuartal I 2011. Pasalnya, sejak November ini permintaan minyak lebih tinggi seiring memasuki musim dingin di beberapa negara.
Selain itu, faktor penguatan nilai tukar rupiah juga mendongkrak kenaikan harga minyak, karena Indonesia membeli minyak dalam dollar. Namun, Latief mengatakan, kenaikan harga minyak ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, secara rata-rata harga minyak di 2010 masih di dalam range US$80, karena pada awal-awal tahun harganya masih di bawah itu.
Tapi, lanjutnya, pemerintah tetap perlu mengkaji dan mempertimbangkan kecenderungan pergerakan harga minyak ke depannya. Apakah kecenderungan harganya di atas ICP atau di bawah.
Kalaupun, pemerintah mau melakukan revisi, menurut Latief, harus melihat perkembangan harga minyak hingga kuartal I-2011. “Kuartal I akan jadi patokan, apakah dalam 9 bulan nanti kecenderungan harga minyak di bawah asumsi. Jadi di sini momentumnya untuk mengubah asumsi harga minyak,” tandasnya. [mdr]
Pengamat energi Pri Agung Rakhmanto menilai, asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam asumsi APBN 2011 di level US$80 per barel terlalu rendah. Menurutnya, angka itu teracam meleset di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia yang saat ini mencapai US$91 per barel. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak 2008.
Apalagi pada kuartal pertama 2011, banyak faktor yang mendukung harga minyak mentah dunia tembus di atas US$100 per barel. “Salah satunya adalah faktor perang nilai tukar mata uang yang belum akan selesai tahun depan,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Senin (27/12).
Selain itu, lanjut Pri Agung, musim dingin awal tahun depan juga akan terus mendongkrak harga minyak. Sementara kuota produksi minyak OPEC tidak bertambah.
Pada saat yang sama, ekspektasi pelaku pasar membaik atas ekonomi dunia di 2011. OPEC Sabtu (11/12) memutuskan untuk mempertahankan kuota produksinya di 24,84 juta barel per hari. “Semua itu akan mendorong harga minyak ke atas level US$100, paling tidak di kuartal pertama tahun depan,” ujarnya.
Pri Agung memaparkan, saat harga minyak mentah dunia mencapai US$100 per barel, harga ICP akan berada di level US$95-97 per barel. Sebab, harga rata-rata minyak mentah dunia tahun depan bisa melampau target rata-rata ICP di level US$80 per barel. “Pemerintah perlu merevisi asumsi tersebut dalam APBNP 2011,” ucapnya.
Namun, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu mengatakan, revisi APBN 2011 tidak perlu dilakukan saat ini sambil melihat perkembangan lebih lanjut. “Pemerintah bisa mempertimbangkan revisi di kuartal pertama 2011, saat harga rata-rata ICP berada di atas US$80 per barel,” timpalnya.
Harga minyak, lanjutnya, sangat tergantung terhadap informasi yang mendorong kenaikannya. Dia memaparkan, prediksi fluktuasinya harga minyak dipastikan menembus US$100 per barel pada kuartal pertama 2011. Tapi, pemerintah harus memastikan level stabil harga minyak di kuartal pertama untuk menghasilkan pertimbangan perubahan harga asumsi ICP.
“Yang, jelas harga rata-ratanya akan jauh lebih tinggi di atas target harga ICP di level US$80 per barel,” tukasnya. Akibatnya, lanjut Pri Agung, kebijakan pemerintah terkait larangan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tidak akan bermanfaat. “Larangan itu tidak bisa mencegah pembengkakan subsidi saat harga minyak naik,” ucapnya.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak antisipatif terhadap kenaikan harga minyak. Ia memprediksikan, saat rata-rata harga minyak US$90 per barel, pemerintah akan teriak lagi soal bobolnya APBN. “Solusi lebih baik adalah menaikkan BBM bersubsidi secara bertahap Rp200-300 per liter,” tuturnya.
Langkah tersebut, dinilainya akan memberikan penghematan lebih besar, tapi tahan terhadap harga minyak hingga rata-rata US$90 per berel. Larangan BBM bersubsidi bagi mobil pelat hitam, hanya memicu daya tahan APBN di kisaran ICP US$83 per barel. “Karena itu, penghematan itu tidak signifikan karena defisit APBN akan tetap bengkak,” tandasnya.
Menurutnya, angka penghematan hanya Rp1,5 triliun untuk skenario pembatasan premium tahap pertama di wilayah Jabodetabek. Sebab, setiap perbedaan US$1 per barel di atas asumsi APBN, akan menambah defisit Rp500 miliar.
Di sisi lain, masyarakat juga dirugikan dengan larangan BBM itu. Pada saat harga minyak di level US$100 per barel, harga pertamax bisa naik ke level Rp8.900 per liter. “Itu sangat mahal, karena masyarakat tidak tidak punya pilihan lain,” ucapnya.
Sementara itu, Pengamat Ekonomi LIPI Latief Adam menyebut harga minyak masih akan terus naik, setidaknya hingga kuartal I 2011. Pasalnya, sejak November ini permintaan minyak lebih tinggi seiring memasuki musim dingin di beberapa negara.
Selain itu, faktor penguatan nilai tukar rupiah juga mendongkrak kenaikan harga minyak, karena Indonesia membeli minyak dalam dollar. Namun, Latief mengatakan, kenaikan harga minyak ini tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Sebab, secara rata-rata harga minyak di 2010 masih di dalam range US$80, karena pada awal-awal tahun harganya masih di bawah itu.
Tapi, lanjutnya, pemerintah tetap perlu mengkaji dan mempertimbangkan kecenderungan pergerakan harga minyak ke depannya. Apakah kecenderungan harganya di atas ICP atau di bawah.
Kalaupun, pemerintah mau melakukan revisi, menurut Latief, harus melihat perkembangan harga minyak hingga kuartal I-2011. “Kuartal I akan jadi patokan, apakah dalam 9 bulan nanti kecenderungan harga minyak di bawah asumsi. Jadi di sini momentumnya untuk mengubah asumsi harga minyak,” tandasnya. [mdr]
Post a Comment