Ramadhan lalu saya berkesempatan untuk melaksanakan ibadah umrah di Tanah Suci. Umrah di bulan Ramadhan, apalagi di sepuluh hari terakhir, tentu sangat istimewa, bakal mendapatkan pahala seperti melaksanakan ibadah haji. Shalat dan iktikaf di sana nilainya dilipatkan 100.000 kali dibandingkan dengan shalat di masjid biasa. Yang paling dicari jamaah tentu saja Lailatul Qadar.
++++
Keistimewaan beriktikaf di Masjidil Haram bukan hanya dalam perkara hitungan pahala, tetapi juga dalam hal suasana. Jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia, utamanya dari negara-negara Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara, memadati Masjidil Haram dan Masjid Nabawi di Madinah, khususnya di 10 hari terakhir untuk beriktikaf. Karena tempat yang dipakai relatif tetap, maka antarjamaah dengan mudah terjalin keakraban. Komunikasi dilakukan dengan berbagai cara, ada dengan bahasa Arab, bahasa Inggris atau ‘bahasa Tarzan’. Di kanan saya, ada Abdussalam, pegawai Departemen Keuangan, Yordania, dan seorang jagoan karate—yang saya lupa namanya—dari India. Di kiri saya ada Fahd dari Jeddah, lalu ada Abdul Malik dari Mesir yang bersama anaknya tiap hari menyediakan hidangan berbuka untuk empat baris sebanyak kurang lebih 100 jamaah. Di depan saya ada serombongan anak muda dari Maroko. Lalu ada juga Hasan dari Libya yang belum lama bebas dari tahanan rezim Khadafi. Ia meringkuk di penjara hampir 20 tahun untuk kesalahan yang tidak jelas. Selama dalam penjara, ia ditempatkan dalam satu bilik bersama 2 anggota HT Libya yang bernasib sama. Di belakang saya ada dua orang dari Afganistan yang pernah berperang melawan tentara Amerika Serikat. Inilah persaudaraan Islam yang universal.
Menjelang berbuka, suasana persaudaraan sangat kental terasa. Mereka adu cepat saling memberi makanan. Namun, ada satu hal yang bisa dengan mudah bikin ribut. Apalagi kalau bukan soal tempat. Di saat-saat seperti itu, sejengkal tempat di Masjidil Haram menjadi sangat berharga. Tidak jarang jamaah terpaksa beradu mulut untuk berebut tempat.
Apalagi pada malam 27 Ramadhan. Diperkirakan tidak kurang dari 6 juta jamaah memenuhi setiap sudut Masjid yang menjadi tempat suci utama umat Islam; dari lantai dasar, lantai satu sampai ke lantai paling atas, dan pelataran masjid, bahkan hingga jalan-jalan dan setiap jengkal ruang di emperan hotel atau toko di sekeliling masjid. Mereka berebut tempat untuk bisa menjalankan shalat tarawih dan shalat malam (qiyamul lail) di setiap malamnya.
Shalat malam di dua masjid itu memang terasa istimewa. Dilaksanakan dengan 23 rakaat (20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir), shalat di dua masjid ini dipimpin oleh imam masjid yang hapal al-Quran 30 juz dengan bacaan tartil. Di tiap bulan Ramadhan, imam di dua masjid itu dalam salat tarawih menghabiskan bacaan hapalan satu juz setiap malam, seiring berakhirnya Ramadhan selama sebulan persis tamat al-Quran 30 juz. Khusus 10 hari terakhir Ramadhan, selain 20 rakaat yang dilaksanakan usai shalat isya, shalat malam ditambah 10 rakaat dan 3 rakaat yang dilaksanakan mulai tepat jam 01.00. Di Masjidil Haram shalat tarawih dan shalat malam dipimpin oleh 4 imam masjid secara bergantian: 10 rakaat pertama biasanya dipimpin oleh Syaikh Juneh; 10 rakaat kedua dipimpin oleh Syaikh Mahir; di shalat malam yang kedua, 6 rakaat pertama dipimpin oleh Syaikh Sharim dan 7 rakaat kedua, termasuk doa di rakaat terakhir shalat witir, dipimpin oleh Syaikh Sudais yang sudah tidak asing itu.
Doa di rakaat terakhir ini banyak ditunggu oleh jamaah. Syaikh Sudais memimpin doa ini selalu dengan penuh semangat dan syahdu serta dengan susunan kata-kata yang kadang terasa menghenyak sehingga acap memancing semangat dan keharuan jutaan jamaah yang mengikutinya. Tak jarang isak tangis panjang mewarnai doa itu, terutama pada kesempatan malam 27 Ramadhan dan 29 Ramadhan. Suasananya sangat menggetarkan. Pada malam 29 Ramadhan, doa yang disampaikan adalah doa khatmul-Qur’an yang disampaikan bukan di rakaat terakhir shalat witir, tetapi pada rakaat terakhir dari 20 rakaat. Ini juga dipimpin oleh Sudais. Bila pada shalat witir biasa doa disampaikan antara 5 sampai dengan 10 menit, di dua kesempatan ini panjang doa bisa mencapai hampir 30 menit.
Buka shaum bersama (ifthar jamai’i) di kedua masjid itu juga terasa istimewa. Banyak sekali individu atau keluarga, seperti keluarga Abdul Malik yang berasal dari Mesir tetapi sudah lama menetap di Madinah, tidak pernah absen menyediakan hidangan berbuka setiap Ramadhan. Itu sudah dilakukan sejak tahun 80-an. Ada juga lembaga, biasanya berupa yayasan seperti Yayasan Ibrahim Ali Ibrahim lil Khayriat yang berpusat di Jeddah, yang menyediakan hidangan dengan jumlah yang cukup banyak di halaman Masjid al-Haram. Pendek kata, jamaah tidak perlu khawatir tidak kebagian makanan. Di sini bukan orang yang mencari makanan, tetapi makanan yang mencari orang. Para penyelenggara seolah berebut menarik-narik jamaah untuk mau duduk di tempat hidangan yang disediakan oleh mereka.
Beberapa saat seusai shalat ashar, para penyelenggara itu mulai beraksi. Penyelenggara buka puasa memang harus bergerak cepat. Waktu yang disediakan untuk berbuka hanya kurang lebih 5 menit. Begitu azan magrib berkumandang, jamaah bergegas menyantap hidangan umumnya berupa kurma basah (rutab), air zam-zam, dan kadang ada beberapa tambahan makanan seperti roti, yoghurt, kopi Arab yang harum dengan campuran habbahan (kapulaga), kacang mete atau lainnya. Kadang ada juga jamaah yang membawa teh Maroko. Ini minuman favorit jamaah, karena rasanya segar dan baunya harum. Sebenarnya ini teh biasa. Bau harum datang dari daun mint (mereka menyebut na’na’) yang dicampurkan ke dalam termos.
Dengan temperatur udara yang sangat panas (di awal September lalu bisa mencapai 58 derajat celcius, malah pernah 62), meski hanya dengan rutab dan air zam-zam, tak terkira nikmatnya berbuka. Tak sampai 5 menit setelah azan, iqamat berkumandang. Begitulah ritual buka puasa setiap magrib. Makan lanjutan diadakan setelah shalat magrib sambil menunggu waktu isya tiba.
Pengurus masjid tampak sangat serius menyiapkan semua keperluan jamaah. Menurut catatan pihak Ri’asah Masjidil Haram, jumlah gelas plastik yang didistribusikan dalam sehari mencapai 3,5 juta buah, 3150 m3 air zamzam dan sebanyak 22.148 gentong minum air zam-zam yang bertebaran di setiap sudut dan tempat di kawasan masjid. Untuk menjaga kebersihan, disiapkan petugas kebersihan per-shift sebanyak 3000 orang yang dipimpin oleh sekitar 100 pengawas. Dengan jumlah jamaah yang luar biasa itu, tentu perkara kebersihan menjadi sangat pelik.
Usai shalat subuh, tanpa dikomando jamaah tidur semua, lelap dalam mimpi setelah semalaman lelah melakukan iktikaf dan shalat malam. Pasalnya, sepanjang sepuluh hari terakhir Ramadhan, praktis jamaah di malam hari tidak tidur. Selesai shalat isya sekitar jam 21.00, langsung dilanjutkan dengan shalat tarawih 20 rakaat, dan biasanya baru selesai jam sekitar jam 23.00-an. Lalu jam 01.00 ada qiyamul lail yang meski hanya 13 rakaat, tetapi karena bacaan ayatnya lebih panjang dengan rukuk dan sujud yang lebih lama membuat shalat ini juga berlangsung cukup lama. Hampir dua jam. Jam 03.00 shalat malam baru selesai, dan jamaah siap-siap untuk makan sahur dan shalat subuh yang jatuh pada sekitar jam 04.30 an.
++++
Inti catatan saya sebenarnya bukan pada cerita di atas, tetapi pada beberapa kalimat berikut:
Apapun, di luar soal puasa Ramadhan itu sendiri, semangat luar biasa yang ditunjukkan oleh jutaan jamaah yang datang dari seluruh dunia baik dalam melaksanakan tarawih 20 rakaat yang sangat panjang dengan bacaan yang sangat bagus, ditambah dengan qiyamul lail yang juga tidak kalah panjang dengan doa yang sangat menggetarkan, beriktikaf penuh selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, membaca al-Quran, memberikan buka atau ifthar kepada orang yang tengah berpuasa, berbagi makanan, dan sebagainya, semua adalah amalan sunnah.
Saya hanya membayangkan, andai energi untuk melakukan perkara sunnah yang demikian besar (sekaligus mahal karena coba hitung berapa dana diperlukan untuk transportasi, hotel dan makanan serta macam-macam keperluan selama di tanah suci) itu juga diarahkan untuk melaksanakan perkara yang wajib, yakni perjuangan bagi tegaknya kembali syariah dan Khilafah, tentu akan memberikan pengaruh yang sangat dahsyat. Namun, ketika energi itu hanya berhenti di situ, sehebat apapun, pengaruh dan manfaatnya akan sangat terbatas pada konteks personal dan akan berhenti di penghujung bulan Ramadhan.
Sebaliknya, bila energi sunnah itu juga diarahkan pada perkara yang tadi saya sebut, maka 10 hari terakhir bulan Ramadhan di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan masjid-masjid lainnya di seluruh dunia akan menjadi bagaikan tempat training bagi umat yang luar biasa dengan hasil yang insya Allah juga akan luar biasa. Kalau tidak, ya bersiaplah kita akan menyaksikan kembali pemandangan serupa di sana setiap tahun, tempat jutaan jamaah dari seluruh dunia tumplek bleg mengharap fadhilah 10 hari terakhir bulan Ramadhan; sementara di saat yang sama pemandangan menyedihkan di tengah umat berupa penindasan, penjajahan, kezaliman, ketidakadilan, penistaan, kerusakan moral dan sebagainya, tak henti terus terjadi. []
Post a Comment