Menjadikan Hidup Punya Makna

Hidup dapat dirasakan tapi sulit didefinisikan. Semua orang, anak kecil sekalipun, sangat mudah mengatakan apakah sesuatu itu hidup atau mati. Manakala seseorang berjalan ke kebun, dengan sangat mudah ia membedakan mana pohon hidup dan mana yang mati. Pepohonan yang nampak dari hari ke hari bertambah tinggi, berdaun hijau lantas berbuah, pasti dikatakan bahwa pohon itu hidup. Sebaliknya pohon yang kering kerontang, daunnya yang bertanggalan, kalaupun disirami dan diberi pupuk tetap tidak membesar, malah dari waktu ke waktu kian keropos, sekalipun tetap terlihat berdiri tegak, namun orang-orang mengatakan bahwa pohon tadi telah mati, tidak hidup lagi. Demikian halnya dengan hewan dan manusia. Hewan dan manusia yang terlihat tumbuh, anggota tubuhnya berfungsi, bergerak, dan dapat berkembang biak, semua orang dengan mudah menyimpulkan hewan dan tumbuhan yang demikian itu hidup, bukan mati. Inilah arti hidup secara biologis.

Dalam jenis hidup seperti ini, tumbuhan, hewan maupun manusia sama. Sama-sama hidup! Semuanya sama-sama mencari makan bila lapar, berupaya menemukan air bila haus, beristirahat saat lelah, melakukan pembuahan antara putik dan benang sari pada tumbuhan, serta hubungan seksual pada hewan dan manusia. Demikianlah dalam aktivitas biologis manusia tidak jauh berbeda dengan tumbuhan dan hewan.
Di sisi lain, seringkali kita mendengar istilah kota mati. Pada saat terjadi ketiadaan BBM, mobil-mobil tidak ada, kantor-kantor, pabrik dan toko-toko banyak yang tutup, saat itu orang-orang menyebutnya sebagai kota mati. Kota yang dibom sehingga penduduk dan bangunan-bangunannya porak-poranda juga dinamai kota mati. Atau orang yang mengisolasi diri (‘uzlah) pergi ke goa-goa meninggalkan masyarakat bisa dikatakan telah “mati”. Sebab, interaksi antar manusia yang menjadi tanda kehidupan tidak ada lagi. Inilah hidup dalam arti sosiologis, yang oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam Manhaj Hizbut Tahrir dimaknai sebagai seluruh interaksi yang dilakukan antar manusia (jami’ualaqatinnâs).

Dalam batas-batas tertentu, hewan pun menjalani hidup sosiologis. Beberapa jenis hewan terlihat hidup berkelompok, ada yang bertindak sebagai ratu, sedangkan yang lainnya sebagai pekerja (seperti pada lebah dan semut). Induk mereka juga mencarikan makanan untuk anak-anaknya, dan sebagainya. Kendati hidup itu dibedakan secara biologis dan sosiologis namun keduanya tak dapat dipisahkan satu sama lain. Sebab tidak mungkin ada kehidupan sosiologis tanpa adanya hidup secara biologis. Inilah yang umumnya terjadi dalam kehidupan dan dinamai hidup. Walaupun demikian, boleh jadi ada hidup biologis tanpa sosiologis. Misal, orang yang sakit parah, tidak dapat diajak untuk berkomunikasi, atau bahkan namanya sendiri saja sudah tidak diingatnya, sehingga tidak memungkinkannya lagi berinteraksi dengan sesamanya. Walaupun demikian ia belum mati. Ia masih hidup secara biologis.

Dalam hidup ini, manusia dan hewan sama. Sama-sama makan, minum, bergerak, berkembang-biak, menyayangi anak, dan berinteraksi satu sama lain. Bedanya, hewan melakukan semua itu dengan sekehendaknya. Sedangkan manusia, memang ada yang melakukan dengan sekehendak hati (nafsu)nya namun ada pula yang menjadikan aturan Allah Swt., penciptanya, sebagai aturan hidupnya. Bila manusia dalam menjalani hidupnya ini hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya semata, berarti tidak ada bedanya orang tersebut dengan hewan. Demikian pula, jika seseorang menjalani hidup ini seenak perutnya, bebas tanpa aturan, memperturutkan logika dan hawa nafsunya, serta melupakan aturan Allah Swt., saat itu orang tadi tidak dapat dibedakan dengan hewan. Berkaitan dengan ini Allah ‘Azza wa Jalla  menegaskan di dalam al-Quran:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ ءَاذَانٌ لاَ يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
                 “Dan sesungguhnya, Kami jadikan untuk isi neraka jahanam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai qulûb, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (kebenaran dan kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”  (QS.  al-A’raf [7]: 179)

Ahli tafsir ternama, Imam Ibnu Katsir, memaknai ayat tadi dengan menyatakan bahwa Allah Swt. menyediakan neraka jahanam bagi manusia yang melakukan perbuatan-perbuatan para penghuni jahanam. Ini dikarenakan alat indera yang sebenarnya telah dijadikan oleh Allah Swt.  sebagai jalan datangnya hidayah tersebut tidak bermanfaat bagi mereka. Sebab, mereka itu buta, tuli, dan bisu dari mengikuti petunjuk dari Allah Swt. Mereka yang tidak mendengarkan kebenaran (Islam), tidak mengikuti kebenaran (Islam), dan tidak mengikuti petunjuk Allah Swt.  laksana hewan berjalan yang panca inderanya tadi tidak bermanfaat sedikitpun kecuali untuk perkara-perkara yang diperlukannya secara lahiriah di dunia. Mereka ketika diseru untuk beriman tidak mengindahkannya. Persis seperti hewan ternak saat diseru oleh penggembalanya yang hanya menyahut dengan suaranya saja tanpa memahami makna seruan si penggembala tersebut. Bahkan, mereka lebih sesat dari binatang. Binatang diciptakan Allah Swt. untuk dipergunakan manusia demi kepentingannya, dan hewan pun memenuhinya. Sedangkan manusia diciptakan Allah untuk beribadah kepadaNya, namun mereka malah kufur kepadaNya. Demikian, penuturan beliau (Lihat: Tafsirul Quranil ‘Azhim, juz II, hal. 327 – 328).

Selain seperti dipaparkan oleh Imam Ibnu Katsir tadi, jelaslah ayat tersebut menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak mempergunakan qulûbnya (akal dan hatinya) untuk mengkaji, memikirkan, dan menghayati Islam yang terdapat dalam nash-nash al-Quran dan as-Sunnah sebagai teks kebenaran yang diwahyukan Allah Swt. niscaya ia akan seperti hewan. Demikian pula orang yang tidak mempergunakan telinga dan matanya untuk mendengar, melihat, dan mencari kebenaran. Hewan sekalipun diajari isi kandungan al-Quran atau disuruh melihat-lihat tulisan al-Quran, mereka tidak akan dapat mengerti, memahami, apalagi menghayati. Paling-paling hanya merespon dengan suaranya “embeee…” atau “hieemmmm…”, “uk ‘uk ‘uk…” atau barangkali “auuu ...” Sementara perbuatannya tetap saja didasarkan pada kehendaknya. Ada makanan disikatnya tanpa memandang punya siapa, atau saat ada betina diembatnya juga tanpa mengenal aturan.

Manusia yang ketika disodorkan ayat-ayat Allah tetapi tidak mau memahami, mengerti, menghayati, dan mengamalkannya, Allah mengibaratkannya seperti hewan. Bahkan, disebutkan lebih sesat daripada hewan! Sungguh merupakan ejekan yang luar biasa! Andai saja ada orang yang mengatakan kepada kita bahwa kita seperti babi, apa perasaan kita? Pasti marah! Sekarang, Allah Swt. menyatakan bahwa orang yang tidak memahami, tidak tunduk, dan tidak patuh kepada wahyuNya disebut hewan bahkan lebih sesat dari hewan. Padahal, sebinal-binalnya hewan tidak ada yang homo atau lesbian sesama hewan! Sejahat-jahatnya hewan tidak ada yang mencincang dan merobek-robek tubuh anaknya sendiri! Ini berarti orang yang tidak taat kepada Allah Swt. sama atau bahkan lebih jahat dari hewan tersebut. Astaghfirullah al-Azhim! Allahu Akbar! Betapa lunglai jiwa ini. Bila demikian, sungguh adanya akal, hati, penglihatan dan pendengaran pada diri orang seperti tadi sama dengan tidak adanya. ِAllah menegaskan dalam firmanNya:

وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَى عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا أَفْئِدَتُهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ
“Dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah,”  (QS. al-Ahqaf [46]: 26)

itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya menjadikan akal dan hati untuk memahami kebenaran, mata untuk mencari dan melihat kebenaran, dan telinga untuk senantiasa mendengarkan kebenaran. Dan kebenaran itu adalah apa-apa yang datang dari Allah Yang Mahagagah, Lagi Mahabijaksana.

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”  (QS. al-Baqarah [2]: 147)
Kebenaran, adalah apa yang terdapat di dalam Islam!

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dien (agama, sistem hidup), niscaya ditolaklah apapun darinya dan ia di akhirat termasuk orang yang rugi.”  (QS. Ali Imran [3]: 85)
Dengan kata lain, segenap potensi yang dimilikinya itu harus digunakan untuk memahami dan menghayati Islam untuk diterapkan dalam hidup sehari-hari.

Berkaitan dengan hal tersebut, Allah Swt. menyatakan:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepadaKu.” (QS. adz-Dzâriyat [51]: 56)

Jelas sekali, Allah al-Khaliq, Sang Pencipta manusia menetapkan bahwa keberadaan manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepadaNya. Padahal, ibadah itu maknanya tha’atullah wa khudhu’un lahu waltizamu ma syara’ahu minad din. Yaitu, taat kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya serta terikat dengan aturan agama yang disyariatkanNya. Jadi, manusia itu ada di dunia ini semata-mata untuk tunduk, taat, dan patuh kepada aturan dan hukum-hukum Allah ‘azza wa Jalla  dalam semua perkara: akidah, ibadah mahdhah, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Untuk manusia pasca diutusnya Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir, berarti hidupnya itu untuk tunduk, patuh, dan taat kepada syariat Islam yang diturunkan Allah kepada beliau saw.

Melalui ibadah seperti inilah manusia akan berbeda dengan hewan, bahkan melambung jauh lebih tinggi derajatnya ketimbang hewan. Hewan makan, manusia juga makan. Tetapi manusia tidak sembarang makan. Ia makan hanya makanan yang halal dan baik, memperolehnya dengan cara yang diperbolehkan Allah Swt., cara makannya pun tidak serampangan. Hewan melampiaskan birahi, demikian pula manusia. Namun, manusia hanya melampiaskan birahinya hanya kepada perempuan, itupun yang sudah dinikahinya terlebih dahulu sesuai dengan hukum Islam. Setelah pernikahan pun dipeliharanya istrinya tersebut, dididiknya, tujuannya pun bukan bersifat seksual semata, melainkan untuk mendapatkan keturunan yang shalih. Hewan hidup bersama dengan sesamanya. Demikian pula halnya manusia. Bedanya, dalam kehidupannya hewan tidak diatur secara formal, yang kuat itulah yang menang dan berkuasa. Sebaliknya, manusia diatur oleh aturan-aturan Allah Swt. Dimana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan syara’, sehingga yang menentukan halal-haram, baik-buruk, terpuji-tercela, serta mana yang boleh ada di tengah masyarakat dan mana yang tidak boleh hanyalah Allah Swt.  Semata, yang diketahui lewat hukumNya dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas.

Dalam hidupnya hewan semata memenuhi kebutuhan fisik dan nalurinya, sementara manusia dalam hidup dan perikehidupannya disamping memenuhi kebutuhan fisiknya, juga berupaya untuk meraih 4 nilai (Qimah) dalam kehidupan. Ia akan meraih nilai ruhiyah dengan jalan menunaikan ibadah-ibadah mahdhah kepada Allah Swt. Shalat wajib tak pernah ia lupakan, shalat sunah baik tahajjud, istikharah, dhuha’, dan lainnya diupayakan untuk selalu ia kerjakan. Dakwah tak pernah ia lalaikan, demikian pula kewajiban lainnya. Ia pun berusaha meraih nilai khuluqiyah. Caranya dengan mendarah-dagingkan akhlak mulia di dalam dirinya. Senantiasa berkasih-sayang kepada sesama muslim, hormat kepada yang lebih tua, sayang kepada yang lebih muda, hormat kepada orangtua, menghargai guru, membantu orang-orang yang memerlukan, menengok orang sakit, membantu orang yang teraniaya, dan seluruh akhlak mulia sesuai ajaran Islam ia lakukan. Dia pun mengupayakan terus supaya hidupnya meraih nilai insaniyah, artinya peduli kepada sesama manusia tanpa melihat suku, ras, ataupun agamanya. Ini dilakukannya dengan melaksanakan seluruh hukum-hukum Allah Swt. yang berkaitan dengan manusia secara umum. Misal, ketika di jalan ada orang tertabrak, tanpa perlu lagi bertanya apa suku, bangsa, atau agamanya, ia pun segera menolongnya. Ketika ia menjadi penguasa, ia akan menerapkan hukum Islam kepada siapa saja, dan akan berlaku adil pada siapa saja tanpa melihat apa bangsa dan agamanya. Siapapun yang salah dikatakan salah sesuai dengan syariat Islam. Contoh lain, bila ia datang ke kamp pengungsian, ia akan memberi bantuan kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Namun bukan hanya itu, ia pun akan meraih nilai materil (madiah) dengan cara mendapatkan keuntungan materi di jalan yang sesuai dengan ajaran Islam. Bila ia seorang pedagang, ia akan berupaya mendapat untung dengan tetap tidak melakukan perkara-perkara haram dalam berdagangnya. Begitu pula ketika ia membangun rumah, misalnya, akan berupaya agar rumahnya itu kokoh, kuat, bagus, asri, indah, dan layak menurut kesehatan. Jadi, di dalam hidupnya manusia itu meraih keempat nilai tersebut. Hanya saja, semua itu baru akan dicapai dengan melakukan seluruh hukum Islam. Artinya, seseorang yang betul-betul tunduk, patuh, dan taat kepada hukum-hukum Islam, maka ia akan dapat meraih semua itu tanpa perlu tahu tentang teori nilai tadi. Dengan kata lain, sekali lagi, tidaklah perlu repot-repot untuk menjadikan hidup ini dapat meraih hal-hal tadi. Hanya satu cara, terapkan dan laksanakan seluruh aturan Islam: jadikan hidup ini untuk ibadah!

Kapan tunduk, patuh, dan taat kepada aturan Allah Swt.? Jawabannya tegas, setiap saat! Nabi saw., seperti diriwayatkan oleh Turmudzi, menegaskan:

اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ
Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada !” (HR. Turmudzi)
Sungguh, sabda Rasulullah tersebut sangat gamblang dipahami. Bagaimana tidak, Allah Swt. itu akan menghisab seluruh perbuatan manusia. Dia bukan hanya sekadar menghisab aktivitas manusia ketika sedang di masjid saja atau sedang mengadakan tablig akbar saja. Sebaliknya, Dialah Zat Mahatahu yang akan meminta pertanggungjawaban manusia tentang segala perbuatannya di kamar mandi, di tengah rumah, di kamar, di halaman, di jalan, di dalam kendaraan, di terminal, di stasiun kereta api, di kantor, di pasar, di supermarket, di kampus, di sekolah, di ruang pengadilan, di gedung-degung pemerintahan, dan di setiap tempat. Semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban, apakah sesuai dengan aturan Islam ataukah tidak, apakah sesuai dengan visi dan misi hidup di dunia, yaitu ibadah, ataukah tidak. Allah Swt.  berfirman:

وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”  (QS. ath-Thur [52]: 21)

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.”  (QS. al-Mudatstsir [74]: 38)
Bila hidup manusia sesuai dengan tugas yang diberikan Allah Swt., maka hidupnya akan bahagia di dunia dan di akhirat. Sebaliknya bila tidak, ia akan nestapa di dunia dan di akhirat. Untuk itu patut direnungkan firman Allah Swt. berikut:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”  (QS. al-Hadid [57]: 16)

Sungguh, ayat di atas merupakan pertanyaan retoris bagi mereka yang tetap tidak mau menundukkan dirinya kepada aturan-aturan Allah Swt. Sekarang sudah tiba waktunya! Dan Allah menyindir orang beriman “Belumkah datang waktunya …” Benar, sekarang sudah tiba waktunya. Kapan lagi ketundukan, kepatuhan, dan ketundukan kepada Allah azza wajalla  bila bukan sekarang? Apa mungkin besok lusa? Bukankah mungkin saja nyawa kita sudah tak ada saat esok lusa tiba? Jauh-jauh sebelumnya Rasulullah saw. mengingatkan:

قَالَ بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سَبْعًا هَلْ تَنْتَظِرُونَ إِلَّا فَقْرًا مُنْسِيًا أَوْ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفْسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفَنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنْتَظَرُ أَوِ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ
“Bersegeralah kalian untuk beramal sebelum datangnya tujuh hal: apakah yang kalian nantikan kecuali kemiskinan yang dapat melupakan, kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, sakit yang dapat mengendorkan, tua renta yang dapat melemahkan, mati yang dapat menyudahi segalanya, atau menunggu datangnya Dajjal padahal ia adalah sejelek-jelek yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari kiamat padahal kiamat adalah sesuatu yang sangat berat dan sangat menakutkan.“ (HR. at-Turmudzi)
Benar, tidak ada yang perlu ditunggu! Kini saatnya memproklamirkan: hidup ini untuk ibadah! Hanya dengan langkah begini hidup menjadi punya makna. Bila tidak, apa bedanya dengan hidup hewan? Na’udzu billahi min dzalik []

Sumber : Kurnia, M. Rahmat, Menjadi Pembela Islam, (Bogor: Al Azhar Press), 2004
Halaqoh Online