Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
Jawaban Pertanyaan:
As-Sunnah al-Fi’liyah al-Mutawâtirah
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.
Ada dua pertanyaan jika Anda berkenan, semoga Allah memberi Anda taufik…
- Di dalam buku asy-Syakhshiyyah al-Islamiyah juz III halaman 82 dinyatakan sebagai berikut:
“Dan hadits mutawatir itu qath’iy tsubut berasal dari Nabi saw, memberi faedah pengetahuan yang bersifat yakin/pasti (‘ilman yaqîniyan) dan wajib diamalkan dalam apa saja, baik berupa as-sunnah al-qawliyah(sunnah berupa ucapan) atau fi’liyah (berupa perbuatan) atau as-sukûtiyah (berupa diam persetujuan). Diantara hadits-hadits qawliyah mutawatirah adalah sabda Rasul saw:
«مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِداً فَلْيَتَبَوَأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka.”
Dan diantara as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah adalah shalat lima waktu dan jumlah rakaatnya. Demikian juga apa yang dinyatakan tentang tata cara shalat, puasa dan haji.
Pertanyaan tentang “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah”, apakah “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” itu? Apakah “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” merupakan khabar tawatur tentang perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw? Ataukah “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” adalah perbuatan tawatur yang dilakukan oleh orang-orang dari generasi ke generasi dari masa Rasulullah saw sampai hari kita ini?
Sebagian pentahqiq menjadikan apa yang mereka sebut “tawâtur ‘amal” atau “tawâtur tawâruts” sebagai salah satu jenis dari at-tawâtur. Misalnya asy-Syaikh Syubair Ahmad al-‘Utsmani dalam Muqaddimah “Fathal-Mulhim” halaman 18 mengatakan:
“dan bagian ketiga: tawâtur ‘amal dan tawâtur tawâruts, yaitu dilakukan pada setiap generasi sejak masa shahibu asy-syari’ah sampai hari kita ini oleh sejumlah besar orang yang melakukannya, di mana biasanya mereka mustahil berkolusi untuk berbohong atau keliru (ghalath), seperti siwak dalam wudhu. Ia adalah sunah, dan meyakini kesunahannya adalah fardhu. Sebab hal itu terbukti dengan at-tawâtur al-‘amaliy dan mengingkarinya adalah kufur… Termasuk dari hal itu adalah shalat lima waktu. Tidak ada seorang pun mukmin dan kafir yang berbeda pendapat dan tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa shalat lima waktu itu Beliau lakukan bersama sahabat-sahabat beliau setiap sehari semalam pada waktu-waktu yang ditentukan, dan demikian juga orang yang mengikuti beliau di atas agama beliau menjalankan shalat seperti mereka setiap hari. Begitulah sampai hari ini. Tidak ada yang ragu bahwa penduduk Sind menjalankan shalat seperti yang dilakukan oleh penduduk Andalus, dan bahwa orang-orang Armenia melakukan shalat seperti yang dilakukan oleh penduduk Yaman…” selesai.
Apakah ini dan apa yang kita sebut “as-sunnah al-fi’liyah al-mutawatirah” adalah sama? Ataukah keduanya berbeda? Dan jika berbeda apakah kita menerima apa yang mereka namakan tawâtur ‘amal atau kita menolaknya?
- Para pentahqiq diantara ahli hadits seperti Ibn Hajar, an-Nawawi, as-Suyuthi dan selain mereka membagi hadits maqbul (yang diterima) menjadi “shahîh li dzatihi”, “shahîh li ghayrihi”, “al-hasan li dzatihi” dan “al-hasan li ghayrihi”, sementara kita mencukupkan dengan apa yang ada di buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz I dan III dengan pembagian “ash-shahîh” dan “al-hasan”. Apakah ini hanya perbedaan dalam istilah saja tetapi makna atau konotasinya sama ataukah juga berbeda dalam hal makna? Semoga Allah memberkahi Anda.
Jawab:
Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.
- As-sunnah al-mutawâtirah baik apakah berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan) untuk ucapan atau perbuatan, tidak akan menjadi mutawatir kecuali jika dinukilkan secara mutawatir dari Rasulullah saw. Adapun pendapat bahwa perbuatan-perbuatan itu menjadi sunnah fi’liyah mutawâtirah jika dilakukan oleh banyak orang pada masa Rasulullah saw dan banyak orang pada masa at-tabi’un dan tabi’ut tabi’in tanpa dibuktikan dengan at-tawatur bahwa perbuatan-perbuatan itu dilakukan atau disetujui pelaksanaannya oleh Rasulullah saw, pendapat ini tidak benar. Tidak akan menjadi mutawatir kecuali jika dibuktikan dari Rasul saw secara at-tawâtur bahwa beliau melakukannya atau menyetujui pelaksanaannya.
Apa yang dilakukan oleh pemilik pendapat ini adalah termasuk perkara-perkara asumtif. Buktinya adalah contoh-contoh yang mereka sebutkan, seperti shalat lima waktu. Shalat lima waktu dibuktikan dengan at-tawatur dari Rasul saw. Adapun siwak, maka tentangnya ada hadits shahih dari Rasulullah saw. Dan penilaian kemutawatiran hadits-hadits ini disandarkan pada sanad hadits-hadits ini. Jika dinukilkan secara mutawatir maka hadits itu mutawatir, dan jika dinukilkan secara ahad maka tidak menjadi hadits mutawatir. Artinya yang menjadi patokan adalah sanad dari Rasulullah saw.
Pendapat mereka bahwa shalat lima waktu dilakukan di Sind, di Andalus, di Yaman dan di Armenia lima kali shalat, dimana mereka tidak berbeda pendapat bahwa shalat lima waktu itu lima … maka semua ini tidak menjadikannya mutawatir seandainya tidak dinukilkan dari Rasulullah saw secara tawatur… Yang menjadikannya mutawatir adalah terbuktinya penukilannya dari Rasul saw secara tawatur.
Ringkasnya bahwa at-tawatur itu bersandar pada sanad. Jika dinukilkan dengan penukilan mutawatir maka bisa dijadikan sandaran. Dan jika tidak berupa penukilan mutawatir maka dikaji sanadnya atau diputuskan berdasarkan hal itu. Seperti yang saya katakan barusan, pendapat mereka itu bersifat asumtif. Sebab mereka tidak bisa menyebutkan satu contoh saja yang tidak terbukti dari Rasulullah saw, akan tetapi kemutawatirannya ditetapkan dari perbuatan kaum muslim.
- Adapun shahîh li dzatihi dan shahîh li ghayrihi, dan hasan li dzatihi dan hasan li ghayrihi … masalah ini tentangnya ada kajian-kajian. Dan saya akan jelaskan masalah ini secara ringkas tanpa masuk dalam beberapa aspek perbedaan. Saya katakan:
Hadits shahîh adalah hadits yang dinukilkan dari Rasulullah saw dengan penukilan orang yang adil dan dhabith, bersambung sanadnya, tanpa ada illat dan tidak pula syadz. Ini adalah hadits shahîh, atau yang disebut shahîh li dzatihi. Tingkatannya berbeda-beda sesuai perbedaan sifat-sifat ini. Dan berikutnya dikedepankan shahîh al-Bukhariy kemudian Muslim kemudian yang sesuai syarat keduanya ….
Jika dhabthunya lebih ringan seraya memenuhi syarat-syarat shahîh maka hasan li dzatihi.
Jika bertambah banyak jalurnya yang shahih maka meningkatkan al-hasan sebagai shahîh maka disebutshahîh li ghayrihi.
Jika sanad tersebut tidak memenuhi syarat-syarat shahîh dan hasan maka dha’if.
Jika bertentangan dengan riwayat-riwayat dha’if dengan makna yang sama maka ada yang menyebutnyahasan li ghayrihi.
Sesuai dengan tabiat keadaan tersebut maka kami tidak menganggap dha’if bersama dengan dha’if bersama dengan dha’if … sebagai hasan, akan tetapi itu tetap dha’if.
Pengklasifikasian ini “al-hasan li ghayrihi” belum beredar pada masa pertama ilmu hadits. Dan orang pertama yang mengatakan hal itu seperti yang disebutkan oleh sebagian sumber adalah imam al-Baihaqi rahimahullah di beberapa tempat dari buku-buku beliau.
Ada perbedaan pendapat tentang “al-hasan li ghayrihi”, yakni penguatan dha’if dengan dha’if, dari sisi beramal dengannya. Sebagian dari mereka ada yang mengambilnya. Dan sebagian dari mereka ada yang tidak menerimanya dan menilainya dha’if, dan inilah yang rajih seperti yang kami katakan barusan.
Ini tidak membuat pengklasifikasian hadits-hadits selain apa yang kami sebutkan di buku-buku kami. Sebab hadits yang mereka katakan sebagai hasan li ghayrihi adalah hadits dha’if terkait sanadnya. Dan oleh karena itu maka al-hasan li ghayrihi bukan jenis baru.
Saudaramu
Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
26 Syawal 1436 H
11 Agustus 2015 M
https://www.facebook.com/Ata.abualrashtah/photos/a.154439224724163.1073741827.154433208058098/480331125468303/?type=1&theatera
[htipress/www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment