Oleh: Dr Andi Azikin, MSi (Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan Pascasarjana Universitas Pramitha Indonesia)
Penyelenggaraan pemerintahan daerah di era reformasi telah melahirkan Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (UU No 22 Tahun 1999 hingga UU 23 Tahun 2014) penyelenggaraan pemerintahan daerah dianggap lebih demokratis karena dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Alasan dan argumentasi sehingga hal ini menjadi pilihan politik pemerintah tentu perlu kita pertanyakan karena selama ini telah terbukti bahwa sistem Pilkada langsung dalam proses pemilihan kepala daerah dengan biaya politik yang terlalu besar menjadi pemicu dan mendorong maraknya praktek korupsi, lahirnya kekuasaan dinasti (raja-raja kecil di daerah) dan sering berakhir konflik sosial.
Akhirnya timbul wacana agar kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Padahal sejarah telah mencatat bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Masa Orde Baru dengan kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan sistem Pemerintahan yang sentralistik (UU No 5 Tahun 1974), telah dianggap gagal karena Pemerintah pusat mendominasi penyelenggaraan pemerintahan (otoriter dan rezim koruptif).
Lalu mengapa desentralisasi dan otonomi daerah (demokratisasi pemerintahan di daerah) juga bermasalah (baca: menipu rakyat)?
Pertama, ketidakjelasan Konsep Sistem Pemerintahan Daerah. Ibarat gandul jam. Ketika sentralisasi dinilai gagal maka solusinya desentralisasi. Demikian pula sebaliknya ketika otonomi daerah belum terlihat membawa arah perubahan maka dicoba untuk mengembalikan sistem sentralisasi. Hingga tidak memiliki solusi yang hakiki.
Kedua, ketika memberikan kekuasaan DPRD yang kian besar akan mendorong makin kencangnya proses politik dagang sapi. Hasil penelitian Transparancy Internasional Indonesia dan Global Corruption Barometer yang menempatkan parpol dan legislatif sebagai lembaga terkorup membuktikan hal itu.
Ketiga, menyuburkan praktek dinasti politik. Jika sistem pilkada langsung saja dapat melahirkan dinasti politik, apa lagi jika pilkada dilakukan oleh DPRD? Alasannya, jika rakyat banyak saja dapat dikontrol maka kontrol terhadap anggota DPRD yang jumlahnya terbatas, karakternya buruk dan integritasnya rendah, pasti jauh lebih mudah. Akibatnya akan lahir banyak aktor politik dadakan yang tidak matang sebagai kepala daerah. Mereka tampil ke panggung politik melalui proses karbitan. Dengan modal orang tua sebagai penguasa dan sebagai pimpinan partai, maka tiket menuju kursi kepala daerah telah di tangan. Hal ini sekaligus menyuburkan praktek oligarki di daerah.
Keempat. Kalau selama ini kerusuhan karena pilkada langsung dianggap menjadi kambing hitam. Padahal pilkada lewat DPRD tidak menjamin akan berakhir damai. Kenapa? Bisa jadi yang kinerjanya rendah sehingga tidak memuaskan rakyatnya, dapat saja terpilih kembali karena dia memiliki modal untuk bertransaksi dengan anggota DPRD. Bisa juga seseorang dengan rekam jejak yang buruk dapat terpilih karena memiliki modal yang kuat. Jika itu terjadi maka rakyat tentu kecewa sebab ekspektasi mereka berbanding terbalik dengan hasil pilihan DPRD. Akibatnya mudah diduga, kemarahan rakyat meluap karena kecewa terhadap perilaku korup dan manipulatif yang akan bermuara pada kerusuhan.
Kelima, tidak sinkronisasi antara Indonesia sebagai negara kesatuan dengan otonomi daerah (desentralisasi) Karena tidak ada hubungan signifikan antara terpilihnya kepala daerah hasil pilkada dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Karena setelah kepala daerah yang terpilih hasil pilkada yang mahal itu tidak memiliki “kekuasaan” tetapi hanyalah kewenangan (desentralisasi) yang dilimpahkan pemerintah pusat kepada daerah.
Artinya buat apa kepala daerah dipilih rakyat? Setelah berkuasa hanyalah menjalankan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat dan kepala daerah tidak boleh membuat perda atau kebijakan yang bertentangan dengan UU yang lebih tinggi dan menyalahi kebijakan pemerintah pusat. Dengan kata lain pemerintahan daerah jauh lebih efektif apabila kepala daerah ditunjuk oleh pemerintahan pusat. Sedangkan pilkada langsung, tak lebih dari sekedar demokratisasi yang menipu rakyat, fakta lapangan membuktikan. Dan pada 9 Desember nanti, rakyat akan kembali ditipu secara serentak melalui Pilkada Langsung dan Serentak. Percayalah![][htipress/www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment