Amburadulnya hukum dan para penegaknya seharusnya cukup menjadi bukti sistem politik dan hukum sekular jelas gagal mewujudkan kemaslahatan. Alih-alih keadilan hukum, untuk sekedar mendapat kepastian saja, betapa sulitnya. Dalam sistem sekular yang berlaku di negeri kita saat ini, mekanisme pengadilan sangat tidak efektif dan efisien karena begitu prosesnya begitu rumit dan bertele-tele.
Banyak keputusan hukum yang tidak bisa dieksekusi karena masih dimungkinkan terjadi pembatalan, seperti terjadi pada keputusan hukum dalam hal kisruh Golkar dan kisruh PSSI belakangan ini, terlepas dari tepat atau tidaknya keputusan yang diambil hakim. Putusan sela PTUN terkait penundaan keberlakuan SK pembekuan PSSI tidak diindahkan Kemenpora, karena dianggap bukan keputusan hukum yang bersifat tetap. Begitu pula putusan PTUN yang mengabulkan gugatan kubu Aburizal Bakrie atas SK Menteri Hukum dan HAM yang mengesahkan kepengurusan kubu Agung, menjadi tak ada nilainya meski melalui proses panjang. Atas dasar itu, Komisi Pemilihan Umum belum bisa memproses kepengurusan DPP Partai Golkar yang sah berdasarkan putusan itu. Hal ini terjadi karena keputusan itu belum bersifat tetap(inkracht), selama masih ada peluang banding dan kasasi.
Bahkan, dalam beberapa kasus perkara yang sudah berkekuatan hukum tetap pun bisa digugat kembali, seperti pada kasus F. Sugiarso atas PT Modernland Tbk yang sudah dimenangkan baik dalam tingkat banding maupun kasasi di MA, namun belakangan dikalahkan kembali di PN Jakarta Timur. Hal yang sama juga sering terjadi dalam putusan bebas. Meski terdapat ketentuan dalam pasal 244 KUHAP, yang berbunyi “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas” Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap dimajukan kasasi.
Selain itu, para terdakwa masih memiliki kesempatan mangkir walau kasusnya telah memiliki keputusan hukum tetap, yakni dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Jika masih tidak berhasil masih ada upaya hukum lain yang juga bisa ditempuh untuk meringankan atau menganulir sanksi yang telah ditetapkan, yakni melalui permohonan grasi, abolisi, amnesty dll. Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga tertinggi dalam menilai konstitusional atau tidaknya isi UU, bisa diragukan putusannya, seperti terlihat dalam Sidang praperadilan Dahlan Iskan kemarin (29/7), dimana jaksa ngotot mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menjadikan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan.
Islam Menjamin Kepastian Hukum
Kondisi di atas tidak akan terjadi bila Islam diterapkan. Di dalam sistem peradilan Islam tidak dikenal istilah pra-peradilan, peradilan banding, maupun kasasi. Sistem peradilan Islam hanya satu. Keputusan seorang qâdhî (hakim) pada suatu perkara bersifat tetap. Keputusannya tidak dapat diganggu-gugat dan tidak dapat dibatalkan, meski oleh khalifah (kepala negara) sekalipun. Peradilan Islam adalah institusi yang bertugas untuk menyampaikan keputusan hukum dan keputusannya bersifat mengikat. Perlu diketahui, bahwa setiap keputusan hukum (yang ditetapkan oleh qâdhî) di dalam ruang sidang peradilan merupakan hukum Allah atas perkara tersebut bagi si terdakwa. Hukum Allah bagi dirinya—dilihat dari sisi pelaksanaannya—tidaklah berbilang, tetapi hanya satu. Memang, bisa saja pemahaman seorang qâdhî dengan qâdhî lainnya atas suatu perkara berbeda sehingga memungkinkan dihasilkannya keputusan atau pendapat yang berbeda pula. Namun demikian, dalam hal ini, harus dibedakan antara memahami suatu perkara dan melaksanakan keputusan peradilan atas perkara tersebut.
Penetapan hukum di dalam sidang peradilan Islam (selain perkara hudûd) dilakukan melalui metodeistinbâth (ijtihad) dengan memahami fakta atas suatu perkara secermat-cermatnya. Seorang qâdhî bisa saja berbeda dalam memahami suatu fakta dengan qâdhî lainnya sehingga hasil ijtihad masing-masing juga berbeda. Akan tetapi, harus dipahami, bahwa perkara tersebut menuntut penetapan hukum berupa hukum Allah Swt. yang dikeluarkan oleh qâdhî melalui ijtihadnya. Sementara hukum Allah Swt. dalam perkara tersebut atas terdakwa si fulan—misalnya—hanya satu (yang harus dijalankannya). Sehingga dari aspek pelaksanaan, hukum Allah Swt tidak berbilang. Yang diterapkan adalah putusan qadhi yang menangani kasus tersebut. Bukan pendapat qadhi lain atau mujtahid lain yang tidak terlibat dalam proses pengadilan. Seandainya proses peradilan melibatkan beberapa qadhi, maka yang berhak memutuskan adalah salah seorang diantara mereka, yang lain hanya bersifat memberi masukan (sholahiyyat ro’yi wal musyawarah). Sehingga qadhi yang berhak menetapkan hukum dalam satu persidangan tetap satu orang, tidak boleh berbilang. Setelah putusan itu ditetapkan tidak seorang pun yang berhak membatalkannya. Dalam hal ini berlaku kaidah ushul:
(اَلإِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِمِثْلِهِ)
“Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain yang serupa”
Dalam shigah (redaksi) yang lain:
(الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ)
“Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain“
Al-Imam An-Nawawiy menyatakan bahwa kaidah ini merupakan kaidah yang disepakati oleh ulama ushul. Beliau menyatakan: “mereka (para ulama ushul bersepakat) atas kaidah ini, saya tidak tahu ada ulama yang menyelisihinya“(An-Nawawiy, Adabul Fatwa Wal Mufti Wal Mustafti, hal. 36). Kaidah ini adalah kaidah kulliyah yang prakteknya, jika ada seorang mujtahid memberikan fatwa atau memutuskan perkara di pengadilan, lalu ia berpendapat lain setelah fatwa itu disampaikan atau setelah putusan ditetapkan, maka pendapatnya yang kedua tidak menggugurkan fatwa dan putusan sebelumnya (dalam kasus yang telah ditetapkan pada masa lalu -fil maadhiy- berdasarkan pendapat pertamanya) . Begitu pun apabila ada mujtahid lain yang memiliki pandangan (ijtihad) yang berbeda dengan pendapatnya. Maka pendapat mujtahid lain itu tidak dapat menggugurkan keputusan hukum yang telah ditetapkan di masa lalu. Dengan kata lain, tidak ada perbedaan dalam penerapan kaidah ini, baik pendapat yang menyelisi putusan itu berasal dari mujtahid yang menetapkan putusan tersebut atau mujtahid lain. Bahkan jika pendapat yang menyelisihi itu berasal dari mujtahid lain, maka penerapan kaidah di atas lebih utama (aula bi’adamin naqdi), (Lihat: Dr. ‘Iyad Ibnu Namiy a-Salmiy, Ushul Fiqh Al-ladzi Laa Yasa’ul Faqiha Jahluh, hal. 321). Adapun dalam kasus-kasus yang belum diputuskan hukumnya (fil haal) , atau kasus-kasus yang terjadi di masa mendatang (fil mustaqbal), maka keputusan diambil berdasarkan pendapat mujtahid (baik ia sebagai seorang qhadi atau mufti) yang baru.
Dasar kaidah ini adalah ijma’ sahabat, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Ash-Shobagh bahwa Abu Bakar as-Shiddiq ra. mentabani (melegislasi) hukum dalam beberapa persoalan, lalu Umar Ibnu al-Khattab ra. pada masa pemerintahannya mentabani hukum yang bertentangan dengan kebijakan Abu Bakar ra, dengan tidak membatalkan putusan hukum (al-qadha) Abu Bakar pada kasus-kasus yang sudah ditetapkan (hukumnya) pada masa beliau. Hal ini didengar dan disaksikan oleh para sahabat, tanpa ada seorangpun yang mengingkarinya, padahal seandainya hal itu bertentangan dengan syariat niscaya sahabat yang lain mengingkarinya, maka dapat disimpulkan bahwa telah terjadi Ijmak di kalangan mereka bahwa Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad lain yang serupa. Hal yang sama juga terjadi pada masa kekhilafahan Umar sendiri, beliau menetapkan keputusan yang berbeda dalam masalah al-musyarrokah, yakni apabila terdapat seorang yang meninggal dunia meninggalkan ahli waris: suami, ibu, dua orang atau lebih saudara/i dari ibu , satu orang atau lebih saudara laki-laki sekandung (‘ashobah). Dalam keputusan (al-qadha) yang pertama Umar menetapkan bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian, karena harta telah habis dibagi ke as-habul furud (ibu, suami, dan saudara-saudara se-ibu). Namun, dalam keputusannya yang kedua (dalam kasus yang berbeda) Umar menetapkan bahwa saudara sekandung bersama dengan saudara-saudaranya se-ibu mendapatkan bagian yang sama dari sepertiga tarikah (harta waris). Ketika ditanyakan kepadanya: “Wahai Amirul Mukminin, sungguh engkau telah menetapkan sebuah keputusan hukum yang berbeda dengan keputusanmu pada tahun lalu.? Umar menjawab: “Itu adalah apa yang kami putuskan pada waktu itu, dan ini adalah apa yang kami putuskan hari ini”. Hal ini juga didengar dan disaksikan oleh para sahabat tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya. Imam as-Suyuti memberi ta’alil (alasan) bahwa dengan kaidah ini maka kepastian hukum akan terjamin dan proses pengadilan akan terhindar dari masyaqah (akibat bertele-telenya nya putusan pengadilan) (Lihat: al-Imam as-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, hal. 185).
Dari paparan di atas jelas bahwa Islam tidak mengenal peradilan banding, kasasi atau pun peninjauan kembali putusan hakim sebagaimana terjadi pada sistem sekular yang diterapkan saat ini.
Selain itu, Islam juga tidak mengenal grasi. Sebab, meskipun grasi tidak termasuk upaya hukum tetapi pada hakikatnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap menjadi tidak pasti (tetap) karena ada kemungkinan di bebaskan atau di kurangi. Adapun abolisi dan amnesty maka perlu dilihat, jika ia termasuk hudud maka tak seorang boleh memberikan pemaafan atau penghentian proses pengadilan. Adapun terkai Jinayat, maka hak untuk memaafkan berada pada korban, baik sebelum diproses di pengadilan atau pun sesudah diproses, namun ia bukan merupakan hak penguasa seperti praktek abolisi. Sementara terkait dengan at-ta’zir (pelanggaran yang jenis hukumanya di serahkan pada imam) maka dalam ha ini khalifah atau pun qadhi boleh memberikan pemaafan atau pun menghukum dengan hukuman yang ringan, sebagaimana ia juga boleh menetapkan hukuman yang berat. Namun bila hukuman itu telah ditetapkan maka tak seorang pun boleh membatalkan atau pun mengubahnya, sekali pun khalifah atau pemberi keputusan itu sendiri.
Alhasil, grasi, abolisi dan amnesty (dalam arti pembatalan, perubahan keputusan hukum, penghentian proses peradilan dan pemaafan) seluruhnya tidak di kenal dalam Islam, kecuali dalam hal hukum at-ta’zir yang belum di putuskan hukumannya atau yang menyangkut haq admiy (al-jinayat) dengan pemaafan dari sang korban.
Ketentuan-ketentuan dalam Islam tersebut meniscayakan bahwa penegakan hukum bukan lagi jargon yang bersifat khayalan seperti dalam sistem demokrasi sekular yang mulai pangkal hingga ujungnya bermasalah. Oleh karena itu, sistem Islam lah yang selayaknya menjadi satu-satu solusi persoalan penegakan hukum. Hanya sistem Islam lah yang bisa menjamin manusia mendapatkan apa yang selama ini mereka harapkan. Pasalnya, syariah Islam dengan Khilafah Islam sebagai institusi pelaksananya, adalah ketentuan yang ditetapkan Allah SWT, Zat Yang Paling Memahami apa yang paling baik bagi hambanya. Wallahu A’lam. []
[htipress/www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment