Bertaubat dan Taat kepada Syariah (Tafsir QS: al-Nisa' [4]: 64).

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKCO4-sVq8DPa5As5WVCg7EIieVN63XM83wFoR5od8E5XiSddnzTUQoE03axQxqCD04a1z8clYOENWtjHVJ4ppb_jtAdDEH16dd1C0w8zpHKRgMrSvE5yQkc6YTOUq5T-x1hfEi7jUbPoX/s1600/Qur'an+rotator.jpgOleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.

Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang (TQS al-Nisa' [4]: 64).

Keimanan meniscayakan ketundukan secara total terhadap syariah. Semua syariah yang dibawa Rasulullah SAW, baik yang terdapat dalam Alquran maupun dalam sunnahnya, wajib ditaati. Tidak ada alasan bagi manusia untuk membangkangnya. Terlebih orang yang telah mendeklarasikan keimanan. Jika pembangkangan itu telah telanjur dilakukan, maka bertaubat merupakan satu-satunya pilihan agar mendapatkan keselamatan. Inilah di antara perkara penting yang dikandung dalam ayat di atas.

Rasul Wajib Ditaati
Allah SWT berfirman: Wamâ arsalnâ min Rasûl illâ liyuthâ'a bi idznilLâh (dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah). Ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya yang menjelaskan perilaku orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang mengaku beriman, namun justru menjadikan thâghût sebagai hakim. Sebaliknya, ketika diajak tunduk kepada hukum yang diturunkan Allah SWT, mereka justru berpaling. Bahkan ketika mereka ditimpa musibah karena pembangkangannya itu, mereka pun masih berusaha berkelit. Bahwa tindakannya itu mereka lakukan untuk penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna. Allah pun menegaskan telah mengetahui isi hati mereka. Terhadap mereka, umat Islam diperintahkan berpaling, menasihati dan menyampaikan perkataan yang berbekas (lihat QS al-Nisa [4]: 60-65).

Kemudian dalam ayat ini ditegaskan tentang posisi rasul. Semua rasul, termasuk Rasulullah SAW, diutus Allah SWT untuk ditaati manusia. Kata rasûl yang berbentuk nakirah dalam struktur kalimat nafiyy (kalimat negatif) seperti pada ayat ini, memberikan makna umum. Sehingga kata rasûl di sini mencakup seluruh rasul. Pengertian itu kian tegas dengan kata min, yang menurut al-Syaukani, merupakan zâidah yang berguna sebagai li ta'kîd (untuk menegaskan).

Sedangkan bentuk nafiyy yang disertai dengan istitsnâ' (perkecualian) seperti ayat ini, menghasilkan hasyr (pembatasan) yang paling kuat. Artinya, semua rasul diutus Allah SWT itu semata hanya untuk ditaati. Ditegaskan pula, bahwa ketaatan tersebut bi idznil-Lâh, atas seizin Dzat yang wajib ditaati, Allah SWT. Sebagaimana disitir al-Baghwi, al-Zujjaj mengatakan, liyuthâ'a bi idznil-Lâh sebab Allah SWT telah mengizinkan dan memerintahkannya.

Sebagai utusan-Nya, para rasul itu memang diutus untuk membawa risalah yang berasal dari-Nya. Bahkan ditegaskan dalam QS al-Najm [53]: 4, perka-taan yang diucapkan Rasulullah itu adalah wahyu yang diwahyukan. Rasul juga tidak mengikuti kecuali wahyu yang diwahyukan (lihat QS al-An'am [6]: 51, Yunus [10]: 15, dan Ahqaf [46]: 9).

Oleh karena itu, menaati rasul, pada hakikatnya sama halnya dengan menaati Allah SWT. Hal ini juga ditegaskan Allah dalam firman-Nya: Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka (TQS al-Nisa' [4]: 80). Rasulullah SAW juga bersabda: Siapa yang taat kepadaku, maka sungguh dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Kesempatan Bertobat
Selanjutnya Allah SWT berfirman: Walaw annahum idz zhalamû anfusahum jâûka (sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu). Dhamîr hum (kata ganti orang ketiga jamak, mereka) dalam ayat ini kembali pada ayat sebelumnya. Sebagaimana diterangkan Fakhruddin al-Razi, mereka adalah kaum munafik. Sehingga, yang dimaksud dengan zhalamû anfusahum adalah dengan berhukum kepada al-Thâghût. Demikian al-Zamakhsyari dan al-Baghawi dalam tafsirnya.

Ditegaskan dalam ayat ini, jika mereka telah telanjur melakukan perbuatan maksiat itu, lalu mereka datang kepada Rasulullah. Kedatangannya dalam rangka untuk bertaubat. Allah berfirman: fa[i]staghfirul-Lâh (lalu memohon ampun kepada Allah). Menurut Ibnu Manzhur dalam Lisân al-'Arab, kata al-ghafr berarti al-taghthiyah wa al-satr (menutupi). Ghafaral-Lâh dzunû-bahu berarti satarahâ (menutupinya).

Sehingga, al-istighfar berarti, thalab al-maghfirah (permintaan ampun). Ditegaskan al-Raghib al-Asfahani, permintaan ampun itu tidak cukup dengan lisan, namun juga dengan perbuatan. Oleh karen itu, sebagaimana dijelaskan Sihabuddin al-Alusi, pengertian mereka beristighfar itu adalah mereka meminta ampun atas dosa-dosa mereka, berhenti dari perbuatan (maksiatnya itu), dan menyesali apa yang telah dikerjakan.

Di samping itu juga: wa[i]s-taghfara lahum al-Rasûl (dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka). Artinya, Rasulullah juga turut memohon kepada Allah agar menerima taubat mereka dan mengampuni dosa-dosa mereka. Demikian al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma'ânî. Dijelaskan Abdurrahman al-Sa'di, ketentuan ini khusus ketika Rasulullah SAW masih hidup sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat ini. Sebab, permintaan ampun dari Rasulullah itu tidak bisa terjadi kecuali dalam semasa hidup beliau. Adapun setelah beliau wafat, maka ketentuan itu tidak dituntut lagi.

Seandainya itu yang mereka lakukan, maka: Lawajadûl-Lâh Tawwâb[an] Rahîm[an] (tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Pe-nyayang). Kata tawwâb merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-tawbah. Kata al-tawbah, sebagaimana dijelaskan Ibnu Manzhur dalam Lisân al-'Arab,  berarti al-rujû min al-dzanb (kembali dari dosa). Sehingga rajul tawwâb berari tâib ilâl-Lâh (yang bertaubat kepada Allah). Sedangkan wal-Lâh Tawwâb berarti yatûbu 'alâ 'abdihi (menerima taubat hamba-Nya). Dengan demikian, ayat ini memberikan peluang kepada orang-orang yang telah telanjur melakukan kemaksiatan besar, yakni membangkang dari hukumnya dan berhukum kepada Thâghût, untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Tentu itu terjadi jika mereka benar-benar bertaubat. Ditegaskan pula bahwa Allah itu Rahîm, Maha Penyayang. Yang Menyayangi hamba-Nya yang mau bertaubat kepada-Nya.

Tak dapat dipungkiri, nifak merupakan dosa besar. Bahkan pelakunya, yakni munafik, diancam dengan siksa neraka paling bawah. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka (TQS al-Nisa' [4]: 145). Akan tetapi, jika mereka benar-benar bertaubat, niscaya Allah akan mengampuninya. Allah berfirman: Kecuali orang-orang yang bertaubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar (TQS al-Nisa' [4]: 146).

Demikianlah nasib kaum munafik. Sebelum terlambat, maka segeralah bertaubat kepada Allah SWT. Yakni berhenti dari berhukum kepada hukum Thâghût dan bersegera berhukum kepada hukum Allah. Inilah satu-satunya jalan bagi orang yang ingin mendapatkan keselamatan. Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.