Tiga Opsi Pembatasan BBM Bersubsidi

Ketua Tim Pengawasan Kebijakan Pembatasan BBM Bersubsidi, Anggito Abimanyu memastikan ada tiga opsi pembatasan yang akan diajukan kepada pemerintah dan DPR untuk segera direalisasikan. Hal ini dilakukan agar realisasi volume BBM bersubsidi tidak melampaui angka 38,5 juta kiloliter. “Kita baru memberikan opsi tapi tidak menyampaikan rekomendasi, nanti tergantung pemerintah mereka mau mengambil opsi yang mana,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Senin (7/3).
Menurut dia, opsi pertama adalah menaikkan harga premium Rp 500 per liter namun untuk angkutan umum diberikan semacam cash back atau jaminan kembalian, sehingga tarifnya tidak naik. “Itu berarti kendaraan bermotor maupun mobil pribadi harus membayar biaya tambahan (untuk premium) termasuk kendaraan umum, tapi untuk kendaraan umum dengan sistem cash back, karena mereka melakukan pelayanan umum kepada masyarakat,” ujarnya.
Ia mengatakan opsi ini dibentuk, karena selama ini tarif angkutan umum masih diatur pemerintah sehingga mereka tidak mampu mengganti beban biaya kenaikan secara mandiri. “Tarif kepada angkutan umum kan diatur jadi mereka tidak mampu untuk melakukan recovery ataupun mengganti biaya yang ditetapkan karena kenaikan,” ujar Anggito.
Opsi kedua, lanjut Anggito, perpindahan penggunaan BBM bagi kendaraan pribadi dari Premium kepada Pertamax, agar ada pengurangan konsumsi BBM bersubsidi oleh pengguna kendaraan pribadi yang saat ini mencapai angka 3 juta kiloliter per tahun. Menurut dia, opsi tersebut ditetapkan dengan menjaga harga pertamax berdasarkan survey atas kemampuan daya beli masyarakat sekitar Rp 8.000 per liter.
“Jadi mereka pindah ke pertamax, hanya pada harga berapa ditetapkan? yang paling feasible adalah kalau penetapan harga sekitar Rp8 ribu, berdasarkan survey kemampuan daya beli masyarakat pengguna pertamax sekarang,” ujar Anggito.
Opsi ketiga, ia mengatakan, pemerintah dapat melakukan penjatahan konsumsi premium dengan sistem kendali penjatahan yang berlaku tidak hanya untuk kendaraan umum tapi juga kendaraan pribadi. “Jadi ada penjatahan. Itu berlaku tidak hanya untuk kendaraan angkutan umum tapi juga untuk motor diberikan semacam penjatahan,” ujarnya.
Menurut Anggito, opsi yang paling dimungkinkan untuk pembatasan BBM bersubsidi dalam jangka panjang adalah dengan memberlakukan sistem kendali penjatahan. Karena penjatahan itu berarti pemerintah bisa target subsidi, peruntukkan subsidi tepat sasaran pada siapa. Itu ada jatahnya kalau ada yang melebihi dia harus membayar pada harga biasa.
“Tapi, sistem itu apakah bisa dilakukan sekarang tergantung kesiapan dari sistem kendali, karena itu memerlukan server, jaringan, database, dan infrastruktur yang baik,” ujarnya.
Sementara, waktu pemberlakukan pembatasan paling ideal berdasarkan kajian yang telah dilakukan para akademisi dari UGM, ITB dan UI adalah pada bulan-bulan yang memunculkan resiko inflasi rendah. Saya tidak mengatakan bulan apa. Kalau dilakukan pada inflasi tinggi itu akan terjadi ekspektasi inflasi.
“Tujuan kita bukan inflasi saja, tapi kalau didiamkan saja, dampaknya akan lebih buruk. Jadi dilakukan meskipun itu kecil daripada tidak sama sekali. Opsinya mana nanti kita lihat,” ujarnya.
Anggito mengatakan kajian dari tim pengawasan ini setelah disampaikan kepada Menko Perekonomian, Menteri ESDM, Menteri Keuangan dengan Kepala Bappenas akan dibahas dengan Komisi VII DPR RI pada Selasa (8/3) besok. “Itu sesuai dengan hasil kajian kita bersama, baik itu kajian mengenai kebijakan teknis pengaturan maupun pengawasan. Kita serahkan kepada beliau (para menteri). Besok akan disampaikan di DPR,” ujarnya. (republika.co.id, 7/3/2011)