Patuhi SKB, Ratusan Penganut Ahmadiyah Kembali Pada Ajaran Islam

JAMBI  - Penganut Ahmadiyah di Kabupaten Sarolangun bersedia mematuhi surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri atau kembali ke ajaran Islam yang sebenarnya, demikian Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Sarolangun, Havis di Jambi, Sabtu.

Dia mengungkapkan di daerahnya terdapat 164 orang pengikut jamaah Ahmadiyah Indonesia yang bermukim di Desa Singkut 7.

"Ke 164 jamaah Ahmadiyah itu bersedia mematuhi SKB tiga mentri atau kembali ke ajaran Islam sesungguhnya dengan tidak mengakui ada nabi lain setelah Nabi Muhammad SAW," katanya. Dalam SKB tiga menteri di antaranya menyebutkan penganut, pengurus jamaah Ahmadiyah Indonesia agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam.

Ia mengakui pengikut Ahmadiyah di Kabupaten Sarolangun berbeda dari daerah-daerah lainnya, di mana mereka membaur dengan masyarakat sekitar dan selalu mematuhi pemerintah setempat.

Setiap anjuran dan aturan yang dikeluarkan pemerintah mereka taati, dan belakangan mereka juga mengakui tidak ada nabi sesudah Nabi Muhamad SAW.

Berbagai instansi terkait terus mengawasi aktivitas jamaah Ahmadiyah dan hingga kini tidak ada kegiatan mereka yang meresahkan warga sekitar.

"Secara perlahan bersama berbagai instansi terkait kita akan mengajak pengikut Ahmadiyah di Sarolangun supaya bisa mematuhi SKB tiga mentri atau kembali pada ajaran Islam yang benar," kata Havis.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menyayangkan aksi pelemparan batu pada sejumlah rumah jemaah Ahmadiyah di Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang dilakukan warga, Jumat, 11 Maret lalu. Aksi ini dilakukan karena warga mencurigai salah satu rumah jemaah Ahmadiyah dijadikan tempat untuk shalat jumat, padahal sudah ada perda larangan aktivitas Ahmadiyah dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemkab Bogor.
Menurut salah satu pengacara publik LBH, Muhammad Isnur, aksi kekerasan pada Ahmadiyah terjadi karena para penyerang menggunakan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri dan perda pelarangan untuk melegitimasi kekerasan dan perusakan yang dilakukan.
”Ini terlihat dari dialog dan intimidasi yang dilakukan dengan mendalilkan SKB secara menyimpang dan tidak berdasar. Selain itu, mereka juga melegitimasi kekerasan ini dengan munculnya SK pelarangan di daerah. Statemen provokatif dan kebijakan diskriminatif serta inkonstitusional justru mendorong pelaku untuk lebih intens dan berani melakukan kekerasan,” kata Isnur saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/03/2011).
Pemerintah maupun pemda, lanjut Isnur, harusnya mengacu, membaca, dan bertindak sesuai dengan Konstitusi RI dan undang-undang yang jelas dan tegas memberikan penghormatan, perlindungan, dan juga pemenuhan hak-hak warga negara, terutama mereka yang dalam keadaan tertindas. Supremasi hukum dan sikap independen dari pemerintah dan aparat penegak hukum dibutuhkan untuk mengurangi, bahkan menghapus kekerasan terhadap Ahmadiyah.
”LBH Jakarta mencatat bahwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah yang juga merupakan warga negara RI semakin meningkat baik kuantitas maupun tingkat kekerasannya pascakeluarnya SKB tiga menteri. Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum harus tegas menegakkan UU yang menjamin hak warga negara serta supremasi hukum tanpa pandang bulu, dan harus independen, lepas dari sandera dan tekanan siapa pun,” tutur Isnur.
Seperti yang diketahui, SKB tiga menteri yang diresmikan sejak 9 Juni 2008 mengundang kontroversi dan dianggap tidak tegas karena isinya justru meminta jemaah Ahmadiyah meninggalkan keyakinan yang sudah dianut bertahun-tahun. Beberapa perda pelarangan aktivitas jemaah Ahmadiyah kemudian dibuat dengan berpatokan pada SKB tiga menteri. Isi perda pun tidak jauh berbeda, mereka melarang segala bentuk aktivitas Ahmadiyah. (fn/ant/km) www.suaramedia.com