-Sebagai Presiden RI kedua yang pernah menjabat lebih dari satu periode masa jabatan seorang presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), buku ini menggambarkan SBY sebagai presiden yang dikenal sebagai "pesolek". Nama baik dan citranya harus selalu terjaga di mata masyarakat dan kerabatnya.
Terkait hal itu, belakangan di beberapa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar (SD) di luar ibukota, didapati beberapa buku yang membahas kepemimpinan ala SBY. Kontan, hal itu menuai kontradiksi keras di masyarakat, terutama di kalangan pendidik. Pasalnya, buku itu ditujukan untuk pelajar tingkat dasar dan menengah. Muncul spekulasi, buku tersebut hanya sebagai sebuah pencitraan yang salah sasaran.
Buku tersebut diberi judul “Lebih Dekat dengan SBY” dan dikemas dalam beberapa seri. Tiap serinya ditulis oleh penulis yang berbeda. Salah satunya yaitu seri "Lebih Dekat dengan SBY: Peduli Kemiskinan" yang ditulis oleh Anang Solihin Wardan, seorang staf penerbit Rosdakarya, yang juga menjadi penerbit sepuluh buku serial SBY ini.
Memiliki tebal 244 halaman, buku ini menceritakan kebijakan dan tindakan, serta upaya SBY dalam memberantas kemiskinan. Buku yang dibagi dalam enam bahasan dan 28 sub bahasan ini, dikombinasi juga dengan pemberitaan di media massa---cetak dan elektronik---dan berbagai rekaman peristiwa terkait upaya SBY dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Secara umum buku ini lebih tepat sebagai sebuah rangkuman perjalanan SBY yang dikutip dari berbagai peristiwa dan pemberitaan media. Buku ini lebih terkesan mengagung-agungkan kinerja SBY selama memerintah dibanding sebagai sebuah buku pengayaan.
Terlihat jelas, bagaimana buku ini membeberkan bukti-bukti saat SBY menurunkan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi sampai tiga kali sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 lalu. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik semasa pemerintah SBY juga disajikan dengan beragam data dan angka-angka yang bisa membuat bingung pembaca yang masih mengenyam pendidikan dasar dan menengah.
Istilah-istilah asing yang mungkin belum akrab di telinga pelajar tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SD/SMP) juga digunakan secara masif dalam setiap bahasannya.
Sebagai contoh pada bahasan pertama berjudul "Negara Kita, Negara yang Besar", buku ini menjabarkan saat SBY mengemukakan tiga gelombang peradaban (way of civilization) yang di dalamnya terdapat tiga unsur masyarakat, sepertiagricultural society, industrial society dan information society. (hal. 8). Kutipan-kutipan dari buku-buku asing dan tokoh dunia pun tidak ketinggalan disebut di dalamnya.
Dari situ terlihat jelas, bahwa penulis menjadikan hal tersebut sebagai sebuah rujukan atas segala paparannya. Seperti kutipan akan penjelasan Hernando de Soto, penulis buku the Mystery of Capital tentang cara mengintegrasikan kelompok marginal ke dalam jaringan pasar global, yang lebih akrab dengan para akademisi di lingkup universitas dalam mempelajari dunia ekonomi (Hal. 16).
Absurd
Lebih jauh lagi, dibahas pula tentang Millenium Development Goals (MDGs) atau dikenal dengan tujuan pembangunan milenium negara-negara di dunia dalam berbagai aspek kehidupan, yang seharusnya dibahas dalam tingkatan akademik. Jelas, dengan hal itu, bukan hanya membuat bingung pelajar tingkat SD dan SMP yang menjadi konsumen buku tersebut, tapi juga akan menjadikan segala isi dan maksud yang tertuang di dalamnya menjadi absurd dan tidak jelas.
Uniknya, dalam buku ini ada beberapa rekaman peristiwa dan bahasan yang diambil dari non-mainstream media (bukan media arus utama) dalam penyajiannya. Hal ini menjadi problema karena kebenaran dan validitas sebuah data dan berita dari sumber tersebut belum teruji kebenarannya.
Buku ini menyajikan data dan rekaman peristiwa yang merujuk dan bersumber dari sebuah milis yang merupakan tempat diskusi masyarakat di internet (netizen) dan forum-forum di media online yang disediakan khusus untuk berdiskusi dan tempat perkumpulan sebuah komunitas. Bahkan, ada pula yang diambil sari sebuah blog pribadi.
Terlepas dari kualitas isi buku ini, jika bicara sebuah hak setiap orang dalam menulis dan menerbitkan suatu buku, adalah wajar jika buku ini dicetak dan disebarluaskan selama isinya dapat dipercaya. Di belahan dunia mana pun, seorang presiden ataupun setiap orang berhak menuliskan tentang dirinya ataupun orang lain. Namun, melihat jalur distribusi dan sasaran pembacanya, buku ini adalah hal yang keliru dan salah sasaran.
Dengan segala gaya bahasa seperti penggunaan istilah-istilah asing, skala bahasan, data-data berupa angka-angka yang disajikan, akan lebih tepat sasaran jika ditujukan kepada akademisi dan pelajar yang tingkatannya jauh di atas pelajar tingkat dasar dan menengah. Apalagi, sumber rekaman peristiwa dan bahasan tak sedikit yang diambil dari milis dan forum-forum online, serta dari sebuah blog.
Hal yang dapat dimaklumi pula jika muncul kontradiksi masyarakat dan pendidik yang mempermasalahkan distribusi dan konsumsi buku ini yang ditujukan kepada pelajar tingkat dasar dan menengah, terlebih buku ini diperoleh dari Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk sekolah tahun 2010, walaupun dengan dalih sebagai buku pengayaan.
Anehnya, buku ini lolos seleksi Panitia Penilaian Nonteks Pelajaran (PPBNP) dan telah dinyatakan layak sebagai sebuah buku pengayaan dan panduan pendidik berdasarkan Keputusan Kepala Pusat Perbukuan Kemendiknas RI, serta hanya tersebar dan didapatkan di luar ibukota dan daerah terpencil yang masyarakatnya belum bisa menikmati arus informasi dan akses pendidikan yang layak.
Jadi, sangat cocok dan menarik, jika buku ini diasumsikan "Salah Jurusan" seperti judul lagu dari sebuah band asal kota Bandung.(Nur/KCM/RIMANEWS)
Post a Comment