Kebencian Terhadap Islam Di Eropa Meningkat

Eropa bukanlah seperti propaganda kebebasan yang selama ini digemborgemborkan. Demokrasi yang berlangsung di sana ternyata tidak untuk umat Islam. Kaum Muslimin terus menjadi sasaran kebencian. Perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam kini menjadi pemandangan sehari-hari dan mendapat legitimasi negara.

Survei

Salah satu wujud kebencian itu terekam dalam jajak pendapat yang dirilis pada bulan April 2010 bahwa 54 persen dari masyarakat Austria menganggap bahwa Islam adalah ancaman bagi gaya hidup Barat yang damai, dan melihat 71 persen dari mereka bahwa Islam tidak sesuai dengan konsep Barat tentang demokrasi, kebebasan dan toleransi, sementara 72 persen dari mereka beranggapan bahwa Muslim di Austria tidak mengikuti aturan hidup kolektif.

Di Swiss, 57 persen menolak pembangunan menara masjid, dan di Inggris 53 persen menganggap bahwa Islam adalah bahaya itu sendiri.

Survei lainnya menyebutkan bahwa empat dari 10 orang Perancis dan Jerman melihat Muslim yang tinggal di negara mereka sebagai ancaman. Demikian hasil jajak pendapat yang diterbitkan oleh Surat kabar Prancis, Le Monde. 42 persen orang Perancis dan 40 persen dari Jerman.

Jajak pendapat YouGov pada akhir Mei 2010 mengungkap bahwa satu dari dua orang Inggris mengasosiasikan Islam dengan ekstremisme dan terorisme.

Hanya enam persen yang berpendapat kalau Islam menyerukan keadilan. Sebanyak 67 persen berpendapat bahwa Islam mengekang perempuan, dan 41 persen "tidak setuju" atau "sangat tidak setuju" dengan pemikiran bahwa kaum Muslim punya pengaruh positif pada masyarakat Inggris.

Wacana

Kebencian ini bukan sekadar opini, sebagaimana terungkap dalam jajak pendapat. Namun sudah menjadi sesuatu yang rill terjadi.

Dalam konteks wacana, munculnya kasus film "Fitna" garapan Geert Wilders, pemuatan sejumlah kartun yang melecehkan Nabi Muhammad SAW, ucapan Paus Benediktus XVI yang juga melecehkan Nabi Muhammad SAW.

Kebencian itu pun ditunjukkan dengan diselenggarakannya Konferensi Eropa Anti Islam yang berlangsung di Paris, Sabtu, 18 Desember 2010. Konferensi ini diadakan oleh beberapa kelompok Prancis, termasuk kelompok nasionalis politik Blok Identitaire, yang sering mengeluhkan pengaruh Islam yang tumbuh di atas nilai tradisional Prancis. Kelompok Marxis, feminis sampai sekuler dan aktivis sayap kanan, kelompok Islamophobia mengatakan mereka akan mengkoordinasikan perjuangan mereka melawan islamisasi Eropa.

Perusakan Masjid dan Pembakaran Alquran

Bentuk kebencian lain terjadi ketika sejumlah penyerang tak dikenal melemparkan bom molotov ke dalam Masjid "Citeleyk" yang merupakan masjid tertua di Berlin dan Jerman yang dibangun 'oleh Kekhalifahan Utsmani pada masa pemerintahan Khalifah AI-Aziz II pada, 1760 sehingga mengakibatkan kebakaran kecil dan memecahkan kaca masjid dan kerugian materi ditaksir mencapai 60 ribu euro.

Di Inggris, kelompok Liga Pertahanan Inggris (English Defence League - EDL) sayap kanan, merupakan dalang dari sebuah serangan pada Masjid Bournemouth. EDL adalah sebuah kelompok yang suka perselisihan yang telah memimpin demonstrasi "anti-Muslim ekstrimisme" di sekitar Inggris sejak tahun 2009. EDL sendiri sering berbenturan dengan para aktivis Islam Inggris yang tergabung dalam IsIam4Uk. Ketika kedua kelompok itu melakukan demonstrasi, kelompok EDL selalu memaki-maki para aktivis Islam dengan kata-kata kotor. Para pendukung EDL senantiasa membawa spanduk dengan tulisan-tulisan yang menyudutkan Islam, seperti "Hukum syariah akan menghan¬curkan Inggris dan seluruh nilai-nilai Inggris."

Aksi perusakan lainnya sebagaimana dialami Masjid Kingston. Situs Surreycomet Inggris melaporkan bahwa sekelom¬pok demonstran bertopeng telah melemparkan botol bir dan buang air kecil, serta meletakkan daging babi usai aksi pawai yang bertujuan untuk melawan ekstri-misme Islam.

Kebencian lainnya ditunjukkan dengan adanya pembakaran Alquran serta berteriak-teriak menghina Islam di pusat kota Carlisle.

Diskriminasi hingga Pembunuhan

Dua belas aktivis Olivier Besancenots dari Partai Anti Kapitalis Baru (NPA) mengundurkan diri karena diperlakukan diskriminatif. Di antara mereka adalah Ilham Mou, kandidat anggota parlemen Vrional yang kerap diperlakukan diskriminasi karena mengenakan jilbab dan tuduhan ingin mengislamkan NPA.

Sampai, salah satu contoh puncak kebencian adalah kasus pembunuhan Marwa el-Sherbini di Jerman yang memicu kemarahan di kalangan umat Muslim. Mereka marah mengingat kasus itu merupakan peristiwa yang brutal dan penuh kebencian.

Perempuan yang tengah hamil itu ditusuk berkali-kali hingga tewas di suatu ruang sidang pengadilan di Kota Dresden, yang saat itu terdapat cukup banyak orang. Peristiwa ini terjadi Juli 2010 saat sidang tuntutan penghinaan kepada Marwa dengan sebutan seorang teroris dan pelacur yang mengenakan jilbab.

Pembunuhan itu dilakukan oleh Alex Wiens, yang tampaknya memendam kebencian kepada kaum Muslim terkait dengan penampilan Marwa, yang saat itu mengenakan jilbab dan jubah yang menutupi seluruh auratnya. Lebih parah lagi ketika suami Marwa, Elwy Okaz, mencoba melindungi istrinya, justru kaki¬nya ditembak petugas.

Kebencian pada Level Kebijakan Negara

Kebencian tidak terjadi hanya pada level individu dan masyarakat, namun juga telah merasuk pada level negara. Prancis, misalnya dengan mengatakan bahwa untuk memastikan kesetaraan gender dan martabat perempuan dan menjunjung tinggi tradisi sekulerisme, maka Prancis melarang sepenuhnya penggunaan cadar. Selain itu juga Presiden Perancis memperingatkan bahwa meluapnya jamaah Muslim ke jalan-jalan pada waktu shalat Jumat, akan merusak tradisi sekuler Perancis yang memisahkan negara dan agama bahkan disamakan dengan pendudukan pasukan Nazi pada masa perang dunia.

Hipokrit Sistem Demokrasi

Kebencian Barat terhadap Islam menunjukkan hipokritnya ide demokrasi yang selama ini mereka banggakan. De.mokrasi dengan konsep partisipasi publik seakan menjadi senjata makan tuan. Barat tidak rela bila umat Islam yang hidup di negeri mereka bisa mendapatkan kesetaraan hak dalam partisipasi publik yang secara konseptual dijamin oleh demokrasi.

Seorang menteri pemerintah Inggris Saidah Farisi (Baroness Sayeed Warsi), menyebutkan bahwa prasangka buruk terhadap kaum Muslim telah menyebar luas di Inggris. Islamphobia yang kini melewati ambang batas kewajaran. Media massa telah memicu perasaan intoleransi melalui klasifikasi kaum Muslim menjadi dua kelompok moderat dan ekstrim.

Contoh lain bentuk, inkonsistensi penerapan demokrasi adalah ketika perkembangan umat Islam secara signifikan terjadi di Rusia. Dari segi populasi misalnya, jumlah Muslim di Rusia kini mencapai 25 juta jiwa, yaitu 20 persen dari jumlah total penduduk. Melihat itu para cendikiawan gereja Ortodox yang berada di negeri itu pun dikabar¬kan merasa khawatir dengan perkembangan pesat tersebut. Mereka bahkan menyebut Islam sebagai agama yang mengancam esksistensi agama mereka.

Inilah yang melahirkan kebencian terhadap Islam. Keben¬cian yang telah mendarah daging yang terus menerus diturunkan ke generasi-generasi selanjutnya.

Motif Kebencian

Secara normatif, kebencian Barat (kafir) terhadap Islam dan kaum Muslimin telah dikabarkan dalam Alquran Surat Al Baqarah 120, bahwa "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka."

Perang Salib yang berlangsung berabad-abad tentunya menjadi bukti bahwa sejarah menunjukkan kebencian itu telah sedemikian rupa menghujam pada diri mereka yang menghilangkan rasionalitas kemanusiaannya. Hingga akhirnya mereka dapat menghancurkan
benteng Islam dan umat yakni khilafah Islam pasta runtuhnya Khilafah Utsmani pada 3 Maret 1924.

Kini seakan mereka leluasa melampiaskan kebencian mereka terhadap Islam karena tidak ada lagi yang mereka takutkan yang dapat menghukum segala tindakan kebencian mereka.

Pemeluk Agama Islam Meningkat

Namun bagaimanapun kebencian itu ada, fitrah agama samawi yang melekat pada Islam tidak dapat dibendung di Eropa. Islam merupakan agama yang paling cepat perkembangannya di Eropa dan Amerika. Islam kini makin mendapat tempat di hati masyarakat Eropa dan Amerika.

Sejak menyebarnya Islam ke Eropa pada abad ke-7 Masehi melalui Andalusia (Spanyol) oleh pasukan Thariq bin Ziyad, panglima tentara dari Dinasti Bani Umayyah, benua putih dan biru itu seakan menjadi lahan subur penyebaran dakwah dan syiar Islam.

Hasil studi yang dirilis akhir tahun lalu menemukan bahwa Eropa memiliki sedikitnya 38 juta Muslim yang membentuk lima persen dari total populasi benua tersebut. Sebagian besar terkonsentrasi di Eropa Tengah dan Timur. Rusia memiliki. lebih dari 16 juta Muslim, dan terbesar di Eropa. Menurut studi tersebut, Jerman memiliki pemeluk Mus¬lim sebanyak 4,5 juta, Prancis sebesar 3,5 juta jiwa, Inggris sekitar 2 juta orang, dan Italia sebanyak 1,3 juta jiwa.

Sisanya tersebar di beberapa negara Eropa lainnya seperti Portugal, Swedia, Belanda, Swiss, Belgia, dan lainnya. Namun demikian, jumlah ini diperkirakan bertambah lagi. Sebuah hasil studi di Rusia menyebutkan, jumlah pemeluk Islam di negara Beruang Merah tersebut mencapai 25 juta jiwa dari total populasi yang mencapai 145 juta jiwa.

Peningkatan umat Islam yang demikian pesat itu, bukan saja karena disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk di negara-negara Muslim, tapi juga bertambah jumlah orang-orang yang memeluk Islam (mualaf). Hal ini merupakan suatu fenomena yang menonjol, terutama setelah serangan terhadap World Trade Center (WTC) pads tanggal 11 September 2001. Ketertarikan secara alamiah clan rasa ingin tahu yang mendalam telah mendorong peningkatan jumlah warga dunia yang berpaling kepada Islam.

Utang Sejarah

Dalam tajuk "Utang Barat terhadap Islam" (The West's Debt to Islam) yang tertera pada buku berjudul What Islam Did for Us: Understanding Islam's Contribu¬tion to Western Civilization, Tim Wallace-Murphy membuat perbandingan kehidupan peradaban Islam dan peradaban Barat di masa kejayaan Islam di Andalusia.

Kaum Kristen di Eropa, menurut Wallace-Murphy mengenal pengetahuan bukanlah dari warisan tradisi Yunani tetapi dari buku-buku bahasa Arab yang ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim. Ketika itu, Barat menjadikan kampus-kampus di Spanyol sebagai model. Cikal bakal peradaban Barat di Eropa dengan didirikannya Oxford University tahun 1263 dan tak lama setelah itu berdiri pula Cambridge University, yang kampus ini persis menjiplak persis kampus kampus di Andalus.

Di zaman pertengahan itulah, Andalusia yang dipimpin kaum Muslimin menjadi pusat kebudayan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangat kontras. Bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen. Eropa pada zaman itu, kehidupan adalah brutal dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang mengayomi semua agama di Spanyol-Islam.

Apa yang diungkapkan Wallace-Murphy adalah sedikit bukti nyata bahwa Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Maka patut dipertanyakan, layakkah kebencian Barat terhadap Islam itu muncul?

Oleh: Budi Mulyana