IMPOR PANGAN DI NEGERI AGRARIS



Oleh: Ijul

Bangsa Indonesia boleh bangga mempunyai negeri yang kaya sumber daya alam. Bahkan pada era pemerintahan Soeharto, Indonesia terkenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Namun kebanggaan itu kian surut. Terlebih lagi, negeri agararis kini menjadi salah satu pengimpor... pangan terbesar di dunia.

Departemen Pertanian AS (USDA) memprediksi tahun ini Indonesia akan mengimpor beras sebanyak 1,75 juta ton atau naik 800 ribu ton dari prediksi sebelumnya. Hal ini menunjukkan kondisi perberasan Indonesia di mata dunia cukup mengkhawatirkan.

Padahal dengan mengimpor beras, jumlah devisa negara yang terkuras sangat besar. Jika harga beras di pasar dunia sekitar 520 dolar AS/ton, maka dengan kurs Rp 9.000/dolar AS, diperlu-kan anggaran hingga Rp 4,68 trilyun.

Beberapa komoditas pangan lainnya juga masih harus dipasok dari luar negeri. Misalnya, gula untuk kebutuhan konsumsi langsung, Indonesia mengimpor 450 ribu ton. Bahkan untuk kebutuhan industri makanan dan minuman yang mencapai 2 juta ton gula rafinasi, hampir seluruhnya dikirim dari mancanegara.

Begitu juga untuk menutupi kebutuhan kedelai yang mencapai 2 juta ton, hampir 70 persen dari impor. Padahal kedelai merupakan bahan baku tempe dan tahu, yang menjadi menu keseharian masyarakat Indonesia. Jagung, kacang tanah dan garam, juga masih mengimpor.

Komoditas pangan lainnya yang harus impor yakni daging. Berdasarkan data BPS kecenderungan impor daging terns meningkat. Pada tahun 2008 impor sebanyak 45,6 ribu ton, pada 2009 naik menjadi 67,9 ribu ton dan tahun 2010 mencapai 74,9 ribu ton.

Namun data Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (ASPIDI) jumlah impor daging jauh lebih besar. Pada 2008 sebanyak 92.494 ton, 2009 naik menjadi 111.973 ton dan tahun 2010 mencapai 119.047 ton.

Jika ketergantungan bang¬sa ini terhadap impor makin besar, maka ancaman krisis pa¬ngan sudah di depan mata. Padahal dengan makin menipis¬nya pasokan pangan di dunia, harganya ikut melonjak. Untuk mengimpor pun akan makin sulit. Imbasnya harga pangan di dalam negeri juga ikut terangkat.

Direktur INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), Ahmad Erani Yustika mengatakan, indikator ancaman krisis pangan bukan hanya tergambar dari besarnya ketergantungan suatu negara terhadap pasokan pangan dari luar negeri. Lebih dari itu, krisis pangan akan tampak dari daya beli rakyat yang tergerus akibat lonjakan harga pangan.

Data Bank Dunia, sejak krisis pangan melanda ekonomi dunia pada 2008, setidaknya 105 juta penduduk dunia dipaksa masuk dalam kemiskinan ekstrim. Bahkan sejak Juni 2010, krisis pangan membuat sekitar 44 juta orang miskin makin melarat.

Berdasarkan data BPS penduduk miskin di Indonesia mencapai 17,4 juta kepala keluarga. Dengan asumsi setiap satu keluarga ada empat orang, maka jumlah penduduk miskin mencapai 69,6 juta jiwa. Padahal masyarakat miskinlah yang paling terkena dampak kenaikan harga pangan. Sebab, hampir 70 persen alokasi pendapatan untuk belanja pangan.

Apalagi menurut Erani, kenaikan harga pangan akan mendongkrak laju inflasi yang kemudian makin menggerogoti daya beli masyarakat. Sepanjang 2010, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 6,96 persen. Khusus bahan makanan mengalami kenaikan 15,4 persen dengan sumbangan terhadap inflasi mencapai 3,5 persen.

Kesalahan sistemik

Anomali di sektor pertanian menunjukkan adanya kesalahan sistemik atau kegagalan negara dalam pengelolaan kekayaan alam. "Ada yang salah dengan kebijakan pemerintah, yakni meminggirkan sektor pertanian, sehingga sektor ini menjadi terpuruk,” tambah Peneliti INDEF lainnya, Eni Sri Hartati.

Indikasi peminggiran sektor pertanian yakni rendahnya anggaran pertanian. Pemerintah hanya menyediakan Rp 10 trilyun atau 0,9 persen dari total APBN 2010. Indikasi lainnya adalah dukungan pembiayaan di sektor pertanian juga sangat kecil masih di bawah 6 persen.

Penyusutan lahan pertanian juga sangat cepat. Dalam tiga tahun terakhir, sekitar 600 ribu ha lahan pertanian beralih fungsi menjadi jalan tol, rumah dan kegiatan non pertanian lainnya. Sementara kemampuan pemerintah mencetak sawah baru tidak lebih dari 50 ribu ha.

Eni juga menyesalkan resep yang diberikan pemerintah untuk mengatasi krisis pangan juga salah. Untuk mengantisipasi krisis pangan, pemerintah justru membuka lebar impor pangan dengan membebaskan bea masuk. "Kebijakan impor pangan Indonesia sudah terlalu liberal” ujar Eni dalam jumpa pers, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Itulah nasib negeri agraris yang terseok-seok memenuhi kebutuhan pangan.