LONDON – Kementerian Pertahanan Inggris telah mengumpulkan salinan sebuah buku tentang memo-memo peranan memalukan Inggris di Afghanistan dengan alasan atas kekhawatiran "keamanan nasional".
Departemen Pertahanan telah membeli keseluruhan cetakan yang sudah berjalan dari buku Dead Men Risen dengan sebuah biaya lebih dari £ 150.000 hanya untuk mempublikasikannya kembali dengan bagian-bagian yang memalukan di dalamnya telah dihilangkan.
Pembunuhan warga sipil oleh para pasukan Inggris berada di antara bagian yang paling mengejutkan dari buku Toby Harnden yang bertajuk, "Dead Men Risen: The Welsh Guards and the Real Story of Britain's War in Afghanistan."
Buku tersebut mengandung, di antaranya, kasus tentara-tentara Inggris yang membunuh seorang petani dengan sebuah misil Javelin, pembunuhan tujuh warga sipil, enam di antaranya adalah anak-anak, dengan sebuah bom dengan berat 500 pon bom dan kematian delapan warga sipil termasuk lima anak-anak di serangan udara lainnya yang dilakukan oleh Pasukan Inggris.
Buku tersebut juga merujuk pada kekerasan seorang tentara Inggris yang membimbing pasukan Afghanistan yang menggantung tiga tersangka anggota Taliban untuk memaksa yang lainnya agar bicara.
Buku tersebut mengutip para pasukan Afghanistan ketika mengatakan bahwa para tentara Inggris kemudian menembak tiga tersangka tahanan Taliban lainnya di kedua tempurung lutut mereka dan memerintahkan mereka untuk merangkak kembali ke desa-desa mereka untuk menteror para penduduk desa.
Pengungkapan di dalam buku tersebut datang ketika insiden penembakan tersebut nampaknya telah diperiksa oleh kepolisian militer, namun mereka hanya telah membiarkan para tentara tersebut melarikan diri begitu saja sehubungan dengan dugaan kurangnya bukti.
Seorang juru bicara kementerian Pertahanan mengatakan "Kementerian Pertahanan telah membeli keseluruhan cetakan pertama buku tersebut yang tersebar (diduga sejumlah 24.000 kopi).
Tindakan ini diambil karena pada sebuah tahapan terlambat, buku tersebut ditemukan mengandung informasi yang dapat merusak keamanan nasional dan membahayakan nyawa-nyawa anggota pasukan bersenjata."
Untuk sesaat, mengesampingkan fakta bahwa "tahapan terlambat" adalah ketika buku tersebut dicetak, ketika telah disetujui oleh Kementerian Pertahanan mengikuti sebuah peninjauan ulang selama empat bulan, dan membangun ulang pernyataan tersebut.
Dalam artikelnya yang dimuat dalam The Daily Telegraph, Harnden berpendapat bahwa "sudah menjadi gaya Kementerian Pertahanan untuk menutupi kebodohannya sendiri dan kebohongannya dengan bersembunyi di balik 'keamanan nasional' dan sebuah bahaya untuk 'nyawa para anggota Pasukan Bersenjata'. Jadi, tidak ada yang bisa dilihat, hanya melindungi negara kita dan para personil angkatan bersenjata."
Atas penghilangan bagian-bagian memalukan dari aib angkatan bersenjata dalam bukunya, Harnden memiliki pendapatnya sendiri tentang kebenaran di balik tindakan Kementerian Pertahanan tersebut. Harnden berpendapat bahwa Kementerian Pertahanan sebenarnya termotivasi oleh politik dan oleh keadaan memalukan yang didapat dari fakta di dalam buku tersebut.
Politik dalam hal itu adalah Kementerian Pertahanan ingin menghindari sebuah pencabutan sekutu NATO tertentu dari Helmand.
Keadaan memalukan bahwa buku tersebut mengungkap apa yang terjadi pada para tentara ketika di sana tidak ada cukup banyak helikopter untuk menghindari jalan-jalan yang ditanami dengan bahan peledak (Improvised Explosive Device – IED).
Keadaan memalukan bahwa hasil-hasil dari sistem akuisisi Kementerian Pertahanan gagal menyediakan perlatan kontra-IED yang tepat (yang mana negara lain mampu beli) ditunjukkan.
Keadaan memalukan bahwa buku tersebut merincikan bagaimana Letnan Kolonel Rupert Thorneloe, salah satu dari tentara Angkatan Darat terbaik di dalam generasinya, kekurangan peralatan dan tenaga manusia untuk melakukan pekerjaan Garda Welsh, telah diberitahu untuk melakukan dan mempercayai bahwa strategi Inggris cacat dan Operasi Cakar Macan Kumbang adalah salah paham belaka. (ppt/ptv/tlg) www.suaramedia.com
Post a Comment