Marhalah Dakwah, Antara Dakwah dan Jihad

Ada sebagian orang atau kalangan yang salah dalam memahami fase dakwah atau tahapan dakwah ketika mendengar marhalah (tahapan) dakwah fase Makkah. Kesalahfahaman ini menyebabkan membuat kesimpulan-kesimpulan yang cukup fatal dan bisa menyesatkan pemikiran seseorang yang salah dalam melihat fakta tentang tahapan dakwah yang disebut marhalah dakwah fase atau periode Makkah. Apalagi sampai menuduh bahwa gerakan dakwah yang “mengikuti” fase dakwah Makkah sama saja dengan menghilangkan sebagain hokum-hukum Islam seperti arah kiblat Sholat, menghalalkan khamar dan bahkan menyimpulkan bahwa gerakan tersebut telah mencampakan jihad. Padahal kita semua tahu bahwa jihad adalah sebuah aktivitas yang mulia dan merupakan sebuah kewajiban, baik bersifat fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah.
Ketika kita berbicara tentang sebuah gerakan Islam (harokah Islam) dan marhalah dakwahnya, maka harus melihat realitas dakwah dan mengkaji tentang tahapan dakwah itu sendiri.
Kita semua menyadari bahwa sebaik-baiknya uswah atau panutan adalah Rasulullah saw itu sendiri, tidak ada panutan lain yang paling baik selain daripada beliau.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab : 21).
Maka, sudah selayaknyalah kita yang mengaku muslim dan mengikuti apa yang telah beliau tinggalkan untuk kita. Dalam hal ini, pun sama dengan metode dakwah yang beliau telah lakukan sejak lebih dari 13 abad yang silam di Makkah maupun di Madinah. Maka siapa saja yang mau dengan sungguh-sungguh dan jujur dalam mengkaji perjalanan dakwah Rasulullah sejak di Makkah hingga ke Madinah di kitab-kitab sirah nabawiyah yang muktabar maka akan kita dapati gambaran yang jelas tentang aktivitas dakwah berupa pelaku dakwahnya, target dakwah dan pelaksanaan jihad atau qital itu sendiri pada masa beliau.
Dalam sirah nabawiyah, kita bisa melihat peristiwa baiat aqobah ke II. Dimana pada baiat itu para sahabat yang kebanyakan terdiri dari penduduk dari Madinah menawarkan perang (qital) kepada kaum kafir quraysi. Namun, apa jawaban beliau? “Lam nu’mar bidzalika” (“kita belum diperintah untuk itu”) Rasulullah tidak mengatakan “Kita belum siap”!. Artinya, belum ada perintah dari Allah swt kepada Rasulullah dan pengkutnya untuk melakukan aktivitas jihad atau perang itu sendiri. Padahal secara kekuatan, kaum muslimin sudah siap, ini ditopang oleh semangat perang dan kemampuan perang khususnya sahabat dari pihak Madinah yang memang telah bertahun-tahun hidup dalam peperangan.
Dalam sirah juga diceritakan bagaimana sikap para sahabat yang dilempari oleh kaum kafir quraysi ketika mereka mengintari ka’bah. Rasulullah saw. bersama para sahabat bersama-sama menuju ke Ka’bah dengan formasi yang belum pernah dikenal oleh orang Arab sebelumnya. Mereka berbaris dalam dua barisan yang dikepalai oleh Umar bin Khaththab dan Hamzah bin Abdul Muthalib. Mereka ber-thawaf mengelilingi Ka’bah (lihat An Nabhani, Ad Daulah al Islamiyyah hlm 15) Setelah itu Abu Bakar As Shiddiq berpidato. Saat itu pulalah orang-orang kafir Quraisy bereaksi keras dan melakukan tindakan kekerasan terhadap dakwah yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat dengan cara damai. Abu Bakar sebagai juru bicara yang berpidato saat itu langsung dipukuli sempai babak belur…Abu Bakar r.a kemudian diungsikan oleh keluarganya.Setelah kembali keluarga Abu Bakar mengatakan kalaulah Abu Bakar mendapat kecelakaan (meninggal) mereka akan membunuh ‘Utbah bin Robi’ah yang telah menyakiti Abu Bakar r.a. (lihat Ibnu Katsir al Bidayah wan Nihayah, juz 2 hal 369 ).
Ini terjadi dan berlangsung selama periode dakwah di Makkah. Padahal siksaan yang dilakukan oleh pihak kafir quraysi sangatlah massif. Namun, tak pernah satu perintahpun keluar dari mulut Rasulullah untuk memerangi kaum kafir quraysi.
Namun, dilain hal, kita bisa melihat aktivitas diamnya Rasulullah atas tindakan sahabat beliau yakni Sa’ad bin Abi Waqqash yang memukulkan tulang unta kepada salah satu orang dari kafir quraysi karena mengganggu sholat mereka. Hal ini dilaporkan kepada beliau, dan Rasullah mendiamkan tindakan sahabt tersebut yang menandakan kebolehan aktivitas tersebut.
Pada fase dakwah ini Beliau saw. melakukan pergulatan pemikiran (shiraul fikri) dan perlawanan politik (kifah siyasi) tanpa menggunakan kekuatan fisik, tanpa mengangkat senjata, meskipun setiap lelaki Arab pada waktu itu sudah terbiasa menunggang kuda dan memainkan senjata.
Dari sini dapat kita simpulkan dua hal. Pertama, Rasulullah tidak pernah menyuruh para sahabatnya (atas nama hizb rasul) untuk melakukan aktivitas fisik, melainkan hanya melakukan aktivitas non fisik yakni dakwah fikiriyah. Kedua, beliau membolehkan aktivitas dakwah fisik yang dilakukan oleh individu/perorangan, bukan atas nama kelompok (hizb). Oleh karena itu, harus difahami bahwa dakwah individu itu bisa bersifat fisik maupun non fisik, sedangkan dakwah secara berjama’ah aktivitasnya hanya dibatasi oleh aktivitas non fisik atau hanya melakukan dakwah fikriyyah.

Dakwah Fase Makkah = Menghilangkan Hukum Islam yang sudah diturunkan?
Sangat naïf sekali ketika menyimpulkan dengan secara serampangan bahwa ketika sebuah gerakan dakwah yang memahami bahwa realitas dakwah harus mengikuti fase dakwah rasulullah sekah fase Makkah hingga fase Madinah dengan mengatakan secara otomatis bila hari ini masih dalam fase mekkah secara tidak langsung mereka telah menghapus syariat yang di turunkan di fase madinah.
Perlu dilingat dan di garisbawahi, bahwa yang sedang kita kaji dan persoalkan adalah tahapan dakwah untuk meraih sebuah kebangkitan umat dengan merujuk pada fase dakwah yang telah rasulullah tinggalkan, bukan mengkaji perkara hokum Islam yang telah diturunkan secara kaffah tersebut. Menggambungkan dua hal ini adalah suatu kesalahan yang fatal sehingga berbuah kesimpulan yang menyesatkan tadi.
Yang perlu digarisbawahi bahwa ketika kita berbicara soal kehidupan fase dakwah Makkah, bukan berarti kita kembali seperti kehidupan di Zaman Makkah yang berarti menimggalkan semua hokum-hukum syariah Islam yang telah diturunkan secara kaffah, baik menyangkut hokum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya, dengan dirinya sendiri dan dengan sesamanya.
Ditindas Penguasa, Melawan?
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa aktivitas dakwah individu berbeda dengan aktivitas dakwah secara berjama’ah. Realitasnya adalah berbeda, sehingga hokum yang digunakan untuk menghukumi realitas itupun tidaklah sama.
Secara individu, dibolehkan seseorang untuk melakukan perlawanan terhadap segala macam bentuk tindakan yang itu bisa berakibat fatal semisal cacat atau kematian bagi dirinya ketika ditindas oleh siapapun, tanpa memandang lagi dia penguasa ataupun bukan. Ini sebagaimana diamnya Rasulullah atas perbuatan dari Sa’ad bin Abi Waqqash yang membunuh salah seorang kafir quraysi yang mengganggu mereka.
Sangat aneh sekali jika ada seseorang hanya berdiam diri tatkala dirinya terancam, baik harta dan nyawanya. Padahal mati dalam keadaan membela harta, keluarga, dan nyawanya sendiri adalah sebuah kesyahidan.
“Barangsiapa yang terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka dia
mati syahid”. [al hadist]
Dakwah Fase Makkah, Menafikan Jihad?
Mungkin kesimpulan ini pula muncul karena salah dalam memahami tengang jihad itu sendiri. Mereka menganggap, sebuah jama’ah dakwah yang mengikuti tahapan dakwah rasulullah salah satunya dengan marhalah dakwah fase makkah meniadakan jihad sebelum tegaknya daulah sebagaimana daulah Islam kali pertama di Madinah. Ini adalah pendapat atau kesimpulan yang bathil. Jihad pada kondisi tertentu tidaklah harus menunggu tegaknya daulah Islam.
Syaikh Taqiyudin an-Nabhani membagi jihad dalam dua aktivitas, yakni Jihad ofensif dan defensif.
Jihad ofensif adalah jihad yang diemban oleh Daulah Islamiyah dalam rangka menyebarkan risalah Islam ke suatu negara, dan dilakukan sebagai jalan terakhir setelah upaya persuasif (dakwah) mengalami hambatan atau halangan yang bersifat fisik. Artinya, ketika proses penyebaran risalah Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh negara Khilafah kepada bangsa-bangsa lain, mendapat reaksi penolakan, tidak mau tunduk bahkan melawan dengan kekuatan (militer), maka saat itulah dilancarkan jihad ofensif. Tetapi, jika mereka membuka diri terhadap dakwah, tidak menentang ketika dijelaskan kepada mereka tentang kebenaran ajaran Islam serta kesalahan keyakinan yang mereka peluk dengan seperangkat argumentasi yang menggugah akal, menyentuh perasaan dan menentramkan jiwa, mereka tidak akan diperangi. Terlebih lagi bila mereka mengubah dan meninggalkan aqidah mereka dengan memeluk aqidah Islam, mereka akan menjadi bagian dari umat Islam.
Adapun jihad defensif adalah berperang untuk membela dan mempertahankan diri dari serangan atau ancaman musuh kafir. Dengan kata lain, jihad yang dikobarkan ketika kaum muslimin diserang oleh musuh-musuh islam, merampas harta dan mengusir mereka dari kampung halamannya. Dalam keadaan seperti ini, wajib atas setiap muslim yang diserang untuk mengangkat senjata demi membela kehormatan diri, mempertahankan harta, dan jiwa. Jihad seperti ini wajib dilaksanakan sebagaimana seruan Al-Qur’an.
Salah satunya sebagaimana yang dilakukan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Atau dengan mengambil contoh yakni wajibnya semua komponen individu untuk berjihad di wilayah perang seperti di Palestina, Irak, Afghanistan dan belahan negeri-negeri muslim lainnya. Wallahu A’lam bis-showab.
Adi Victoria
Al_ikhwan1924@yahoo.com