Dengan Kepergian Ben Ali, apa yang terjadi kemudian dengan Tunisia?
Mantan Presiden Tunisia, Zine al-Abidine Ben Ali, telah tiba di Saudi Arabia setelah dipaksa mundur karena gelombang unjuk rasa anti pemerintah.Kantor berita Reuters melaporkan bahwa Ben Ali dan keluarganya sudah tiba di kota pelabuhan Jeddah.
Kantor berita resmi Saudi Arabia (SPA) melaporkan bahwa pemerintah Kerajaan Saudi Arabia menyambut kedatangan Ben Ali dan keluarganya dan menyatakan dukungan mereka terhadap rakyat Tunisia.Gelombang unjuk rasa anti pemerintah dan kekerasan polisi menyapu Tunisia minggu ini dan mengakibatkan Ben Ali mengundurkan diri dari jabatannya
Demonstrasi yang dimulai pada pertengahan Desember 2010 ini mempermasalahkan korupsi, inflasi dan pengangguran. Kekerasan terjadi setelah bunuh diri yang dilakukan oleh seorang lulusan universitas yang membakar dirinya karena polisi menyita sayur-mayur yang menurut pihak berwajib dijualnya tanpa izin. Ratusan orang diduga tewas oleh pasukan keamanan.
Sebelum meninggalkan Tunis, Ben Ali memberhentikan pemerintah dan menyatakan keadaan darurat. Pertemuan umum dilarang dan pasukan keamanan diizinkan menembak perusuh. Militer telah menutup bandar udara dan menutup wilayah angkasa Tunisia tidak lama sebelumnya.
Pemerintahan Ben Ali, yang awalnya bereaksi dengan menentang demonstrasi semacam itu, terkejut melihat tingginya penentangn publik terhadapnya. Ben Ali, selama ini merupakan seorang diktator tulen, tidak mengizinkan adanya oposisi di dalam negeri.
Dunia internasional pun terkaget-kaget dengan perkembangan di Tunia, termasuk Amerika Serikat dan Perancis yang selama ini mendukung Ben Ali. Termasuk mendukung tindakan represifnya, pelarangn jilbab, dan serangan terhadap Islam.
Media-media Barat, yang biasanya melaporkan pemberontakan-pemberontakan populer – seperti yang terjadi di Iran dan Burma – dengan gegap gempita, anehnya pada saat ini menjadi kurang bergairah. Mereka tampaknya tidak yakin apakah pemberontakan ini baik atau buruk. Mereka masih ragu yang terjadi jika sekutu Barat yang sekular itu jatuh!
Jatuhnya Ben Ali menjadi bahan pembicaraan di dunia Arab yang sebagin besar pemerintahnya represif. Sebagaimana yang ditulis oleh seorang komentator di Surat Kabar the Washington Post, yakni ancaman terbesar Amerika di Timur Tengah bukanlah peperangan, melainkan adalah revolusi. Kemarahan publik atas korupsi, pengangguran dan kediktatoran terjadi di Mesir, Aljazair, dan banyak negara di wilayah itu.
Salah seorang duta besar dalam Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika, yang tidak bersedia disebut namanya, mengatakan banyak anggota Dewan berharap semua negara Afrika dapat menjadikan peristiwa di Tunisia sebagai pelajaran, karena apa yang terjadi di Tunisia mungkin akan dialami para diktator di negara-negara lain.
Dalam pernyataannya Dewan itu mendesak para pemimpin sementara Tunisia agar segera menyelenggarakan pemilu untuk memilih pengganti Presiden Ben Ali. Kekuasaan pemimpin otoriter itu mendadak berakhir hari Jumat ketika ia melarikan diri ke Arab Saudi karena menghadapi demonstrasi sebulan penuh terkait masalah pengangguran dan naiknya harga-harga pangan.
Ben Ali berkuasa selama 23 tahun sejak tahun 1987. Sebelum Ben Ali, presiden Habib Bourgiba, presiden yang juga tidak populer yang telah memerintah selama lebih dari 30 tahun dipaksa untuk meninggalkan jabatannya. Dia digantikan oleh salah satu lingkaran orang dalam – Zine al-Abidine Ben Ali. Demikian pula hari ini, Perdana Menteri Ghannouchi, berasal dari lingkaran orang dalam Ben Ali, yang menggantikan Ben Ali.Rakyat Tunia tidak puas dengan penunjukan orang dekat Ben Ali.
Tumbangnya diktator Tunisia menunjukkan, rezim refresif yang menindas rakyat tidak akan bertahan. Namun dunia Muslim membutuhkan perubahan dari demokrasi kediktatoran yang saat ini berjalan, dan sistem lainnya kepada sistem Khilafah Islam. Alternatif yang nyata atas status quo, di seluruh dunia Islam adalah sistem Khilafah Islam – yang akan memenuhi kebutuhan rakyat, bertanggung jawab, tidak bergantung pada Barat. Khilafah Islam juga akan memulihkan stabilitas dan kemakmuran di wilayah tersebut. (Farid Wadjdi , dari berbagai sumber)
Box : Seruan Khilafah di Krisis Tunisia
Seruan khilafah menggema saat krisis Tunia. Meskipun nyaris tidak diekspos oleh media asing, sebuah video menunjukkan diantara para demonstran saat krisis Tunia terdapat sekelompok umat Islam yang menyerukan Khilafah (www.hizb.org.uk). Sebelum pawai dimulai , pembicara utama mengingatkan bahwa Rasulullah saw memerintahkan Muslim untuk tidak merusak pohon bahkan dalam kondisi perang, Islam juga melarang merusakan barang-barang milik orang lain. Terdapat seruan yang tegas menyerukan perjuangan non kekerasan yang berdasarkan Islam.
Beberapa slogan disuarakan dengan tegas oleh para demonstran “Tidak ada jalan lain, tidak ada jalan lain! Khilafah adalah satu-satunya solusi “, “Dengan jiwa kita, dengan darah kita, kita siap berkorban untuk Islam “. Hal ini menunjukkan para demontrasn siap menghadapi petugas keamanan dengan keyakinan mereka.
Saat Berdiri di depan tentara Tunia mereka pun berpidato : “Wahai tentara muslim, dimana anda di Palestina ? Dimana anda di Irak ? Lepaskanlah rantai penguasa yang membelengu leher anda ! Hai pasukan Muslim, kami siap bersama Anda, dengan darah , jiwa , dan anak-anak kami! Hapuskan yang rezim yang menindas dan dukunglah pemimpin yang satu untuk semua kaum muslimin
Khilafah bukanlah hal asing bagi masyarakat Tunisia yang mayoritas Islam. Kejayaan wilayah Tunia justru terjadi di masa Khilafah. Tentara Muslim di bawah komando Uqba bin Nafi untuk pertama kalinya melakukan ekspedisi futuhat ke wilayah Maghrib pada 670 M. Lima tahun kemudian, pasukan tentara Islam membangun basis pertahanan dan sebuah masjid pertama di kota Kairouan. Pasukan tentara Muslim yang dipimpin Hasan bin Al-Nu’man mampu menguasai kota Tunis dan seluruh wilayah Maghrib pada 705 M.
Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Di awal abad ke-13 M, Tunis sebuah kota yang berada di wilayah Maghrib mencapai puncak kejayaannya. Ibu kota kekhalifahan Muslim di bagian Utara ‘benua hitam’ itu, sempat menjelma sebagai metropolis kaya raya. Kemajuan yang dicapai Tunis dalam bidang ekonomi, kebudayaan, intelektual, serta sosial tak ada yang mampu menandinginya pada era itu.
Tunis merupakan salah satu kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di Afrika. Betapa tidak. Dari kota inilah ajaran Islam bisa menyebar hingga ke Siciliasebuah provinsi otonom di Italia. Pamornya semakin berkilau seiring berdirinya madrasah Al-Zaituna di kota ituperguruan tinggi pertama di Afrika Utara. Tunis telah melahirkan seorang ilmuwan Muslim terkemuka sepanjang masa, Ibnu Khaldun.
Pada era kejayaan Almohad, ilmu pengetahuan berkembang pesat di wilayah Maghrib. Salah seorang sarjana terkemuka pada era itu, Abu Yusuf Yakub, membangun sejumlah perpustakaan di Tunis dan wilayah Maghrib lainnya. Dinasti ini juga mendukung aktivitas para sarjana Muslim, seperti Ibnu Tufail dan Ibnu Rushd untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah satu arsitektur peninggalan dinasti ini adalah bangunan Giralda of Seville.
Tunis pun menjadi kota yang berpengaruh. Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki, Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan kemegahan dan keindahan kota itu. Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar 5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu dihiasi dengan kebun dan taman nan indah. (FW dari berbagai sumber)
Post a Comment