JAKARTA (voa-islam.com) – Dalam refleksi akhir tahun 2010, sepanjang tahun 2010, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto, punya catatan tersendiri, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial-budaya yang terjadi di negeri ini.
Di bidang ekonomi, HTI mencatat, korupsi di negeri ini menunjukkan tendensi makin sistemik. Artinya, korupsi bukan lagi dilakukan oleh satu-dua orang, tapi oleh banyak orang secara bersama. Kasus Gayus membuktikan itu.
Korupsi jenis ini tentu jauh lebih berbahaya dan lebih banyak merugikan keuangan negara. Tapi yang jauh lebih berbahaya adalah ketika korupsi dilakukan oleh negera itu sendiri melalui utak-utaik kebijakan dan peraturan–peraturan. Inilah yang disebut state corruption (korupsi negara).
Ismail Yusanto memberi contoh, skandal Bank Century dan IPO Krakatau Steel di antaranya. Seperti diketahui, kasus korupsi itu diduga telah merugikan negara hingga triliunan rupiah. Segala usaha pemberantasan korupsi, menjadi tak banyak artinya karena yang dihadapi adalah para pejabat negara itu sendiri.
....korupsi di negeri ini makin sistemik, bukan lagi dilakukan oleh satu-dua orang, tapi oleh banyak orang secara bersama. Kasus Gayus membuktikan itu....
Lebih jauh, Ismail Yusanto mengungkapkan, state corruption juga diindikasikan oleh makin banyaknya kebijakan-kebijakan ekonomi liberal. Di antaranya adalah kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL), privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pembatasan subsidi BBM.
Kenaikan TDL lalu bisa dihindari andai saja PLN mendapat pasokan gas. Tapi anehnya, produksi gas yang ada, seperti Gas Donggi Senoro, 70% nya malah akan dijual ke luar negeri. Demikian juga privatisasi sejumlah BUMN. Bila alasannya adalah untuk menambah modal, mengapa tidak diambil dari APBN atau penyisihan keuntungan?
“Bila untuk bank kecil seperti Bank Century yang notabene milik swasta, pemerintah dengan sigap menggelontorkan uang lebih dari Rp. 7 triliun, lalu mengapa untuk perusahaan milik negara sendiri, tidak melakukan langkah yang sama. Sementara rencana pembatasan BBM tidak lebih merupakan usaha pemerintah untuk menuntaskan liberalisasi sector migas seperti yang digariskan oleh IMF.
Kebijakan itu tentu akan membuat perusahaan asing leluasa bermain di sektor hulu dan hilir (penjualan). SPBU-SPBU Asing akan mengeruk keuntungan besar. Ini tentu sebuah ironi besar, bagaimana mungkin rakyat membeli barang milik mereka di halaman rumahnya sendiri kepada orang asing dengan harga uang ditentukan oleh mereka? Kebijakan ekonomi yang makin liberal itu tentu akan semakin memberatkan kehidupan ekonomi rakyat. Akibatnya, sebagian diantara mereka pun mencari kerja ke luar negeri. Tapi apa lacur, bukan uang yang didapat, tapi penderitaan dan penyiksaan seperti yang menimpa Sumiati dan sejumlah TKW lain.
Intervensi Asing
Menyangkut intervensi asing, Juru Bicara HTI itu menegaskan, liberalisme juga terjadi di dunia politik. DPR yang diidealkan menjadi wakil rakyat, realitasnya justru menjadi alat legitimasi intervensi asing sekaligus memuluskan arus liberalisme di negeri ini.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, seperti UU Kelistrikan lahir dari institusi legislatif ini. Menjadi kian parah, ketika anggota DPR gemar menghamburkan uang dengan berbagai dalih, seperti dana aspirasi, studi banding dan sebagainya. Padahal, kinerjanya jauh dari memuaskan. Ini kian mengundang pertanyaan, sebenarnya untuk siapakan lembaga parlemen itu bekerja? Sementara itu, intervensi asing, khususnya Amerika Serikat, tampaknya bakal kian kokoh setelah naskah Kemitraan Komprehensif ditandatangani.
Kunjungan Presiden AS Barrack Obama bulan lalu, makin memperkuat cengkraman kuku negara imperialis itu di negeri ini. Terungkapnya sejumlah dokumen diplomatik penting melalui situs Wikileaks mengkonfirmasikan tentang adanya intervensi AS terhadap Indonesia.
....Kunjungan Presiden AS Barrack Obama bulan lalu, makin memperkuat cengkraman kuku negara imperialis itu di negeri ini....
Menurut Ismail Yusanto, ada dua faktor utama yang munculnya berbagai persoalan yang terjadi sepanjang tahun 2010, yakni sistem dan manusianya. Korupsi, kemiskinan dan problema sosial, kehadiran intervensi asing, ketidakadilan dan berbagai bentuk kedzaliman, semua akibat pemimpin yang tidak amanah dan menjalankan sistem yang korup, yakni sistem kapitalisme dan sekularusme.
”Untuk menyelamatkan Indonesia, sekalgus memulihkan amburadulnya problematika ekonomi di negeri ini, syaratnya hanya satu: tegakkan syariat Islam. Dengan syariah kita akan songsong negeri ini menjadi lebih baik,” pesannya. [Desastian]
Post a Comment