Perayaan Natal dan Tahun Baru Adalah Syi'ar Agama Kafir

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang Mahaesa. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi terakhir, Muhammad bin Abdillah, keluarga dan sahabatnya.
Sesunguhnya setiap umat memiliki hari besarnya masing-masing untuk mengenang dan menghidupkan moment tertentu atau untuk mengungkapkan kebahagiaan, kesenangan, dan syukur yang sifatnya berulang setiap tahun.
Allah mengetahui kecenderungan yang ada dalam diri manusia ini. karenanya Dia memberi petunjuk untuk mengapresiasikannya dengan cara yang mulia. Yaitu dengan mengingatkan hikmah penciptaan, tugas manusia, dan ibadah kepada Allah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tiba di Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya yang mereka bermain-main (bersenang-senang) di dalamnya. Lalu beliau bertanya, ‘Dua hari apa ini?’ Mereka menjawab, ‘Dua hari yang kami bermain-main di dalamnya pada masa Jahiliyah.’ Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dua hari tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri’." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkata kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, "Hai Abu Bakar, setiap kaum memiliki hari raya, dan inilah hari raya kita." (HR. Bukhari).
Dua hadits ini menjadi dalil bahwa hari raya umat Islam hanya dua tersebut. Berbeda dengan hari raya selainnya, baik yang bersifat keagamaan, kenegaraan, atau dunia.
Banyak sekali nas syar'i yang menerangkan karakteristik umat ini yang berbeda dengan umat, agama, dan kelompok lainnya, agar menjadi umat terbaik. Umat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, sebagai rasul terakhir dengan kitab suci Al-Qur'an.
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).
Umat ini adalah umat terbaik. Dalam hadits Mu'awiyah bin Haidah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Kalian adalah penyempurna tujuh puluh umat. Kalian yang terbaik dan paling mulia di mata Allah 'Azza wa jalla." (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).
Beliau bersabda lagi, "Penghuni surga ada 120 baris. Sedangkan umat ini sebanyak 80 barisnya." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Namun kenyataannya, pada zaman ini banyak umat Islam yang tidak memahami posisi dan kedudukan mereka. Malahan mereka tertarik dengan perayaan hari Natal dan tahun baru yang menjadi syi’ar agama Kristen. Hal ini disebabkan tidak adanya pemahaman yang benar dan lemahnya ikatan aqidah mereka. Sehingga mereka terkadang ikut-ikutan dengan budaya dan tradisi orang kafir, antara lain:
  1. Saling mengucapkan selamat hari raya, saling kirim kartu lebaran baik melalui pos atau internet.
  2. Ikut serta memeriahkan hari Raya Natal di gereja, hotel, gedung serba guna, atau melalui media elektronik.
  3. Membeli pohon Natal dan memasang patung Sinterklas (Santa Claus) yang katanya mencintai anak-anak dengan membagi-bagikan hadiah sejak malam Natal hingga malam tahun baru.
  4. Bermaksiat, melakukan kejahatan, dan mabuk-mabukan pada malam tahun baru serta bentuk-bentuk lainnya.
Pada zaman ini banyak umat Islam yang tidak memahami posisi dan kedudukan mereka. Malahan mereka tertarik dengan perayaan hari Natal dan tahun baru yang menjadi syi’ar agama Kristen.
Hari raya Natal dan tahun baru tidak boleh dijadikan sebagai hari yang dirayakan oleh umat Islam dengan dua alasan: Pertama, mengandung nilai keagamaan yang kufur. Yaitu menyandangkan sifat tuhan kepada Al-Masih Isa bin Maryam, reinkarnasi, memberhalakan Isa, menganggapnya sebagai anak Allah, disalib, dan keyakinan batil lainnya.
Kedua, mengandung nilai kefasikan, berbuat seenaknya, berakhlak seperti binatang yang tak pantas ditiru manusia, terlebih oleh orang beriman.
Natal mengandung nilai keagamaan yang kufur. Yaitu menyandangkan sifat tuhan kepada Al-Masih Isa bin Maryam, reinkarnasi, memberhalakan Isa, menganggapnya sebagai anak Allah, disalib, dan keyakinan batil lainnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sangat tegas melarang ritual seperti ini. Dalam hadits shahih disebutkan, ada seseorang bernazar di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk menyembelih unta di Bawwanah –yaitu nama suatu tempat-, ia lalu mendatangi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata: “Aku bernazar untuk menyembelih unta di Bawwanah.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Apakah di sana ada berhala jahiliyah yang disembah?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bertanya lagi: “Apakah di sana dilakukan perayaan hari raya mereka?” Mereka berkata: “Tidak.” Beliau bersabda: “Tunaikanlah nazarmu, sesungguhnya tidak boleh menunaikan nazar yang berupa maksiat kepada Allah dan yang tidak mampu dilakukan oleh anak Adam.” (HR. Abu Dawud dan sanadnya sesuai syarat as-Shahihain).
Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash radhiyallahu 'anhuma, berkata:
Ù…َÙ†ْ بَÙ†َÙ‰ بِبِلاَدِ الأَعَاجِÙ…ِ ÙˆَصَÙ†َعَ Ù†َÙŠْرُوزَÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَÙ…ِÙ‡ْرَجَانَÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَتَØ´َبَّÙ‡َ بِÙ‡ِÙ…ْ Ø­َتَّÙ‰ ÙŠَÙ…ُوتَ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙƒَØ°َÙ„ِÙƒَ Ø­ُØ´ِرَ Ù…َعَÙ‡ُÙ…ْ ÙŠَÙˆْÙ…َ الْÙ‚ِÙŠَامَØ©ِ
”Barangsiapa yang tinggal di negeri orang-orang kafir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunannya: IX/234).
[PurWD/voa-islam.com]