Demikian disampaikan Wakil Presiden Boediono dalam pidato membuka Global Peace Leadership Conference di Hotel Gran Melia, Jl Rasuna Said, Jakarta, Sabtu (16/10/2010). Acara dihadiri 300 peserta dari dalam dan luar negeri. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Said Agiel Siradj juga hadir.
"Sekali kita membiarkan radikalisme mengambil alih alur pemikiran kita, maka ia akan mengarahkan kita pada kehancuran," kata Boediono.
Boediono mengatakan, perlu dicermati bahwa dalam beberapa kasus, democratic space dan hak kebebasan berpendapat juga disalahgunakan oleh sebagian orang atau suatu kelompok untuk menyebarkan sikap permusuhan dan kebencian terhadap agama tertentu. Misalnya, kasus kartun Nabi Muhammad beberapa waktu lalu, yang memprovokasi tindakan radikal balasan.
"Kaum radikal biasanya vokal. Padahal jumlah mereka hanyalah sedikit. Suaranya yang keras seolah menenggelamkan kelompok mayoritas di masyarakat yang cenderung diam. Silent majority memang ciri umum sebuah masyarakat madani," kata Boediono yang mengenakan kemeja merah marun itu.
Ia mengimbau, pada saat tertentu, kelompok silent majority juga harus berani bersuara.
"Kita harus berteriak lantang menolak radikalisme dan kembali pada kesepakatan awal para pendiri bangsa saat mendirikan Indonesia," kata Boediono membaca teks pidato.
Sesuai amanah Pembukaan UUD 1945, lanjut Boediono, Indonesia juga akan selalu bersuara lantang di forum-forum internasional menolak segala bentuk radikalisme dan sikap menyebarkan permusuhan antaragama, ras, etnis dan golongan yang dapat menggangu perdamaian abadi.
"Jika kita gagal menyelamatkan nilai-nilai demokrasi universal dari rongrongan radikalisme, betapa sia-sianya kesadaran umat manusia yang baru tumbuh setelah melalui sejarah panjang selama ribuan tahun tadi," kata Boediono.
Dalam kesempatan itu, Said Agiel menceritakan kepada forum tentang sejarah NU yang sampai saat ini masih terus menjunjung tinggi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurutnya, orang NU yang berjumlah sekitar 50 juta tidak perlu diragukan ke-Indonesiaannya.
"Bukan Indonesia, kalau tanpa Islam, tanpa Kristen, tanpa Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu," kata Said Agiel disambut tepuk tangan para hadirin.
Ketua Umum Global Peace Festival Foundation (GPFF), Hyun Jin Moon, mengatakan, Indonesia adalah adalah negara yang unik dengan populasi Muslim terbesar di dunia, namun tetap merayakan keberagaman agama, etnis, dan budaya.
Menurut Hyun, semboyan Bhineka Tunggal Ika, memiliki spirit yang sama dengan visi GPFF yakni Satu Keluarga dalam Naungan Tuhan (One Family under God), yang mengatasi ras, budaya, dan agama.
(lrn/ndr)

Post a Comment