Indahnya Sistem Islam, Solusi Alternatif Mengganti dan Menuntaskan Kebobrokan Sistem Peradilan Sekuler Demokratis

Masyarakat sekarang seolah menjadi masyarakat yang terdidik, melek hukum, dan sadar politik. Respon penguasa dengan mencanangkan program “ganyang Mafia” peradilan/hukum pada tanggal 5/11/09 sebagai bagian dari agenda 100 hari Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, tidak menjadikan otomatis masyarakat percaya. Karena seperti pepatah nasi telah menjadi bubur, juga sekalipun pemerintah kembali membuka PO Box 9949 berikut dengan kode GM (Ganyang Mafia) untuk menerima laporan masyarakat yang menjadi korban atau bahkan dengan pembentukan Satgas Anti Mafia Hukum. Kasus suap menyuap dan korupsi sudah menjadi perkara lazim dalam wilayah peradilan. Masyarakat seperti meraba obyek diruang gelap, karena bisa jadi penjahat negara dia tampil dalam balutan sosok kesatria, para begundal mafioso yang memporakporandakan kebenaran dan keadilan dalam wajah penegak-penegak hukum yang dibanggakan, menjadi pembela nafsu konglomerat tapi tampil seperti sang pembela rakyat.

Hukum tunduk kepada pemilik modal (uang), hukum tidak berpihak bagi masyarakat miskin. Keadilan di takar dengan tumpukan uang, dan hukum bisa diperjual belikan serta dinego. Seolah penguasa negeri ini, baru bangun tersadar setelah semua penyakit kronis ini disorot dengan tajam oleh masyarakat dengan rasa “geram” luar biasa. Dan fakta bahwa problem korupsi tidak hanya di ranah peradilan, tapi menyangkut para pejabat eksekutif mulai dari menteri, gubernur, bupati, walikota hingga seorang lurah, yang memegang kuasa kelola berbagai proyek strategis kepentingan masyarakat menjadi pelaku dan kasusnya banyak mengendap begitu saja.

Betapa amburadulnya perihal hukum di Indonesia, tepatnya aparat hukum dan lembaga-lembaga hukum yang ada serta Undang-Undang yang dijadikan acuan lahirnya keadilan bagi masyarakat dalam berbagai kasus sengketa. Undang-Undang yang ada belum bisa mencover seluruh persoalan sengketa masyarakat yang butuh keadilan, hingga masih membutuhkan tim atau kepanitian baru setiap kasus yang menemui jalan buntu. Adanya Tim Pencari Fakta berbagai kasus peradilan di negeri ini sering kali terjadi, terakhir dalam kisruh KPK melahirkan Tim 8 yang sebagian pihak berpendapat makin menjadikan masalah hukum dan peradilan menjadi blunder, dan menimbulkan kontraksi pada setiap institusi penegak hukum.


Runtuhnya Kepercayaan Masyarakat

Kasus mafia hukum dengan pemeran utama Gayus Tambunan misalnya, kini memasuki babak baru. Babak baru itu menyangkut status hukum para pemeran pembantu. Satu per satu pemeran pembantu berubah status dari terdakwa menjadi terpidana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Hanya jaksa Cirus Sinaga yang sampai sekarang masih bebas melenggang.

Nama jaksa Cirus Sinaga begitu sakti. Saking saktinya, nama itu hanya sebatas disebut-sebut dalam ruang sidang. Tangan aparat penegak hukum seakan kelu dan kaku untuk menjamah pemilik nama sakti itu.

Tidak hanya sekali dua kali nama Cirus disebut. Para saksi menyebut peran jaksa Cirus dengan nada lantang. Padahal bukan sembarang saksi yang menyebut peran jaksa Cirus dalam kasus mafia hukum. Mereka adalah penegak hukum yang tergelincir dalam kasus Gayus. Sebut saja kesaksian Komisaris M Arafat Enanie, Ajun Komisaris Sri Sumartini, dan beberapa lainnya, terakhir Brigadir Jenderal Raja Erizman.

Tidak hanya saksi. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menyebut peran jaksa Cirus ketika membacakan putusan terdakwa Komisaris Arafat Enanie, Senin (20/9/2010).

Dalam ruang sidang itu disebutkan secara terang benderang bahwa jaksa Cirus diduga ikut merekayasa pengenaan pasal tindak pidana terhadap Gayus, dari semula kasus pencucian uang dan korupsi menjadi penggelapan.

Pasal penggelapan itulah pintu masuk jaksa Cirus untuk ikut menangani kasus Gayus. Jika menggunakan pasal pencucian uang dan korupsi, kasus itu harus ditangani jaksa bidang pidana khusus, sementara Cirus bekerja di bidang pidana umum.

Akhirnya pasal korupsi dan pencucian uang benar-benar dihilangkan. Yang tercantum dalam berkas penuntutan jaksa tinggal pasal penggelapan uang.

Berbekal pasal itulah jaksa Nasran Azis di Pengadilan Negeri Tangerang hanya menuntut Gayus dihukum satu tahun penjara dengan satu tahun masa percobaan. Dalam menjawab dakwaan ringan itu, majelis hakim yang diketuai Muhtadi Asnun malah mengganjar Gayus dengan vonis bebas.

Jadi, sangat jelas sekali dugaan keterlibatan jaksa Cirus. Selaku jaksa senior ia memegang peran sentral dalam permainan kasus Gayus. Sejauh yang terungkap di ruang sidang, jaksa Cirus telah berhasil menyusun skenario, menjadi sutradara, sekaligus ikut bermain dalam sirkus mafia hukum.

Sangat jelas pula adanya permufakatan jahat. Para punggawa hukum--polisi, jaksa, hakim, dan pengacara--berlaku tak ubahnya pagar makan tanaman. Dengan entengnya mereka mengubah pasal, meringankan dakwaan, dan membagi-bagi duit hasil kejahatan.

Akan tetapi, yang sakti hanyalah jaksa Cirus, yang hingga kini bebas melenggang. Namanya sempat disebut-sebut sebagai tersangka, tetapi secepat membalikkan telapak tangan status hukum itu berubah menjadi saksi. Lebih ironis lagi, kepolisian dan kejaksaan malah saling lempar tanggung jawab siapa yang harus menindaklanjuti kesaksian mengenai keterlibatan Cirus itu. Atau, jangan-jangan, Cirus tidak bisa disentuh karena berada dalam lindungan mafia hukum?

Global Corruption Report melansir sekitar US$ 40 miliar atau setara Rp 400 triliun digunakan dunia usaha untuk menyuap pejabat publik setiap tahun. Pemberian suap itu bertujuan untuk memudahkan bisnis dan bahkan ada yang bermotif politik mempertahankan pemerintahan yang korup. Suap, sepertinya sudah bukan hal yang asing terdengar dalam berbagai macam urusan apapun di negeri ini, “dengan suap itu kemudian bisa menyulap suatu kebijakan publik yang memberi kemudahan bisnis,” dan semua itu modus operandinya dilakukan sangat terorganisisr, kata Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis, pada peluncuran Global Corruption Report 2009, di Jakarta, Rabu (7/10).

Hasil riset yang dilakukan oleh berbagai lembaga, juga menunjukkan bahwa tingkat korupsi di negeri yang penduduknya mayoritas muslim ini termasuk yang paling tinggi di dunia. Bahkan koran Singapura, The Strait Time, sekali waktu pernah menjuluki Indonesia sebagai the envelope country, karena segala hal bisa dibeli, entah itu lisensi, tender, wartawan, hakim, jaksa, polisi, petugas pajak atau yang lain. Pendek kata segala urusan semua bisa lancar bila ada “amplop”.

Kasus korupsi yang ditangani KPK sejak Januari 2008-Agustus 2009 saja misalnya, didominasi oleh modus suap. Sesuai data ICW (Indonesia Coruption Watch) terungkap, dari 95 kasus, ada 34 kasus atau 35,79 persen modusnya suap. Menyusul mark up 19 kasus atau 20 persen, penggelapan atau pungutan 18 kasus (18,95 persen), penyalahgunaan anggaran 15 kasus (15,79 persen), penunjukan langsung 8 kasus atau 8,42 persen, dan 1 kasus pemerasan. Sedangkan dilihat dari latar belakangan profesi, tersangka korupsi paling dominan swasta. Dari 95 tersangka, 19 di antaranya adalah swasta, disusul anggota DPR/DPRD 18 orang, pejabat eselon dan pimpro 17 orang. Duta besar, pejabat konsulat, dan imigrasi ada 13 orang yang jadi tersangka, kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) 12 orang, dewan gubernur/pejabat Bank Indonesia 7 orang, pejabat BUMN 5 orang, dan komisi negara 2 negara. Untuk aparat hukum dan BPK masing-masing 1 orang.

Mantan Ketua Bappenas, Kwik Kian Gie, menyebut lebih dari Rp 300 triliun dana baik dari penggelapan pajak, kebocoran APBN maupun penggelapan hasil sumberdaya alam, menguap masuk ke kantong para koruptor. Di samping itu, korupsi yang biasanya diiringi dengan kolusi, juga membuat keputusan yang diambil oleh pejabat negara menjadi tidak tepat sasaran. Heboh privatisasi sejumlah BUMN, lahirnya perundang-undangan aneh semacam UU Energi, juga UU SDA, UU Migas, UU Kelistrikan, impor gula dan beras dan sebagainya dituding banyak pihak sebagai kebijakan yang sangat kolutif karena di belakangnya ada praktik korupsi.

Tentu tidak salah dari data diatas masyarakat sampai pada sebuah kesimpulan, mafioso peradilan betul-betul telah mengakar dan meruntuhkan sistem peradilan di negeri ini. Kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum sangat rendah, bahkan dari berbagai jajak pendapat 89,8% masyarakat percaya keputusan hukum di Indonesia bisa dibeli dengan uang. (Jajak pendapat Kompas,9/11/09). Bahkan kini timbul wacana pengganti Jaksa Agung Hendarman Supanji mesti dari kalangan luar kejaksaan. Hal ini menyebabkan jalannya roda pemerintahan terganggu, karena para birokrat tidak bekerja secara optimal. Yang pasti efek dominonya adalah masyarakat semakin menderita dan menggantang asap keadilan, karena hukum tidak bisa diraih dengan tangan yang hampa uang dan harta. Bila keadaan ini terus berlanjut, akan meniscayakan runtuhnya sebuah pemerintahan, apalagi jika kepentingan asing ikut bermain seperti yang sudah menggejala di Indonesia.


Kelemahan sistem peradilan Indonesia-lah yang memberikan celah keberadaan mafia peradilan. Sistem peradilan Indonesia merupakan warisan dari Pemerintah Belanda. Wajar jika setiap perundang-undangan dan produk hukum  tidak mewakili aspirasi dan semangat penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Perundang-undangan dan produk hukum bersifat sekuler demokratis, banyak menimbulkan kontroversi dan tidak memberikan solusi dalam masyarakat. Selain itu, malah menimbulkan permasalahan baru, sehingga pantas kiranya dikatakan sistem peradilan Indonesia telah cacat sejak dilahirkan. Oleh karenanya, untuk mengatasi menghilangkan mafia peradilan, maka tidak ada jalan lain selain merombak total sistem peradilan di Indonesia dan mencari alternatif lain. Alternatif terbaik tersebut adalah sistem peradilan Islam yang telah dibuktikan pelaksanaannya selama lebih dari 1500 tahun.

Sistem Islam Adalah Solusi Tuntas

1. Sistem sanksi (uqubat) dalam Islam bersifat zawâjir (membuat jera) dan jawâbir (penebus dosa di akhirat).

Sistem sanksi Islam akan membuat jera pelaku kejahatan dan masyarakat untuk tidak melakukan tindakan kriminal. Ini akan memberikan rasa aman kepada masyarakat baik pelaku maupun korban. Patut diketahui Islam memiliki kaidah hukum “Membebaskan orang yang diragukan kesalahannya adalah lebih baik daripada menjatuhkan hukuman bagi orang tak bersalah.”

Dalam Islam, tindak korupsi merupakan jarimah (kejahatan) yang akan terkenai ta’zir. Bentuknya bisa berupa hukuman tasyhir (perwartaan dulu diarak, sekarang mungkin bisa ditayangkan di tv) atau hukuman kurungan, atau bahkan hukuman mati. Hukuman hanya dijatuhkan bila ada bukti dan motif atau motivasi sangat kuat dengan melihat kondisi negara ketika itu.

2. Pembuktian dalam Islam

Islam membatasi empat hal sebagai bukti kuat yakni: kesaksian, pengakuan, sumpah dan dokumen-dokumen tertulis yang meyakinkan. (lihat Fiqhus Sunnah III: 328). Rekaman video, suara, foto dan selain empat bukti tersebut tidak bisa dijadikan bukti kuat langsung untuk menjerat seseorang.

a. Kesaksian

Kesaksian dalam Islam ditetapkan berdasarkan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282 "Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan.”

Hukum memberikan saksi adalah fardhu kifayah (QS 2: 283; QS 5:8; QS 2: 282). Dengan kata lain, jika terjadi suatu perkara dan seseorang menyaksikan perkara tersebut maka fardu kifayah baginya untuk memberikan kesaksian di pengadilan dan jika tidak ada pihak lain yang bersaksi atau jumlah saksi tidak mencukupi tanpa dirinya maka ia menjadi fardhu ‘ain. Dengan pemahaman ini seorang saksi tentu tidak akan keberatan atau mangkir dari memberi kesaksian di pengadilan sebab ia merupakan perbuatan yang bernilai pahala.

Selain itu, kesaksian harus didasarkan pada keyakinan pihak saksi, yakni berdasarkan penginderaanya secara langsung pada peristiwa tersebut. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW.:

"Jika engkau mengetahuinya seperti (melihat) matahari maka bersaksilah. Namun, jika tidak maka tinggalkanlah." (HR al-Baihaqi dan al-Hakim menurutnya sahih. Namun, adz-Dzahabi men-dhâ’îf-kannya) 

Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali didasarkan pada sesuatu yang menyakinkan. Dengan kata lain, seseorang sah bersaksi jika ia menyaksikan sendiri tanpa ada sedikitpun keraguan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun di atas bukti yang masih dzan (keraguan) (Sayyid Sabbiq, Fiqh al-Sunnah; Ahmad Da’ur, Ahkaam al-Bayyinaat; dan lain-lain).

Pihak yang dijadikan saksi juga bukan sembarang orang, namun hanya orang yang memenuhi kualifikasi tertentu yaitu: balig, berakal dan adil. Sifat adil merupakan hal yang penting dalam kesaksian karena ia menentukan integritas seorang saksi dalam menyampaikan kesaksian. Definisi adil adalah orang yang tidak tampak kefasikan pada dirinya. Dengan kata lain, ia menghindari perbuatan-perbuatan yang membuat dirinya—menurut pandangan orang-orang—keluar dari sifat istiqamah. (Ahmad ad Daur, Ahkamu al-Bayyinat, (ttp, 1965), hlm.9)

Syariah juga telah menetapkan orang-orang yang tidak boleh menjadi saksi yaitu: orang yang mendapat sanksi karena menuduh orang lain berzina (qadzaf), anak yang bersaksi kepada bapaknya dan bapak kepada anaknya, istri kepada suaminya dan suami kepada istrinya, pelayan (al-khâdim) yang lari dari pekerjaannya serta orang yang bermusuhan dengan terdakwa. (Ibid, hlm. 22). Penetapan layak tidaknya seseorang menjadi saksi dalam sebuah perkara ditetapkan oleh qâdhi di dalam pengadilan.

Jumlah saksi dalam setiap perkara pada dasarnya dua saksi laki-laki atau yang setara dengan jumlah tersebut, yaitu satu saksi laki dan dua perempuan, empat saksi perempuan atau satu saksi laki-laki ditambah dengan sumpah penuntut. Sebagaimana diketahui, dua orang wanita dan sumpah setara dengan seorang saksi laki-laki. (Ibid, hlm. 17).

Meski demikian, syariah telah memberikan pengecualian dari jumlah tersebut. Pada kasus perzinaan disyaratkan empat saksi; penetapatan awal bulan (hilal) cukup satu orang saksi; dan kegiatan yang hanya melibatkan wanita seperti penyusuan dengan satu saksi perempuan. (Ibid, hlm. 20)

Saksi hendaknya orang yang adil dan bisa dipercaya. Firman Allah dalam surat Al-Hujurat (49) ayat 6: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”


Saksi harus memberi keterangan yang sesungguhnya, apa adanya walaupun terhadap dirinya sendiri. Allah swt menegaskan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar yang penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau Ibu Bapak dan Kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan." (QS An-Nisaa’ [4]: 135)

b. Pengakuan

Abu Abdullah bin Buraidah meriwayatkan: Maiz bin Malik al-Aslami mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasul, saya telah menzalimi diri saya dan telah berzina. Saya berharap Anda bersedia mensucikan saya.” Namun, Rasul menolaknya. Pagi harinya ia datang lagi dan berkata, “Ya Rasul, saya telah berzina.” Lalu ia ditolak lagi. Rasul kemudian mengirim utusan kepada kaumnya dan bertanya, “Apakah kalian mengetahui ada yang buruk pada akal Maiz dan kalian mengingkarinya?” Mereka menjawab, “Kami tidak mengetahui kecuali akalnya sama dengan orang shalih di antara kami.” Lalu Maiz datang ketiga kalinya. Rasul mengutus lagi utusan untuk mengetahui akalnya, namun tidak ada yang ganjil darinya. Tatkala ia datang keempat kalinya maka Rasul membuatkan lubang untuknya dan memerintah-kan orang-orang untuk merajamnya. Lalu ia pun dirajam (HR Muslim) .

Hadits ini menunjukkan bahwa pengakuan bisa menjadi bayyinât (bukti) oleh qâdhi dalam menetapkan keputusan.

Adapun sumpah yang dijadikan sebagai bayyinât sumpah yang atas peristiwa yang telah terjadi. Itu dilakukan setelah seseorang diminta oleh qâdhi di pengadilan. Sumpah pihak pendakwa atau terdakwa tidak sah jika tidak diminta oleh qâdhi. Demikian pula isi sumpah adalah sebagaimana yang dimaksudkan oleh qâdhi bukan yang dimaksudkan oleh pihak yang bersumpah. Jika, misalnya, ia bersumpah dengan ungkapan tauriyah (peryataan bersayap) atau dengan syarat yang disamarkan maka yang berlaku adalah apa yang dimaksudkan oleh hakim. Ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW:

"Sumpah itu berdasarkan niat dari pihak yang meminta sumpah." (HR Muslim).

Seseorang bisa dijatuhi hukuman dengan pengakuannya atau sumpahnya. Nabi Muhammad SAW bersabda, ”Dua saksi dari kalian, atau sumpahnya.” (HR. Muslim).

Imam Baihaki telah meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad shahih dari Nabi Saw, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya”.


c. Hukuman dan Dosa Besar bagi Saksi dan Sumpah Palsu

Memberikan kesaksian dan sumpah palsu termasuk dosa besar. Orang yang bersaksi palsu dan menuduh orang lain berzina misalnya, dijatuhi hukuman 80 kali dera. Tanpa bukti kuat ini seseorang tidak bisa dijatuhi hukuman. Allah SWT berfirman:

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera." (QS An-Nuur [24]: 4)

Rasulullah saw. bersabda:

Dari Anas dari Nabi saw. beliau bersabda, “Dosa-dosa yang paling besar adalah menyekutukan Allah, membunuh orang, durhaka kepada kedua orangtua dan berkata bohong atau beliau bersabda bersaksi bohong. (HR al-Bukhari).

Dari Abu Ummah al-Haritsi ra bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang mengambil sebagian hak orang muslim (yang lain) dengan sumpahnya, melainkan pasti Allah mengharamkan syurga atasnya, dan memastikan neraka baginya...” (Shahih Ibnu Majah no 1882, Ibnu Majah II:779 no: 2324, dan semisal dalam Muslim I: 121 no: 137 dan Nasa’i VIII: 246)

d. Dokumen tertulis 

Penggunaan dokumen tertulis menjadi landasan yang tak terpisahkan dalam perkembangan tsaqâfah Islam, seperti pada ilmu fikih dan hadis. Demikian juga pada masa Rasulullah hingga Khalifah dan qâdhi setelahnya juga banyak bertumpu pada dokumen.9 Dokumen setidaknya ada tiga jenis, yaitu dokumen yang bertandatangan, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara dan dokumen yang tidak bertanda tangan.
Pada dasarnya dokumen bertanda tangan adalah sama statusnya sama dengan pengakuan dengan lisan. Oleh karena itu, dokumen tersebut membutuhkan penetapan. Jika seseorang mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam sebuah dokumen adalah miliknya maka dokumen tersebut sah dijadikan bukti. Namun, jika ia mengingkarinya maka dokumen tersebut tertolak.

Adapun untuk dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah seperti surat nikah dan akte kelahiran maka ia tidak membutuhkan adanya penetapan terhadap keabsahannya. Oleh karena itu, dokumen langsung dapat dijadikan sebagai bukti.

Adapun dokumen tertulis yang tidak bertanda tangan seperti surat, pengakuan utang, faktur belanja dan sebagainya maka statusnya sama dengan dokumen yang bertanda tangan, yaitu membutuhkan penetapan bahwa orang tersebut yang menulis atau memerintahkan menulis atau mendiktekan tulisan tersebut.

Dokumen yang dianggap valid menjadi alat bukti bagi pendakwa hanya diterima jika dihadirkan di pengadilan. Jika pendakwa tidak mampu menghadirkan dokumen yang dijadikan bukti tersebut maka ia dianggap tidak ada. Namun demikian, jika dokumen tesebut berada di tangan negara maka qâdhi memerintahkan untuk dihadirkan. Jika dokumen tersebut dinyatakan penggugat ada pada tergugat dan diakui oleh tergugat maka tergugat harus menghadirkannya. Jika ia menolak untuk menghadirkannya maka dokumen tersebut dianggap ada. Jika tergugat menolak bahwa dokumen tersebut ada padanya maka ia dibenarkan kecuali jika penggugat memiliki salinan atas dokumen tersebut maka ia harus mampu membuktikan bahwa dokumen tersebut ada pada pada tergugat. Jika tidak dapat dibuktikan maka tergugat harus disumpah bahwa ia tidak memilikinya. Jika ia menolak bersumpah maka salinan dokumen tersebut dianggap benar dan menjadi alat bukti bagi pendakwa.

3. Prosedur Qâdhi dalam Memutuskan Perkara serta Aspek Ruhiahnya 

Di pengadilan qâdhi  yang akan memutuskan perkara harus mendengarkan keterangan kedua pihak yang berperkara. Rasulullah SAW. bersabda kepada Ali ra.:

"Jika duduk di hadapanmu dua orang yang berperkara maka janganlah engkau memutuskan hingga engkau mendengarkan pihak lain sebagaimana pihak yang pertama, karena hal itu akan lebih baik sehingga jelas bagimu dalam memutuskan perkara." (HR al-Hakim. Menurutnya sahih dan disepakati oleh ad-Dzahabi). 

Selain itu qâdhi juga harus berada dalam kondisi yang normal seperti tidak dalam keadaan marah, lapar atau dalam tekanan pihak-pihak tertentu sehingga mengganggu konsentrasinya dalam memutuskan perkara. Hal didasarkan pada sabda Rasulullah saw.:

"Seorang qâdhi tidak boleh memutuskan di antara dua pihak yang berperkara, sementara ia dalam keadaan marah ." (HR Abu Daud, Ibnu Majah. Albani mengatakan hadis ini sahih).

Hadits ini menurut al-Imam Taqiyuddin an-Nabhani mengandung illat, yaitu larangan memutuskan bagi qâdhi ketika pemikirannya dalam keadaan kacau. Dengan demikian, keadaan apa saja yang dapat membuat pemikiran qâdhi kacau maka pada saat itu ia diharamkan untuk memutuskan perkara.

Memang Islam menjadikan bukti yang lahiriah yang menjadi dasar dalam pengadilan sehingga peluang terjadinya rekayasa oleh pihak yang berperkara dalam menghadirkan bukti-bukti di pengadilan dapat saja terjadi. Hal ini memang tidak ditampik oleh Islam. Meski demikian, patut dicatat bahwa syariah sangat mengecam tindakan tersebut dan pelakunya diancam dengan azab neraka. Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya kalian berselisih di hadapanku dan boleh jadi sebagian dari kalian lebih fasih dalam berargumentasi dari yang lain sehingga saya memutuskan berdasarkan apa yang saya dengar darinya. Siapa yang saya berikan padanya hak saudaranya maka janganlah ia mengambilnya karena sesungguhnya saya telah memberikan untuknya bagian dari neraka."  (HR al-Bukhari-Muslim).

 Peluang qâdhi untuk memanipulasi hukum sangat terbuka lebar karena di tangannyalah keputusan berada. Oleh karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan para qâdhi agar tidak menyimpang dari hukum Allah SWT.

Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw. beliau bersabda, “Qadhi ada tiga: satu masuk surga dan dua masuk neraka. Qâdhi yang masuk surga adalah qâdhi mengetahui kebenaran dan memutuskan dengannya; sementara qâdhi yang mengetahui kebenaran lalu ia menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka. Demikian pula qâdhi yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR Abu Daud dan menurutnya sahih).

Dengan sumber hukum yang jelas dan adil, qâdhi yang memiliki integritas tinggi dan proses yang jelas dan tidak bertele-tele maka pencapaian keadilan di dalam sistem Islam bukanlah ‘barang mahal’ yang sulit dijangkau oleh masyarakat sebagaimana pada sistem Demokrasi. 


4. Hukuman Dilakukan Secara Transparan

Islam secara khusus menghukum pelaku kejahatan berat dan dosa besar secara terbuka dan transparan di muka umum dan disiarkan di media masa, sebagai bentuk pendidikan moral. Rasa malu, ketakutan dan keinginan mempertahankan hidup serta nama baiknya ketika melihat langsung ekskusi hukuman berat, mencegah masyarakat melakukan hal serupa. Beda sekali dengan hukuman di Indonesia. Hukuman di Indonesia kadang tidak dilakukan secara transparan dan terbuka sehingga kurang menimbulkan efek jera.

5. Perhatian Terhadap Motif

Dari aspek motif, pelaku kriminalitas tak bisa dijatuhi hukuman, bila motifnya untuk mempertahankan hidupnya demi kelangsungannya (hajatul udhawiyah), bukan karena hawa nafsu atau keserakahan (menumpuk kekayaan dan mencari kekuasaan) semata. Misalnya, seorang pencuri atau koruptor yang mencuri atau mengkorupsi uang negara/masyarakat karena kelaparan amat sangat, maka ia dibebaskan. Bahkan negara wajib memenuhi makanan dan menyediakan kebutuhan pokoknya, sehingga tidak ada alasan baginya mencuri dengan alasan kebutuhan pokok hidup. Lain halnya, dia korupsi karena ingin hidup mewah seperti yang terjadi pada makelar kasus Gayus Tambunan. Hanya dalam lima tahun saja melakukan praktek markus, Gayus Tambunan dapat tinggal di kawasan elit Kelapa Gading.

Motif ini sangat diperhatikan oleh aparat atau negara. Bila motif kejahatan terjadi akibat kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban dan kebutuhan hidup warganya, maka peradilan dapat mempertimbangkan untuk tidak menghukumi terdakwa. Peradilan malah bisa menuntut negara untuk memenuhi kewajiban warga negaranya.

6. Sistem Penggajian yang Layak

Salah satu penyebab terjadinya korupsi adalah kurangnya gaji yang diterima para pegawai pemerintah. Sebagai manusia biasa, para birokrat tentu juga memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya. Untuk itu, agar bisa bekerja dengan tenang dan tak tergoda untuk berbuat curang, kepada mereka diberikan gaji dan fasilitas yang layak. Berkenaan dengan soal ini, Rasul berkata,”Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah, jika belum beristri hendaknya menikah: jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan) hendaknya diberi. Dan barang siapa yang mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin)”(HR.Abu Dawud).

7. Larangan Penerimaan Suap dan Hadiah

Tentang suap, Rasulullah SAW berkata,

Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap“ (HR.Abu Dawud).

Tidak pantas seorang petugas yang kami utus datang dan berkata, “Ini untuk Anda, sementara ini adalah hadiah yang diberikan untuk saya.” Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya, lalu memperhatikan, apakah ia akan mendapatkan hadiah atau tidak?! (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).

Suap menyebabkan penyimpangan kebijakan diskriminasi dan merusak mental birokrat .

8. Penghitungan Kekayaan

Untuk menjaga dari berbuat curang, Khalifah menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pegawai negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan tidak wajar, Khalifah dapat memerintahkan segera menyerahkan kelebihan itu kepada negara.

9. Tiga Kelompok Peradilan

Islam juga memilahkan peradilan dalam tiga kelompok masalah yakni peradilan masalah antara negara atau kepala negara (khalifah) dan warganegara (qadhi mazalim), peradilan masalah muamalah antar warganegara (qadhi khusumat) dan peradilan masalah kemasyarakatan atau kepentingan umum (qadhi hisbah).

Ketiga peradilan ini mempunyai fungsi masing-masing. Keberadaan qadhi hisbah dan aparat keamanan yang senantiasa terjun langsung memantau pelanggaran di tengah masyarakat meminimalisir pelanggaran kepentingan umum. Baik qadhi maupun aparat keamanan adalah pegawai negara yang memiliki kompetensi tinggi dibidangnya, sehingga, mereka senantiasa mengedepankan keadilan dan memecahkan masalah keumatan di tempat kejadian. Telah diriwayatkan dari Aisyah bahwa Rasulullah bersabda, “ Ringankanlah (sanksi) bagi orang yang memiliki perangai terpuji atas pelanggaran mereka, kecuali hudud.” Mereka tidak mencari-cari kesalahan dan kekurangan, untuk dibawa ke peradilan sebagai objek tambahan penghasilan seperti yang sering terjadi di negeri kita.

Untuk kasus kesewenangan khalifah atau kepala negara, warganegara bisa mengajukan bukti kuat dan pengaduan ke qadhi mazalim. Jika khalifah kalah di pengadilan, khalifah wajib memenuhi tuntutan warganegaranya. Demikian untuk masalah persengketaan antara warganegera, seseorang bisa langsung mengadukan terdakwa dengan bukti kuat. Tanpa biaya administrasi, pengadilan, dan biaya pengacara. Atau peradilan berjenjang yang ribet dan berbelit-belit memakan waktu bertahun-tahun tanpa kepastian hukum. Peradilan Islam mengedepankan solusi terbaik dan adil. Pelaksanaan hukuman Islam dilandaskan motivasi keimanan ruhiyah mencari ridha Allah bukan semata mencari kemaslahatan atau keuntungan semata. Niat atau motivasi inilah yang akan menjaga keberlangsungan keadilan dan kepastian hukuman.

10. Kesetaraan dalam Hukum Peradilan

Islam memandang setiap warga negara baik muslim dan non-muslim setara dalam timbangan hukum peradilan. Tidak ada pengistimewaan keadilan terhadap kepala negara. Demikian pula Islam tidak memandang apakah seorang kriminal itu kaya atau miskain, pejabat atau rakyat biasa, keluarga ataupun besan kepala negara. Masing-masing pihak mendapat jaminan keadilan hukum yang sama.

Rasulullah SAW (sebagai Kepala Negara) bersabda, "...Demi diriku yang berada ditangan-Nya, andaikan Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya akan kupotong tangannya." (HR Ahmad, Muslim dan an-Nasa'i).

11. Teladan dari Pemimpin

Dengan teladan pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan juga tidak sulit dilakukan. Khalifah Umar misalnya, menyita sendiri seekor unta gemuk milik puteranya, Abdullah bin Umar, karena kedapatan itu bersama beberapa unta lain digembalakan di padang rumput milik negara. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara. Demi agar tidak mencium bau secara tidak hak, Khalifah Umar bin Abdul Azis sampai menutup hidungnya saat membagi minyak wangi kesturi kepada rakyatnya.

Dalam sistem Islam kedaulatan sepenuhnya di tangan Allah. Seorang Khalifah tidak dibenarkan untuk memimpin dengan anggapan bahwa dirinyalah yang berkuasa penuh. Ia harus selalu mengingat bahwa yang berkuasa pada hakekatnya Allah dan jika dirinya ingin dinilai memimpin dengan amanah berarti ia harus tunduk sepenuhnya kepada Hukum dan Kekuasaan Allah. Seorang khalifah tidak dibenarkan menjadi penentu legal dan illegalnya suatu urusan. Sebab penentuan akan hal ini sepenuhnya hak Allah.

Sehingga pernah terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab seorang wanita memprotes kebijakan beliau yang memerintahkan kaum wanita agar membatasi nilai mahar yang ditetapkan kepada lelaki yang datang melamar. Alasan pembatasan itu, menurut Umar, karena sedang terjadi resesi ekonomi (masa paceklik). Lalu wanita tadi membacakan ayat Al-Qur’an di mana Allah memberikan kebebasan wanita untuk menetapkan nilai maharnya ketika dilamar. Maka Khalifah Umar langsung bekata: ”Astaghfirullah... Wanita itu benar dan Umar salah. Dengan ini saya cabut kebijakan yang baru saja saya keluarkan!”  Subhanallah....! Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi rela mencabut kebijakan yang baru saja ia keluarkan hanya karena protes seorang warga negara berupa seorang wanita! Tetapi, masalahnya di sini ialah bahwa wanita tersebut ber-hujjah dengan bersandar kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga sang Khalifah tidak bisa bersikap selain tunduk kepada hujjah wanita tersebut. Sebab pada hakikatnya Umar bukan sedang tunduk kepada wanita itu, melainkan ia tunduk kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Benar. Hal ini selaras dengan arahan Allah mengenai bagaimana sepatutnya seorang yang menjadi bagian dari ulil amri minkum memimpin masyarakat.

12. Pengawasan Masyarakat

Dalam sistem Islam kedaulatan sepenuhnya di tangan Allah. Seorang Khalifah tidak dibenarkan untuk memimpin dengan anggapan bahwa dirinyalah yang berkuasa penuh. Ia harus selalu mengingat bahwa yang berkuasa pada hakekatnya Allah dan jika dirinya ingin dinilai memimpin dengan amanah berarti ia harus tunduk sepenuhnya kepada Hukum dan Kekuasaan Allah. Seorang khalifah tidak dibenarkan menjadi penentu legal dan illegalnya suatu urusan. Sebab penentuan akan hal ini sepenuhnya hak Allah.

Sehingga pernah terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab seorang wanita memprotes kebijakan beliau yang memerintahkan kaum wanita agar membatasi nilai mahar yang ditetapkan kepada lelaki yang datang melamar. Alasan pembatasan itu, menurut Umar, karena sedang terjadi resesi ekonomi (masa paceklik). Lalu wanita tadi membacakan ayat Al-Qur’an di mana Allah memberikan kebebasan wanita untuk menetapkan nilai maharnya ketika dilamar. Maka Khalifah Umar langsung bekata: ”Astaghfirullah... Wanita itu benar dan Umar salah. Dengan ini saya cabut kebijakan yang baru saja saya keluarkan!”  Subhanallah....! Bayangkan, seorang pemimpin tertinggi rela mencabut kebijakan yang baru saja ia keluarkan hanya karena protes seorang warga negara berupa seorang wanita! Tetapi, masalahnya di sini ialah bahwa wanita tersebut ber-hujjah dengan bersandar kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga sang Khalifah tidak bisa bersikap selain tunduk kepada hujjah wanita tersebut. Sebab pada hakikatnya Umar bukan sedang tunduk kepada wanita itu, melainkan ia tunduk kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Benar. Hal ini selaras dengan arahan Allah mengenai bagaimana sepatutnya seorang yang menjadi bagian dari ulil amri minkum memimpin masyarakat.

Pemimpin tertinggi dalam sistem Islam berkewajiban menegakkan segenap urusan kepada Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya (As-Sunnah). Bila sang pemimpin itu sendiri lupa, maka masyarakat berhak sekaligus berkewajiban mengingatkan pemimpin tersebut untuk kembali kepada Allah dan RasulNya.

Dalam hal korupsi, masyarakat jelas turut berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan korupsi. Bila di dalam masyarakat tumbuh budaya anti korupsi, bukannya malah memancing timbulnya korupsi, maka insya Allah, masyarakat akan berperan efektif dalam mengawasi setiap tindakan para birokrat. Akhirnya korupsi bisa ditekan secara maksimal. Ini terjadi setelah suasana keimanan dan ketakwaan tengah menyelimuti masyarakat dengan diterapkannya sistem Islam secara menyeluruh.

13. Pengendalian Diri yang Bersumber dari Iman yang Teguh

Pengendalian diri  kekuatan iman dan kontrol diri para birokrat itu sendiri. Dengan iman yang teguh, ia akan merasa selalu diawasi Allah dan takut untuk melakukan penyelewengan. Takut rizki yang diterimanya selain tidak berkah, juga akan membawanya kepada adzab neraka. Dan terlebih lagi, ia takut akan murka Allah. Hal ini terjadi ketika sistem Islam mewajibkan para pejabat tadi secara mutlak mengkaji Islam, begitu pun suasana yang terbangun si rumah, di jalan, di perkantoran, dimana pun asalah suasana islami, serta menjadi sebuah keniscayaan bagi para pejabat untuk tetap menjaga amanah dengan senantiasa bertakwa kepada Allah.


Penutup

Semua langkah dan cara di atas memang hanya mungkin diterapkan dalam sistem Islam, mustahil bisa dilaksanakan dalam sistem sekular demokratis yang bobrok ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan sistem Islam dalam wujud tegaknya syariah Islam secara total dalam negara (yakni Khilafah Islam) adalah mutlak.

Allah SWT berfirman:

"Dan hendaklah engkau menghukumi di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan. Dan janganlah sekali-kali engkau mengikuti kemauan (hawa nafsu) mereka. Hati-hatilah engkau terhadap mereka, karena mereka ingin menyesatkanmu dari sebagian yang Allah turunkan kepadamu. (QS al-Maidah [5]: 49)

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS Al-Ahzab [33]: 36)

"Maka demi Robbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang diberikan, dan mereka beriman dengan sepenuhnya."  (QS An-Nisa' [4]: 65) 

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS Al-Maidah [5]: 44)

"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS Al-Maidah [5]: 45)

"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (QS Al-Maidah [5]: 47)

Selain karena ia merupakan kewajiban dari Allah SWT atas umat Islam, juga karena hanya syariah Islamlah—yang diterapkan dalam institusi Khilafah—yang menjadi sumber kemaslahatan dan rahmat bagi kaum Muslim, bahkan bagi umat manusia seluruhnya. Allah SWT berfirman: 

"Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam." (QS al-Anbiya’ [21]: 107).

Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam sistem uqubat (sanksi) adalah satu bagian dari pilar bangunan sistem Islam secara keseluruhan. Penegakan dan penerapan sistem peradilan atau sanksi ini tak bisa berdiri sendiri, tanpa sistem-sistem lain, seperti: sistem politik, pemerintah, ekonomi, sosial, luar negeri, pendidikan dan sistem-sistem Islam lainnya. Allah SWT berfirman:

"Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu..." (QS al-Maidah [5]: 3)

"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?" (QS Almaidah [5]: 50)

Wallahu a'lam bi ash-Shawab