UNDERGROUND INDONESIA: IDEOLOGI GAYA-GAYAAN


Tulisan ini bukan apa-apa, hanya semacam reaksi (bergaya) akademik sesaat setelah menyaksikan rekaman highlight di Metro TV tahun 2009 . Tentang konser grup musik bergenre underground di Bandung, yang berujung meninggalnya 11 penonton yang kebanyakan remaja tanggung.

Sekilas dikupas bahwa genre musik ini berasal dari negeri Barat, sebagai bentuk perlawanan kaum Gypsi terhadap dominansi dan doktrinasi negara pada tatanan masyarakat. Barangkali hampir mirip dengan kemunculan genre musik blues yang juga menjadi semacam alat perjuangan kaum Negro atas segala diskriminasi RAS yang mereka dapatkan. Underground lantas berkembang semakin pesat di tengah kondisi dunia kala itu yang penuh dengan konflik, peperangan, dan perebutan kekuasaan antar negara. Aliran ini menjadi frontline gerakan antikemapanan, antiborjuis, antikomunis, antikapitalis, antireligi, yang mencoba mencari bentuk kehidupan yang bebas dari tekanan dan intimidasi.

Yang pasti, genre musik ini berideologi, berprinsip. Bukan seperti genre musik pop yang murni produk kapitalis semu semata. Lama-kelamaan, underground menurunkan beberapa aliran musik lain seperti punk, ska, heavy metal, dll. Masih dalam “cita rasa” yang sama: antikemapanan.

Underground sebagai produk musik mulai marak di Indonesia pada tahun 1990-an. Dimulai dari suksesnya distribusi dan konser-konser grup musik underground Sucker Head. Selepas itu, mulai bertaburanlah kelompok-kelompok musik beraliran serupa. Secara subtansial, ada dua hal besar yang diadopsi kelompok musik underground Indonesia tersebut.

Pertama, ideologi antikemapanan. Sayangnya, antikemapanan ditafsirkan minus nilai positif. Bukan lagi semangat kemadirian atau semangat melawan dominansi penguasa lewat label-label pembelaan rakyat. Akan tetapi, semangat tampil beda dan keluar mainstream. Di negeri asalnya, kelompok underground memang kebanyakan bercitra negatif, bahkan memuja kekerasan layaknya dewa. Namun, ada pula yang masih bercita rasa positif seperti mengampanyekan penjagaan lingkungan dan sebagainya. Di Indonesia, semua nilai positif itu hilang tak berbekas. Tak ubahnya jenis musik lain yang muncul karena pasar menghendaki. Menjadi penikmat dan penggemar musik ini tak lebih dari sekedar mengikuti tren semata. Tak penting mengerti sejarah dan nilai ideologisnya. Cukuplah tau, sok-sok ber-head bangger menikmati, dan fasih menirukan suara serak sang vokalis.

Kedua, fashion style. Barangkali inilah yang sebenarnya paling digandrungi para remaja tanggung penggila musik aliran ini. Gaya rambut spike, celana yang sangat skinny, jaket kulit penuh badge, piercing, moshing, pogo, dan beragam aksesoris blink-blink lain. Selain kedua hal itu tampaknya cuma adopsi kekerasan yang diimpor mentah-mentah. Beberapa waktu yang lalu, saat berlibur dan berjalan-jalan di pusat kota Palembang, saya mendapati bahwa sebagian besar anak muda di sana bergerombol di pusat-pusat perbelanjaan dengan style pakaian jenis ini. Kadang saya tergelitik untuk iseng bertanya kepada mereka tentang maksud dan sejarah mode pakaian yang mereka kenakan. Saya yakin, 100 % dari mereka hanya mengikuti tren. That’s it.

Inilah barangkali potret remaja Indonesia paling dominan saat ini. Bergerak statis, mengikuti apa kata arus pasar. Robot kapitalis. Cita-cita bagi mereka hanyalah orientasi mendapat pekerjaan layak dan penghasilan. Itu saja. Pantaslah jika mereka tak peduli dengan segala kekacauan identitas yang mereka buat.

Ironisnya, berbagai kelompok masyarakat baik yang berorientasi sosial, politik, dan agama kebanyakan cenderung tidak memperhatikan hal ini dengan serius. Padahal mereka inilah yang akan menjadi aktor-aktor pengelola bangsa di kemudian hari. Produk-produk budaya pop yang minim orientasi positif terus saja mendapat kemudahan regulasi untuk diproduksi. Barangkali pemerintah kita perlu belajar pada Cina. Baru-baru ini, pemerintah Cina mengeluarkan larangan pemutaran dan produksi film dan segala hal yang bertema horror, penggambaran roh dan dunia spiritual lain yang disinyalir menyumbang dampak negatif yang cukup besar bagi perkembangan kejiwaan remaja dan pemuda.

Barangkali benar kata Pramoedya Ananta Toer bahwa bangsa ini sudah kehilangan wibawa dan kepercayaan dirinya secara total pascakeruntuhan Kerajaan Majapahit.

:Muthia Esfand

sumber: http://dunia-esfand.blogspot.com/2008/02/underground-indonesia-ideologi-gaya.html