Lagi-lagi, rupiah kembali melemah. Rabu 27 Agustus 2015, nilai rupiah menembus angka 14.102 per dolar AS. Ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing dan bahan baku impor menjadikan depresiasi rupiah cukup mengganggu produksi dan konsumsi. Bayangkan saja, Kementrian Perdagangan mendata ada 1.151 item barang impor yang biasa dikonsumsi masyarakat Indonesia. Penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri Indonesia juga cukup tinggi. Karena itu, pengusaha sebagai pelaku utama produksi, berusaha bertahan dengan mengurangi kapasitas produksi dan jam kerja untuk menekan biaya produksi. Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang melambat, diprediksi rupiah sulit kembali menguat terhadap dolar AS. Mau tak mau situasi ini memicu keresahan, khususnya kalangan pekerja karena khawatir menjadi korban pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah sendiri pasti kalang kabut dalam situasi ini karena total utang pemerintah pada Mei 2015 saja naik lebih dari Rp 64 triliun dibanding periode April 2015, maka total utang Indonesia berjumlah Rp 2.845,25 triliun pada periode Mei 2015. Belum lagi utang luar negeri swasta yang mencapai 55 persen dari total utang luar negeri Indonesia. Kelesuan kondisi ekonomi di awal 2015 mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan sehingga membuat risiko gagal bayar terhadap bunga pinjaman.
Solusi ‘Abal-abal’
Menghadapi depresiasi rupiah, Pemerintah telah menggulirkan kebijakan pada 17 Maret 2015 lalu untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Namun bagaimana mungkin kebijakan itu mampu menyehatkan perekonomian, jika solusinya hanya bersandarkan pada kemampuan perusahaan. Pemerintah akan memberikan fasilitas keringanan pembayaran pajak (tax allowance) bagi perusahaan yang menginvestasikan kembali dividennya di Indonesia, menciptakan lapangan kerja, berorientasi ekspor, tingkat kandungan lokalnya tinggi, serta melakukan riset dan pengembangan. Padahal tugas untuk memandirikan proses industri, menjamin ketahanan pangan dan industri yang berbasis produk lokal, sekaligus menciptakan peluang pasar dan lapangan pekerjaan adalah tugas pokok pemerintah sebagai penjamin kesejahteraan rakyat.
Ketidaksungguhan pemerintah kian menguat ketika pemerintah masih berkutat dengan pasar non riil. Hal itu tampak ketika pemerintah merestrukturisasi dan merevitalisasi industri reasuransi domestik dengan menggabungkan dua perusahaan reasuransi milik negara menjadi sebuah perusahaan reasuransi nasional. Alasannya, jasa asuransi dan dana pension mengalami defisit 939 juta dollar AS pada 2014. Padahal yang akan menggerakkan perekonomian rakyat adalah sektor riil yang terbukti tahan krisis. Sekalipun pemerintah berusaha menghidupkan UMKM, namun belum ada upaya serius untuk mengayomi 56,5 juta UMKM seluruh Indonesia.
Mengurai Masalah
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Natsir Mansyur berpendapat bahwa penyebab pelemahan rupiah disebabkan fundamental perekonomian Indonesia yang rapuh. Menurutnya pemerintah tidak sungguh-sungguh menata perekonomian seperti tidak menjalankan program program hilirisasi mineral maupun pangan. Akibatnya nilai impor migas mencapai 45 persen, sedangkan impor bahan baku pangan sekitar 60 persen. Belum lagi kebiasaan untuk bertransaksi menggunakan dolar AS seperti yang dilakukan industri penerbangan dan sewa ruang perkantoran di lokasi premium dan bisnis di Jakarta. Padahal Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengatur kewajiban penggunaan rupiah dalam berbagai transaksi di pasar domestik.
Apapun solusi yang dikemukakan pemerintah, memang sulit bagi Indonesia untuk keluar dari masalah karena kondisi itu terkait dengan persoalan fundamental. Jika menilik penyebab depresiasi rupiah, secara umum dikarenakan ketidakmandirian Indonesia dan ketergantungan rupiah terhadap dolar AS. Ketika ekonomi AS relatif membaik yang diikuti pemotongan stimulus oleh Federal Reserve/ The Fed (bank sentral Amerika Serikat) menyebabkan dolar kembali ke AS sehingga otomatis semua mata uang dunia, termasuk rupiah menjadi terpuruk. Di sisi lain, neraca perdagangan dalam negeri anjlok karena 3 tahun ini impor meningkat drastis, sementara ekspor menurun termasuk pada komoditas andalan seperti minyak sawit, batu bara dan karet.
Lebih dari itu, karakter ekonomi kapitalis tidak bisa dipisahkan dari krisis. Krisis akan berulang secara periodik. Jika Indonesia dianggap mampu keluar dari krisis ekonomi tahun 1998, saat itu ketergantungan terhadap impor, termasuk sektor pangan tidak setinggi saat ini. Toh kondisi tersebut tidak bisa dipertahankan, karena krisis kembali menimpa Indonesia pada tahun 2008 hingga kini, yang berdampak pada pelemahan rupiah.
Selama Indonesia masih mengacu pada konsep ekonomi kapitalistik, maka siklus krisis tidak akan mampu dihindari. Jikalau ada pertumbuhan ekonomi, sepenuhnya tergantung pada sektor konsumsi, bukan produksi. Apalagi ketika pemerintah telah melakukan liberalisasi perdagangan sehingga menjadikan Indonesia sebagai pasar yang empuk bagi negara-negara lain termasuk pada barang-barang konsumsi seperti pangan. Tentu saja devisa yang dikeluarkan untuk menyediakan barang-barang tersebut menjadi sangat besar. Konsensus Washington yang diteken Indonesia juga mengharuskan liberalisasi finansial. Aliran dana investasi dengan mudah masuk dan keluar sesuai kondisi dan prospek investasi. Bila menguntungkan, investor akan masuk sehingga nilai tukar menguat dan bursa saham meningkat, demikian pula sebaliknya.
Ketergantungan rupiah terhadap dolar menjadikan mata uang ini menjadi tidak stabil. Dolar dan mata uang lain di dunia saat ini adalah mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas yang bernilai (fiat money). Hanya melalui legalitas undang-undang, otoritas moneter suatu negara dengan mudah mencetak mata uang. Inilah yang dilakukan oleh The Fed, bank sentral AS untuk menyelamatkan ekonomi negara terbesar di dunia tersebut dari keruntuhan akibat krisis tahun 2008. Besarnya kendali AS atas pasokan dolar membuat inflasi menjadi tak terkendali dan telah menyebabkan mata uang negara-negara lain jatuh.
Semua pangkal krisis berawal dari fundamental ekonomi, yakni adopsi dan penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang dipimpin oleh AS. Penerapan sistem ini membawa penderitaan yang sangat luar biasa, karena negara yang menerapkan sistem ini pasti mengalami penjajahan ekonomi yang hanya menguntungkan AS. Ketergantungan pada dolar dan ketidakmandirian secara ekonomi menjadi indikator atas keterjajahan tersebut. Karenanya, untuk memutus rantai neoimperialisme, haruslah mencampakkan sistem ekonomi kapitalis ini dan menggantinya dengan sistem ekonomi Islam yang terbukti tahan krisis dan pasti menjamin kemandirian ekonomi di tataran internasional.
Sistem Ekonomi Islam : Membebaskan dari Krisis
Sebenarnya, siapa saja yang meneliti realitas sistem ekonomi Kapitalis saat ini, akan melihatnya tengah berada di tepi jurang yang dalam, jika belum terperosok di dalamnya. Semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaannya, kecuali hanya menjadi obat bius yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya membutuhkan penyelesaian hingga ke akarnya, bukan hanya menambal dahan-dahannya.
Sesungguhnya sistem ekonomi Islamlah satu-satunya solusi yang ampuh dan steril dari semua krisis ekonomi. Karena sistem ekonomi Islam benar-benar telah mencegah semua faktor yang menyebabkan krisis ekonomi. Sebagai sebuah institusi, Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) memiliki berbagai kebijakan yang mencegahnya terperosok dalam krisis, termasuk kebijakan moneter.
Dalam memandang persoalan mata uang, Islam memandang mata uang negara harus stabil dan tidak bergantung pada mata uang lainnya. Hal ini terjadi jika mata uangnya berbasis emas dan perak, bukan fiat money. Dengan standar dua logam ini, maka nilai nominal uang tersebut akan selalu sama dengan nilai intrinsiknya. Karena itu, nilai mata uang tersebut lebih terikat pada dirinya sendiri dan bukan pada mata uang lainnya, semacam dolar atau euro. Stabilitas nilai mata uang akan mempermudah berbagai perencanaan, penilaian, dan pelaksanaan kegiatan ekonomi.
Keuntungan yang dimiliki oleh sistem uang emas jika dibanding dengan sistem uang kertas ataupun sistem-sistem mata uang lainnya adalah sistem uang emas bersifat internasional. Dunia secara keseluruhan telah mempraktikkan sistem uang emas dan perak, sejak ditemukannya uang, hingga Perang Dunia I. Keunggulan sistem uang dua macam logam tersebut menjadi alasan mengapa harga-harga komoditas saat itu tetap terjaga dengan standar yang tinggi. Akibatnya, laju produksi terdorong dengan kuat karena tidak ada ketakutan adanya fluktuasi harga. Sistem uang emas, juga berarti tetapnya kurs pertukaran mata uang antarnegara. Akibatnya, akan meningkatkan perdagangan internasional. Sebab, para pelaku bisnis dalam perdagangan luar negeri tidak takut bersaing. Karena kurs uangnya tetap, maka mereka tidak khawatir dalam mengembangkan bisnisnya.
Syariat Islam juga melarang kegiatan ekonomi non riil karena sifatnya yang spekulatif nonproduktif (transaksi derivatif), baik yang terjadi di pasar uang, pasar valas, pasar saham, ataupun pasar berjangka komoditas. Dalam perdagangan, keuntungan diperoleh melalui inisiatif, kerja keras usaha, dan tentu saja, merupakan hasil dari suatu proses penciptaan nilai yang jelas. Namun, tidak demikian halnya dengan riba, yang tidak membutuhkan semua itu.Transaksi ini menjadikan ekonomi suatu negara labil.
Islam melarang riba, baik di sektor perbankan maupun di sektor lainnya karena sistem ini tidak menghasilkan nilai tambah ekonomi yang berarti, bahkan sebaliknya menyebabkan ekonomi menjadi stagnan. Dengan adanya larangan kegiatan spekulatif nonproduktif serta larangan kegiatan memungut rente (riba), diharapkan ekonomi suatu negara menjadi lebih stabil. Kondisi ini akan memberikan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi di berbagai sektor.
Uraian di atas hanya sebagian kecil saja dari keunggulan sistem ekonomi Islam. Begitulah, sistem ekonomi Islam benar-benar telah menyelesaikan semua kegoncangan dan krisis ekonomi yang mengakibatkan derita manusia. Ia merupakan sistem yang difardhukan oleh Tuhan semesta alam, yang Maha Tahu apa yang baik untuk seluruh makhluk-Nya. “Apakah Allah Yang Maha menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Q.S al-Mulk : 14). Jadi, bersegeralah mewujudkannya bersama Hizbut Tahrir. [htipress/www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment