Suatu ketika seorang laki-laki datang menemui saya. Usianya kira-kira 30 tahun atau sedikit kurang dari itu. Di teras masjid, ia bertanya perihal kemenakan perempuannya yang mulai menampakkan gejala aneh. Usia kemenakannya waktu itu sekitar 14 tahun; usia kelas 2 atau 3 SLTP.
“Dia kelihatan tidak suka kalau saya ada urusan yang berkait dengan akhwat atau pembicaraan saya menyinggung soal wanita,” demikian laki-laki itu mengeluh, “Sepertinya dia cemburu. Apa yang demikian ini wajar?”
Masih ada berbagai keluhan senada tentang kemenakannya yang semakin menunjukkan sikap menyukai paman, bukan dalam hubungan antara kemenakan terhadap pamannya. Tetapi antara seorang wanita muda yang tengah jatuh cinta kepada seorang lelaki pujaan hatinya. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana ini sebenarnya? Sebuah pertanyaan yang sangat luas.
Saya kemudian menanggapi pertanyaan laki-laki tersebut dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah masih sering tidur dengan kemenakan ketika dia sudah berusia sepuluh tahun?”
Pertanyaan ini ternyata mengejutkan. Ia balik bertanya dengan raut muka menampakkan keheranan, “Kan wajar? Dia kemenakan saya. Masa paman mempunyai perasaan yang aneh-aneh terhadap kemenakannya sendiri? Apa itu berpengaruh? Lho, kok bisa usia sepuluh tahun?”
Itulah. Perkara ini kelihatan wajar. Ya, seorang paman tidak punya pikiran macam-macam ketika bercerita kepada kemenakan perempuan sambil tiduran dalam satu tempat tidur. Yang terbersit hanya menyenangkan kemenakan yang mungkin dilakukan sembari membacakan cerita-cerita menarik. Masalahnya adalah, Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam telah melarang.
Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun, dan pukullah jika enggan melakukan shalat bila telah berusia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Abu Dawud).
Sangat jelas perintah dalam hadis ini. Kita hendaknya memisahkan tidur anak dari orangtua begitu usianya menginjak 10 tahun. Seorang anak perempuan hendaknya tidur terpisah dari saudaranya yang laki-laki. Ia pun tidak lagi boleh tidur bersama dengan orang dewasa laki-laki, sekalipun itu bernama pamannya sendiri. Satu lagi, seorang anak perempuan tidak boleh lagi tidur dalam satu selimut dengan anak perempuan. Seorang anak laki-laki juga tidak boleh tidur dalam satu sarung dengan sesama laki-laki, meskipun itu kakak atau adiknya sendiri.
Inilah petunjuk yang dapat kita petik dari hadis riwayat Abu Dawud tersebut. Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam. Melanggar ketentuan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini akan sangat riskan. Penyimpangan perilaku seksual dapat terjadi pada diri anak. Bentuk penyimpangan itu dapat secara nyata terlihat dalam perilaku-perilaku seksual, misalnya dorongan untuk melakukan hubungan seksual dengan teman bermain, binatang atau boneka. Dapat pula dalam bentuk perilaku-perilaku agresif, semisal berkelahi atau menunjukkan keberanian meminum minuman keras di hadapan lawan jenis.
Berbagai kasus tindakan asusila yang dilakukan oleh remaja belasan tahun, tidak sedikit yang dapat kita runut akarnya dengan memahami hadis ini. Ada memang, dan itu tidak sedikit, anak-anak yang mengalami gejolak seksual sehingga melakukan kejahatan bersebab tayangan pornografis, baik dari melihat VCD porno maupun paparan pornografis yang ada di smartphone miliknya maupun orangtua. Ada orangtua yang menjauhkan diri dari mengakses pornografi, tapi membiarkan group WA atau yang sejenisnya memuat konten pornografis.
Usia sekitar 9 atau 10 tahun (ingat, dalam hadis tersebut 10 tahun merupakan hitungan Qamariyah yang lebih pendek masanya), merupakan titik yang sangat rawan. Perempuan dapat mencapai aqil baligh pada usia ini dengan ditandai adanya menarche (menstruasi pertama). Sementara anak laki-laki pada umumnya akan mengalami ihtilam (mimpi basah) sekitar 2 atau 3 tahun sesudah usia itu. Sekalipun demikian, di masa sekarang semakin banyak anak yang mengalami ihtilam lebih awal dibanding anak-anak di masa sebelumnya. Usia 10 tahun pun boleh jadi sudah ada yang menjadi muhtalim (orang yang mengalami mimpi basah).
Pada masa ini, bayangan seksual mulai mengganggu pikiran anak, bahkan dapat berpengaruh sangat kuat jika anak tidak memiliki kebiasaan produktif, sementara pada saat yang sama kerap terpapar pornografi. Tumbuh dorongan dalam diri mereka untuk menyukai lawan jenis serta mengalami kemesraan dengannya. Di saat yang sama, lantaran dorongan untuk mengalami kemesraan tersebut, ada jurang yang dapat menggelincirkan mereka ke dalam penyimpangan sehingga mereka menyukai sesama jenis. Itulah sebabnya, mereka tidak diperkenankan tidur dalam satu sarung dengan sesama jenis.
Istilah amrad yang menunjukkan tahap perkembangan antara usia 10-15 tahun, memiliki konotasi dengan cantik-cantiknya seorang remaja laki-laki. Inilah masa anak bersemangat. Kemana semangat itu mengarah? Tergantung dari apa yang hadir kepadanya, yang paling dominan menghiasi hidupnya. Dominan bukan terutama berkait dengan seringnya anak bertemu dan berinteraksi dengan sesuatu, tetapi berhubungan dengan apa yang paling berkesan dan membanggakan. Pertanyaannya, apakah yang hadir dalam dirinya adalah missi suci berbentuk idealism yang kokoh ataukah justru iklan-iklan tak senonoh berbagai produk yang meski dikutuk, dibeli juga produknya? Ataukah senandung nyanyian yang tak jelas syairnya?
Inilah hal-hal yang perlu kita perhatikan ketika merenungi kenakalan anak-anak “masa kini” yang semakin mengkhawatirkan. Kejahatan seksual (saya tidak suka menyebutnya sebagai kenakalan) kerap berawal dari kecerobohan orang-orang dewasa di sekitarnya, termasuk orangtua. Na’dzubillahi min dzaalik. Karena itu, jangan segan-segan untuk meninggalkan group WA dan sejenisnya apabila di dalamnya ada anggota yang kerap berkirim gambar maupun konten porno lainnya. Persahabatan dapat Anda jaga dengan cara lain (jika seandainya memang perlu dijaga), tetapi tidak dengan mengorbankan idealism atas anak.
Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dan anak-anak kita serta keturunan kita dari fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Semoga Allah Ta’ala sucikan kita dan keturunan kita hingga Yaumil-Qiyamah, betapa pun banyaknya dosa-dosa kita saat ini. Allahumma aamiin.
Saya tidak akan membicarakan berbagai kecerobohan orangtua di saat anak mulai memasuki usia 10 tahun hingga ke masa-masa remaja. Saya hanya ingin mengajak Anda untuk merenungi kembali dua hal penting berkait dengan aurat dan pendidikan anak. Pertama, menegakkan perintah Allah ‘azza wa Jalla di dalam Al-Qur’an surat An-Nuur ayat 58-60 berkait dengan waktu-waktu aurat yang tiga. Ini sangat perlu kita perhatikan. Kedua, menjaga anak-anak dari terpapar oleh maksiat, termasuk akibat primal-scene (melihat orangtua berhubungan) akibat tidak adanya kehati-hatian atau karena lengah.
Semoga catatan sederhana ini bermanfaat dan mendapatkan barakah dari Allah Ta’ala.*
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
[www.globalmuslim.web.id]
Post a Comment