Bakrie, Rothschild, Batubara Indonesia dan Perspektif Islam

Dr. Hendri Saparini
Direktur Pelaksana ECONIT

Laporan keuangan Bumi Resources September 2012 menyebutkan total cadangan batubara perusahaan tersebut (PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin) mencapai 2,6 miliardengan target produksi sekitar 75 juta ton. Cadangan tersebut telah menjadikan Bumi sebagai produsen batubara terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar 27%. Ongkos produksi yang sangat murah, telah memberikan peluang perusahaan tersebut meraup keuntungan luar biasa. Dengan biaya produksi rata-rata 42 dollar per ton, jenis batu batubara berkalori tinggi tersebut dijual rata-rata 92 dollar, sehingga ada potensi keuntungan 50 dollar per ton. Tidak heran bila tahun 2011 laba operasionalnya mencapai US$ 1,12 miliar atau sekitar Rp 10 triliun. 

Gurihnya bisnis batu bara membuat para investor dalam dan luar negeri berlomba untuk membiakkan dana mereka di sektor ini. Tak terkecuali Nathaniel Philip Rothschild. Pada November 2010, melalui perusahaan barunya Vallar Plc, salah satu anggota keluarga bankir terkaya di dunia itu melakukan tukar guling saham dengan kelompok usaha Bakrie. Dalam transaksi tersebut, Grup Bakrie melepaskan 25% saham Bumi Resources senilai Rp 13 triliun dan memperoleh 90,1 juta saham baru Vallar seharga £10 per saham. Dengan demikian, Bakrie menguasai 43% saham Vallar, sedangkan Vallar memiliki 25% saham Bumi Resources (kini 29% persen). Vallar kemudian berganti nama menjadi Bumi Plc dimana Rothschild memegang 11% saham di perusahaan itu. 

Potensi bisnis yang sangat baik, mendorong Rothschild meningkatkan kepemilikannya di  Bumi Resources. Upaya ini mendapat perlawanan dari group Bakrie. Puncaknya ketika Bumi Resources menggandeng Samin Tan pemilik PT Borneo Lumbung Energy masuk ke jajaran Bumi Plc dengan menjual 23,8% sahamnya senilai US$ 1 miliar (Rp 8,5 triliun). Samin Tan lantas diangkat menjadi Chairman Bumi. Sementara Rothschild yang sebelumnya menjabat Co Chairman didepak ke posisi direktur non eksekutif. Aksi inilah yang oleh sejumlah analis pasar dinilai sebagai salah satu penyebab keretakan hubungan Rothschild dengan group Bakrie. 

Perseteruan makin parah karena harga harga batubara di pasaran internasional terus melorot sehingga menekan harga saham. Sepanjang tahun ini, harga saham Bumi Resource sudah terkoreksi 73% dari Rp 2.521 pada (2/1/12) ke level Rp 680 (8/10/12) per lembar saham. Di sisi lain utang grup Bakrie pun terus menggunung sehingga rekayasa keuangan (refinancing) termasuk pembiayaan dari dana-dana berbunga tinggi harus dilakukan.

Potensi Batubara Indonesia

Saat ini hampir 95 persen tambang batubara di Indonesia dikuasai pihak swasta seperti: Adaro, Bumi Resource dan Bayan. PT Bukit Asam, satu-satunya BUMN yang memproduksi batubara, pada tahun 2010 hanya menguasai lima persen total produksi batubara nasional. 

Besarnya pendapatan dari tambang ini membuat pemilik perusahaan-perusahaan swasta tersebut selalu bertengger dalam daftar orang-orang terkaya Indonesia yang dikeluarkan majalah Forbes dan GlobeAsia. Betapa tidak, selain lebih mudah diproduksi, batu bara Indonesia sebagian besar bersifat open pit (tambang permukaan), royalti yang dikenakan atas komoditas tersebut juga hanya 3-6 persen per tonnya (PP No.9 Th 2012 tentang PNBP pada ESDM). 

Dampak dari penguasaan swasta terhadap komoditas tersebut, amat merugikan rakyat dan negara. Kerugian tersebut antara lain, potensi pendapatan negara dari sektor tersebut menjadi sangat minim. Padahal jika sumber energi ini sepenuhnya dikelola negara maka penerimaan negara akan sangat besar. Pada tahun 2010, produksi batu bara nasional sebanyak 275 juta ton. Jika diasumsikan seluruh batu bara tersebut dijual dengan harga US$71 per ton(harga rata-rata penjualan Bumi tahun 2010), dengan kurs Rp9,000 per dollar, maka nilai penjualannya mencapai Rp176 triliun. Jika rata-rata biaya produksi batubara sebesar US$34 per ton (biaya produksi rata-rata Adaro & Bumi tahun 2010) maka totalnya mencapai Rp84 triliun. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh Rp92 triliun.  Faktanya pada tersebut pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari komoditas tersebut sangat kecil hanya sebesar Rp19,6triliun. 

Selain itu, buruknya pengaturan izin pertambangan batubara sebagaimana hasil temuan BPK tahun 2010 membuat pengelolaan sumberdaya tersebut tidak dapat dikontrol secara optimal oleh pemerintah. Dengan diserahkannya pemberian izin pertambangan kepada pemerintah daerah, menjadikan penerbitan izin Kuasa Pertambangan (KP) menjadi serampangan. Banyak dari KP yang kurang dan terlambat  menyetor PNBP. Belum lagi kelihaian sebagian investor untuk melakukan manipulasi laporan keuangan sehingga setoran pajak menjadi lebih rendah. Negara telah sangat dirugikan karena potensi finansial yang diperoleh menjadi sangat terbatas. 

Belum lagi kerugian nasional secara ekonomi. Meski komoditas tersebut merupakan sumber energi yang murah namun sebagian besar komoditas tersebut justru diekspor. Diekspornya energi primer secara besar-besaran tentu telah menjadikan Indonesia kehilangan potensi  manfaat ekonomi dari kekayaan alam dalam mendorong ekonomi riil. Padahal di saat yang sama, kebutuhan domestik terhadap komoditas itu masih sangat tinggi. Sejak 2004-2010 misalnya, 76 persen dari produksi batubara Indonesia diekspor ke luar negeri khususnya China dan India. Padahal cadangan Indonesia hanya 28 miliar atau tiga persen dari total cadangan dunia. Bandingkan misalnya dengan China yang mencapai 115 miliar (14%) dan Australia sebesar 76 (9%) serta India sebanyak 59 miliar (7,1%). 

Selain itu juga kerugian karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan tersebut yang juga amat parah. Temuan BPK juga mengungkapkan bahwa banyak KP yang mengingkari kewajibannya untuk melakukan reklamasi dan kewajiban lain pasca tambang. Anehnya pelanggaran-pelanggaran tersebut banyak yang tidak mendapatkan sanksi dari pemerintah setempat. Bukan itu saja, ambisi untuk meraup rente sebanyak-banyaknya membuat pemberian izin tak lagi ditelaah secara cermat. Akibatnya banyak terjadi tumpang tindih lahan terkait pemberian Kuasa Pertambangan yang berujung pada konflik horizontal antara sesama investor maupun secara vertikal antara investor dengan pemerintah. 

Perspektif Islam

Sejatinya kisruh antara grup Bakrie dan Rothschild hanyalah secuil dari persoalan pengelolaan bisnis di negeri ini yang mengacu pada sistem ekonomi kapitalisme liberal. Dalam sistem tersebut kebebabasan memiliki dan kebebasan berusaha dijamin oleh negara melalui undang-undang. Peran negara sedapat mungkin diminimalkan dan hanya diposisikan sebagi regulator. Dengan demikian investor swasta yang bermodal besar menjadi penguasa di sektor ekonomi termasuk di sektor pertambangan. 

Batubara sebagaimana halnya tambang yang melimpah lainnya seperti minyak bumi dan gas dalam perspektif ekonomi Islam merupakan barang milik umum (al milkiyyah al-ammah). Dengan demikian pengelolaannya harus diserahkan kepada negara dan seluruh hasilnya seluruhnya digunakan untuk kepentingan publik. Dengan demikian ia tidak boleh diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing sebagaimana dicontohkan pada jaman Rasulullah SAW yang membatalkan pemberian hak tambang garam pada swasta. 

Apakah praktik monopoli penguasaan dan pemilikan energi pada negara menurut aturan Islam ini tidak lagi dapat dipraktikkan di zaman ini? Justru sebaliknya. Malaysia hingga saat ini memberikan kekuasaan besar pada negara untuk mengatur migas lewat Petronas. China memilimi beberapa BUMN di sektor energi dan menerbitkan buat undang-undang yang melarang energi primer diekspor dan melarang swasta ikut menguasai sektor energi. Namun para ekonom pengusung kapitalisme liberal tetap berdalih bahwa Indonesia tidak akan mampu baik dari segi modal, SDM maupun teknologi. Mereka lupa bahwa investor asingpun tidak menggunakan uang mereka sendiri untuk mengelola berbagai sumber kekayaan alam Indonesia. Setelah negara memberikan konsesi atau hak penguasaan SDA pada investor, maka mereka gunakan cadangan kekayaan SDA terseut untuk mencari pembiayaan, untuk membeli teknologi dan mencari SDM terbaik dunia. Hal yang sama akan dapat dilakukan BUMN-BUMN kita bila negara memberikan hak kepemilikan pada perusahaan-perusahaan milik negara tersebut. Kekayaan alam dapat diolah tetapi kepemilikan publik atas SDA tersebut tidak beralih. Wallahu a’lam bisshawab
[www.globalmuslim.web.id]