Koalisi Sekuler ; Antara Idealis dan Pragmatis

“Saya maklum kalau Demokrat gerah, karena PKS tangan satunya salaman dengan pemerintah tapi tangan satunya menusuk pinggang pemerintah.”
Ini adalah komentar salah satu anggota dewan menanggapi kisruh koalisi akhir-akhir ini. Memang benar, masing-masing parpol memiliki agenda dan target tersendiri di pemilu 2014. Termasuk PKS dan Golkar. Meski sisa 3,5 tahun lagi berkoalisi dengan partai sekuler terbesar Partai Demokrat keduanya memiliki manuver politik yang kadang berbeda dengan partai induk. Alhasil, dua parpol tersebut belakangan ini ramai diwacanakan bakal dikeluarkan dari Setgab Koalisi. Bahkan diisukan akan terjadi reshuffle kabinet akibat kisruh koalisi ini. Padahal, semula komposisi koalisi tetap ingin dipertahankan pasca kasus Century. Namun, menyusul sikap PKS dan Golkar dalam voting penggunaan usulan hak angket mafia pajak DPR ada sinyal bahwa mereka bakal didepak dari koalisi.

Seperti yang dituliskan detik.com, isu PKS-Golkar akan dicoret dari koalisi belakangan ini semakin menguat pasca pidato Presiden SBY mengenai kisruh dalam Setgab Koalisi. Di dalam pidatonya Selasa (1/3) lalu, Presiden SBY selaku Ketua Setgab Koalisi menyebut bahwa mitra koalisi yang tidak lagi sepakat dengan kesepakatan awal yang sudah ditandatangani, sebaiknya meninggalkan koalisi. Akan tetapi, sinyal ingin terus bertahan dalam koalisi sempat keluar dari Golkar dan PKS. Meski Partai Demokrat (PD) belum mengambil sikap. Keputusan sepenuhnya diserahkan kepada SBY.
“Mereka bilangnya ingin bertahan,” kata Anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok saat dikonfirmasi, Sabtu (5/3/2011).

Menanggapi keinginan PKS dan Golkar bertahan di Setgab Koalisi, Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiharto berkomentar, “Kalau dari suasana kebathinan kawan-kawan partai koalisi, rasanya kuota toleransi sudah sangat menipis. Lucu kalau sekarang memohon untuk tetap di dalam koalisi. Tidak baik untuk pendidikan politik, preseden buruk bagi konsolidasi demokrasi”.


Inilah potret politik Indonesia dan rata-rata nagara kapitalisme. Semua manuver politik bisa dikompromi dengan tujuan kepentingan parpolnya. Hal ini yang digambarkan pula oleh pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Widjaya.
PKS ini di satu sisi ingin idealis, tapi sikap politiknya pragmatis. PKS cenderung melihat arah angin, dekat kekuasaan sehingga memiliki jatah menteri” ujarnya.

Seperti yang lama diketahui, Setgab Koalisi adalah koalisi antar parpol pendukung rezim SBY. Koalisi yang terbentuk pasca pemilu legislative 9 april 2009 lalu ini merupakan koalisi sesama parpol sekuler dan koalisi parpol sekuler dengan parpol berbasis islam guna mendukung SBY yang maju dalam Pilpres 2009 silam. Kondisi koalisi mulai menghangat sejak kasus Century dan terakhir berkaitan dengan masalah hak angket mafia pajak.

Ulama Ikhwanul Muslimin, Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban dalam kitab At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam menyebutkan arti koalisi politik dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Dengan mengamati realitas politik praktis, Ustadz Shiddiq Al-Jawi mendefiniskan koalisi parpol Islam dan parpol sekuler secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.


Melihat fakta aktivitas koalisi terkini maka dapat dikatakan bahwa koalisi yang terjadi selama ini adalah koalisi pragmatis yang menggadai ideologi dan idealisme partai. Semua aktivitas koalisi berkutat tentang bagaimana sistem dan rezim yang berkuasa yang notabene sistem dan rezim thoghut, kufur serta jahiliah dapat langgeng. Undang-Undang yang diterapkan masih saja hukum kufur, melanjutkan UU sebelumnya yang bertentangan dengan Syariat Islam. Kalaupun ada yang berbau Syariah, sifatnya hanyalah parsial dan sedikit. Meskipun parpol berbasis massa islam berdalih gabungnya mereka dengan parpol sekuler sebagai bagian dakwah tetap saja fakta berbicara lain. Yang ada justru koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Dapat dilihat bagaimana banyak kebijakan rezim SBY yang terbukti antek Amerika masih tetap diaminkan demi jatah menteri dan posisi pentingnya dengan label dakwah Islam!

Melihat realitas politik di Indonesia yang tambah carut marut karena kuatnya aroma pragmatis dalam tubuh parpol sekarang, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin berharap politisi yang tengah dibuai hiruk pikuk kekuasaan jangan sampai melupakan kepentingan rakyat. “Saya mengharapkan kepada para politisi dan parpol jangan asyik masyuk, jangan hiruk pikuk dengan kursi dengan kekuasaan dengan mengabaikan penderitaan dan aspirasi rakyat,” kata Din Syamsuddin di sela-sela peresmian gedung G Inspire Universitas Muhammadiyah Surabaya (5/3/2011).
Oleh sebab itu, Anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Amanat Nasional (PAN), Abdillah Toha berpendapat sulit membuat partai politik Islam berkoalisi di Pemilu 2014. Parpol Islam sebaiknya membentuk konfiderasi. Bukan koalisi.
“Itu pernah dibicarakan (partai Islam berkoalisi). Idealnya seperti itu,” kata Abdillah usai menghadiri seminar bertajuk “Islam, Peace and Justice” di Hotel Sahid, Jl Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu (5/3/2011).

Kisruh koalisi diharapkan jangan malah dijadikan sebagai ajang perebutan kekuasaan. Dimana ada pertarungan idealis dan pragmatis disana. Jangan sampai kisruh koalisi menjadi ajang penegasan diri parpol, yaitu sebagai teman setia atau boneka parpol rezim. Sebaliknya, parpol harus fokus kepada masalah-masalah pokok yang mendera bangsa ini dan solusi mendasar atas masalah tersebut. Ide koalisi parpol berbasis massa islam pun bisa menjadi alternatif melawan manuver politik sekuler. Asalkan, koalisi parpol ini benar-benar murni memperjuangkan aspirasi umat islam yang bersifat ideologis. Yaitu tuntutan ganti sistem dan rezim dengan cara penerapan syariat Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
(Zuhandri, BLDK Palembang)