Doktrin Pluralisme Agama JIL dan Theosofi (Bag. 1)

alt


Doktrin pluralisme agama yang diasong oleh kelompok liberal di Indonesia sejatinya adalah dagangan usang yang sudah sejak lama dipasarkan kelompok kebatinan Yahudi: Theosofi!

Sebelum menjelaskan mengenai maksud tulisan ini, ada baiknya dijelaskan sedikit tentang apa itu Theosofi. Pendiri Theosofi, Helena Petrovna Blavatsky dalam buku the Key to Theosophy menyatakan, “Theosofi adalah the wisdom religion (Agama Kearifan) yang berusaha mempersatukan agama-agama yang ada dalam sebuah “kesatuan hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan.” Agama menurut Blavatsky, adalah tunas-tunas dari batang pohon yang sama, yaitu the wisdom religion.

Dalam buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” penulis secara ringkas menjelaskan Theosofi sebagai aliran kebatinan Yahudi yang bertujuan merusak semua agama-agama dengan doktrin-doktrin halus tentang persaudaraan universal dan persamaan semua agama-agama. Theosofi mempunyai mantra halus, menyatukan semua agama-agama dalam suatu “kesatuan hidup” yang ujungnya adalah menciptakan agama baru: Agama kemanusiaan! Inilah sesembahan utama organisasi-organisasi bentukan Yahudi yang menginduk pada ajaran kuno  Kabbalah.

Dr Annie Besant, salah seorang tokoh Theosofi mengatakan, “Kami berseru kepada kamu semua: ‘Marilah kita bekerja secara bersama-sama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama kemerdekaan di dunia dari kerajaan surga yang sejati. Inilah kita punya haluan.” Sedangkan Presiden Masyarakat Theosofi Internasional N. Sri Ram dalam pidato di Bandung pada tahun 1953 mengatakan, “Semua agama baik dan berguna, dan tujuannya adalah sama, yaitu kesempurnaan.”

Karena itulah, sebagai organisasi yang mengabdi kepada kemanusiaan dan bertujuan merusak keyakinan semua agama-agama dengan doktrin pluralisme, Theosofi mempunyai motto: “Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran.”  Artinya, agama apapun, selama menjalankan kebenaran, menyampaikan kebaikan, menebar kasih sayang, maka pada hakekatnya adalah sama. Bagi JIL, mereka semua juga akan mendapat balasan surga.

Inilah yang  juga menjadi keyakinan kelompok liberal di Indonesia. Dalam buku “Lubang Hitam Agama”, Sumanto Al-Qurtubi, aktivis liberal yang saat ini bermukim di Amerika dengan sinis mengatakan, bahwa suatu saat kita jangan terkaget-kaget jika di surga nanti kita juga akan menjumpai, Bunda Theresa, Mahatma Ghandi, Martin Luther King, dan lain-lain. Karena bagi Sumanto dan aktivis liberal lainnya, Bunda Theresa, Ghandi, dan tokoh-tokoh kafir lainnya, juga akan mendapatkan balasan yang sama sebagaimana umat Islam yang menebarkan kebaikan dan kasih sayang.

Keyakinan tersebut juga dipertegas oleh Ulil Abshar Abdalla, pentolan kelompok liberal yang saat ini aktif sebagai fungsionaris Partai Demokrat. Dalam buku “Bunga Rampai Surat-Surat Tersiar” Ulil menyatakan, “Saya sangat mencintai Islam karena itulah agama yang “membuka” mata saya pada dunia. Itulah agama yang mengajarkan tentang baik dan buruk, tentang keadilan, tentang cinta, tentang hormat, tentang do unto others what you wish others do  unto you, ajaran yang baru saya  ketahui ternyata ada dalam semua agama, dan  karena itu Bung, kemudian saya berpandangan, bahwa pada intinya semua agama sama (sekali lagi pada intinya, bukan pernak-perniknya)”—kalimat dalam kurung asli dari tulisan Ulil.

Ulil kemudian menambahkan, “Islam tidak pernah membatalkan kebenaran agama lain, entah agama yang berada di lingkungan agama semitik, atau di luarnya. Islam memandang dirinya sebagai bagian dari keluarga besar “wahyu ketuhanan” yang turun kepada semua agama di muka bumi. Dalam wawasan semacam ini, saya hendak menempatkan Islam sebagai agama yang benar, diantara agama-agama lain yang juga benar…”

Tokoh liberal lainnya, Budhy Munawar Rahman, dosen Universitas Paramadina,  dalam sebuah tulisan berjudul, “Basis Theologi Persaudaraan Antar Agama” menyatakan, “Pemeluk agama apapun layak disebut sebagai “orang beriman”, dengan makna “orang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu sesuai dengan QS.49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman. Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman—tanpa harus melihat agamanya apa—adalah sama di hadapan Allah. Karena Tuhan kita semua, adalah Tuhan Yang Satu.”

Budhy Munawar Rahman menambahkan, agama yang benar adalah agama yang membawa sikap pasrah kepada Tuhan, apapun namanya. Inilah yang disebut sebagai inklusifisme dalam beragama. Jadi Islam yang pasrah kepada Tuhan sama dengan Kristen yang pasrah kepada Tuhan. Budha yang pasrah pada Tuhan, sama dengan Katolik yang pasrah pada Tuhan.

Keyakinan serupa juga ditulis oleh Sukidi, aktivis liberal yang berasal dari lingkungan Muhammadiyah, “Sikap pasrah menjadi kualifikasi signifikan dari theology inklusif Cak Nur (Nurcholis Madjid, red). Bukan saja kualifikasi seorang yang beragama Islam, tetapi ‘muslim’ itu sendiri (secara generik) juga dapat menjadi kualifikasi penganut agama lain, khususnya para penganut kitab suci, baik Yahudi maupun Kristen. Maka konsekuensi secara teologis bahwa siapapun diantara kita—baik sebagai seorang Islam, Yahudi, Kristen maupun shabi’in—yang benar-benar beriman kepada Tuhan dan Hari Kemudian, serta berbuat kebaikan, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan…”

Inilah keyakinan soal pluarlisme agama para aktivis liberal, yang sejalan sebangun dengan kelompok Theosofi. Agama bagi mereka semua sama, selama menyerahkan kepasarahannya kepada Tuhan. Anehnya, Budhy Munawar Rahman, Ulil Abshar Abdalla, Sukidi, dan aktivis liberal lainnya, tidak pernah menjalankan kepasrahannya kepada Tuhan dengan beribadah di klenteng, gereja, ataupun pura. Toh, semua agama bagi meraka sama, yang penting bersikap pasrah sama Tuhan!

Artawijaya
Kontributor Suara Islam Online