Bom Buku Muncul, Tsunami Wikileaks Lenyap

Mulyanto
(Pemerhati Sosial Politik, Anggota PSPI –Pusat Study Peradaban Islam-)

Lagi-lagi geger tentang bom. Kali ini empat paket bom dikirim ke empat alamat yang berbeda. Pertama dikirimkan kepada Ulil Abshar Abdalla mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berkantor di Utan Kayu, Jakarta Timur. Kedua dikirimkan ke kantor Badan Nasional Narkotika (BNN) yang dipimpin Komjen Gories Mere yang juga dikenal sebagai ‘pengawal’ Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri. Ketiga dikirim ke rumah Ketua Pemuda Pancasila Japto Sulistio Suryosumarno serta yang keempat dikirim ke rumah musisi Ahmad Dhani di Pondok Indah, Jakarta Selatan.  Pro kontrapun segera bergulir tentang siapa pelaku dan apa motif  sesungguhnya. Apakah politik, ideologis atau yang lainnya.
Menurut Soeripto –mantan Kabakin-  bahwa bom tersebut merupakan pekerjaan intelijen. Menurutnya situasi Indonesia saat ini, yang sangat memungkinkan adalah inteligen professional. Soeripto tidak yakin bom tersebut diprakarsai oleh teroris. Karena teroris di Indonesia hampir tidak lagi berjalan pasca-Abubakar Ba'asyir ditangkap.

Sementara pengamat militer dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego menjelaskan, di negara seperti Asia Selatan dan Asia Tenggara, bom sering dipergunakan sebagai alat represif. Hal tersebut merupakan bagian dari upaya menyampaikan kehendak atau aspirasi dengan cara yang biadab. Di Indonesia, menurutnya terjadi karena hukum tidak lagi menjadi panglima. Hukum sering dibeli oleh kekuatan uang.

Namun menurut ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, aksi tersebut hanyalah aksi vandalisme belaka lebih di dorong oleh motif pribadi dengan kalkulasi seadanya.

Mantan ketua umum PB NU KH Hasyim Muzadi menyebut akar dari teror bom buku di sejumlah tempat di Jakarta termasuk di markas Jaringan Islam Liberal (JIL) bervisi ideologi agama. Hasyim melihat aksi teror menunjukkan adanya pertarungan Islam garis keras dengan liberal. Menurutnya ada dua kelompok ekstrem yang masuk di Indonesia yaitu, ekstrem keras kanan (tatorruf tasyadudi), dan ekstrem lunak/liberal pro barat (tatorruf tasahuli). Ekstrem keras, sedikit-sedikit bilang, bunuh, serang, kafir dan sebagainya sementara ekstrem lunak atau liberal sering menggugat al Qur’an dan Nabi Muhammad dengan menyatakan tidak maksum, al Qur’an perlu direvisi dan lainnya.  

Sementara Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai mensinyalir pelaku bom buku merupakan satu jaringan dengan jaringan terorisme yang selama ini ada.Menurutnya hal tersebut merupakan perbuatan jaringan teroris yang selama ini beroperasi.

Sayangnya, jika disebut pelakunya teroris, kekritisan kita hilang. Persoalan nanti terbukti atau tidak, itu masalah lain. Yang jelas dengan menyebut pelakunya teroris sudah ada justifikasi siapa yang harus disalahkan. Fenomena ‘kambing hitam’ ini bukanlah hal baru. Pada masa Orde baru, ada istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan menunjuk kepada kaum muslimin yang dianggap radikal. Sementara ekstrem kiri menunjuk orang-orang PKI yang dicitrakan bengis, kejam dan banyak berbuat kerusakan.

Bukan hanya itu, orang yang dituduh PKI mengalami banyak kesulitan di masyarakat. Baik ekonomi, sosial maupun politik. Secara ekonomi mereka akan dibatasi. Tidak boleh memperoleh hak-hak ekonomi yang layak. Secara sosial, ada semacam hukum ‘pengucilan’ dan menempatkan bukan bagian dari masyarakat yang masing-masing mempunyak hak dan kewajiban sebagai akibat interaksi sosial. Secara politik, mereka tidak boleh bergabung dengan partai politik. Hak-hak politiknya harus dipangkas, bahkan dihabisi.

Lagi-lagi geger bom buku ini menghilangkan tsunami Wikileaks yang menuduh SBY menyalahgunakan kekuasaannya. Hal ini terjadi setelah headline dua media berpengaruh di Australia, The Age dan The Sydney Morning Herald memberitakan tuduhan terhadap Presiden SBY yang dianggap telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan politik. Berita tersebut diperoleh dari sumber kawat diplomatik AS yang bocor, Wikileaks.

Bukan sekedar menuduh SBY,  The Age juga menyebut Ibu Ani Yudhoyono  mempunyai peran aktif dalam mempengaruhi kebijakan politik suaminya. Ani Yudhoyono juga disebut mempunyai hubungan baik dengan para pengusaha, termasuk pengusaha kaya Tomy Winata. Nampaknya, tsunami Wikileaks ini harus berpindah menjadi geger bom buku.
[muslimdaily.net]