Kritisi Draft Amandemen UUP
Kerangka amandemen UU Perkawinan telah lama disusun oleh para aktivis perempuan, pasca kegagalan mengusung Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI) yang dimotori Feminis Musdah Mulia. CLDKHI memang secara terang-terangan dan frontal menyerang Islam, karena itu langsung dianulir. Namun, para pengagas CLDKHI tak kurang akal. Mereka berupaya memasukkan substansi-substansi CLDKHI dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Diantaranya berhasil digolkan menjadi hukum positif, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT) yang berhasil memotivasi kaum perempuan untuk berani melawan suami dan berani bercerai; UU Perlindungan Anak (UU PA) yang meliberalkan anak-anak sejak dini dan menegaskan peran orang tua dalam mendidik anak; serta UU Kewarganegaraan yang semakin melegalkan pernikahan campuran beda agama (yang dalam agama tertentu (baca:Islam) dilarang) dan memudahkan pelegalan anak hasil perzinaan.
Dalam hal pelarangan poligami sebagaimana dikehendaki CLDKHI, mereka membidik UU Perkawinan. Poligami ditentang habis-habisan dan diupayakan untuk dihapuskan sama sekali. Hal ini bis adili9hat dari draft amandemen UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 versi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik yang menghendaki dihapuskannya pasal 2,3,4 dan 5 tentang poligami dalam UU Perkawinan.
Sederet argumen dikemukakan. Antara lain, poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), poligami hanya untuk kepentingan biologis, menempatkan perempuan sebagai sex provider. Argumen-argumen yang seolah masuk akal, padahal sejatinya hanya dibangun berdasarkan asumsi dan justifikasi subjectif.
Selain pasal poligami, pasal 7 berbunyi "Perkawinan diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun" diganti dengan "Perkawinan hanya diizinkan jika kedua belah pihak berusia di atas 18 tahun". Alasannya, pembedaan usia minimal pernikahan antara laki-laki dan perempuan adalah bias gender. Hal ini sejalan dengan UU Perlindungan Anak yang mendefenisikan anak adalah orang yang belum berusia 18 tahun.
Bila ditelah, penetapan angka 18 tahun ini mengandung maksud, yakni untuk meninggikan usia pernikahan dengan harapan usia reproduksi perempuan akan semakin pendek. Bagaimana tidak, dengan kampanye 4T yang mereka gembar-gemborkan, maka peluang lahirnya generasi dari kaum wanita semakin sempit. 4T tersebut adalah; (1) Tidak terlalu dini (maksdnya jangan nikah muda, dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi), (2) Tidak terlalu banyak (maksudnya dua anak cukup, selaras dengan program KB dengan dalih demi peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup), (3) Tidak terlalu dekat (maksudnya jarak kelahiran anak jangan terlalu dekat dengan dalih mengganggu kesehatan reproduksi), dan (4) Tidak terlalu tua (maksdnya, jangan melahirkan anak lebih dari usia 34 tahun, dengan dalih resiko tinggi).
Kampanye ini terkait dengan upaya menghentikan proses regenerasi. Siapa yang dibidik?? Tentu saja kaum muslimin. Jumlah kaum muslimin yang banyak, menjadi ancaman bagi eksistensi ideologi sekular-kapitalistik. Untuk itu, di negeri-negeri muslim perlu direkayasa upaya menekan prose regenerasi ini. Padahal di negeri-negeri Barat sendiri, penduduknya justru didorong untuk memiliki anak karena saaat ini di sana dilanda penduduk dan terancam lost generation.
Selain pasal di atas, pasal 11 berisi masa iddah bagi wanita bercerai, dikendaki untuk diberlakukan juga bagi laki-laki. Aneh bin ajaib!!! Saking pengen sma 50:50 dengan laki-laki, masa iddah yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah mantan istri hamil atau tidak, diberlakukan pada laki-laki yang tak mungkin hamil. Pukul rata atas perjuangan menuju gender equality lebih jelas lagi dalam pasal 34. Pasal berisi pembagian peran antara suami dan isteri itu, mereka obrak-abrik dengan menghendaki peran dan tanggungjawab yang sama antara suami dan isteri. Dengan demikian, peran suami sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah bisa diambil-alih oleh isteri. Demikian pula sebaliknya, peran isteri sebagai pengatur rumah tangga harus pula dibebankan kepada suami.
Atas dasar ini, isteri tidak boleh dilarang bekerja agar memiliki bargaining power sebagai pengambil kebijakan dalam rumah tangga, karena memiliki sumber penghasilan. Jika suami melarang isteri bekerja, akan dikenai delik kekerasan versi UU PKDRT. Dengan demikian, relasi suami-isteri benar benar disamaratakan. Disinilah letak pintu masuk bagi kehancuran institusi keluarga.
Penghancuran Pernikahan
Draft amandemen UU Perkawinan versi Feminis yang nota bene derivat dari ideologi sekular-kapitalistik, jelas sangat berbahaya. Pertama, UU Perkawinan yang dibangun atas landasan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) itu berupaya mereduksi ajaran Islam tentang pernikahan. Seperti penentangan atas poligami, perombakan hukum tentang masa iddah dalam kasus perceraian dan relasi yang mengatur hubungan suami dan isteri.
Kedua, menggiring masyarakat menuju liberalisasi. Larangan menikah di bawah usia 18 tahun, sekalipun pelaku sudah matang secara fisik, mental, dan ekonomi, sama saja dengan menggiring masyarakat untuk menuju pintu seks bebas.
Ketiga, menghancurkan institusi pernikahan dan keluarga. Penyamaran peran antara suami dan isteri, berpeluang besar menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada perceraian. Juga, melemahkan peran pendidikan anak dan kelahiran generai-generasi berkualitas dari sebuah keluarga.
Di negeri-negeri Barat, dimana perempuannya mandiri secara ekonomi, justru meluas perceraian. Institusi keluarga tak lagi dihormati sebagai wadah terkecil tempat para stake holders di dalamnya harus berbagi peran. Keluarga tercerai-berai dan anak-anak yang dilahirkan menjadi generasi bermasalah. Fakta seperti inilah yang dikehendaki oleh para penyokong aktivis perempuan, yakni para pengusung ideologi sekular Barat.
Khatimah
UU Perkawinan merupakan target paling strategis dalam upaya penghancuran keluarga-keluarga muslim. Inilah konspirasi keji yang direncanakan Barat yang tak ingin umat Islam di Indonesia masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip Islam. Poligami, hanyalah salah satu senjata untuk menstigmatisasi ajaran Islam demi mulusnya rencana jahat kereka. Maka , yang harus dilakukan adalah mencounter amandemen UU Perkawinan ini dengan mengeksiskan syariat Islam ke dalam seluruh sendi kehidupan dalam institusi Daulah Khilafah Islam, termasuk dengan menguatkan institusi pernikahan.
Wallahu 'alam bi shawab.
sumber
Post a Comment