NU DI PERSIMPANGAN

Suatu hari, saya pergi ke Surabaya dan kebetulan mampir ke rumah salah satu pengurus NU di wilayah Sidotopo. Saat saya berada di rumah pengurus NU ini, terjadilah perbincangan yg cukup `gayeng` di antara kami berdua. Sayang sekali, saya tidak mungkin menyebut nama besar beliau demi menjaga privasi sesama muslim.

Hampir lima jam tanpa terasa saya bertamu, dan banyak hal yg kami bicarakan, khususnya tentang ke-NU-an, mulai dari dunia pendidikan NU, Rumah Sakit, kepengurusan, dan lain sebagainya, hingga menyangkut aliran-aliran sesat yang merambah Indonesia. Entah karena apa, sepanjang waktu dialog beliau lebih banyak bertanya kepada saya daripada memberi input.

Atau barangkali, sebagai pengurus NU struktural, beliau ingin mengorek keterangan sebanyak-banyaknya dari orang lapangan seperti saya, yakni warga NU yg benar-benar kultural semata, dengan istilah sekaang sebagai NU METAL (Melok Tahlil) alias ikut tahlilan warga NU. Saya juga menyampaikan keprihatinan kepada beliau tentang maraknya aliran sesat yang masuk ke dalam tubuh NU sendiri. Misalnya masuknya JIL dan Syi`ah Iraniyah ke dalam pemikiran beberapa tokoh struktur NU.

Tatkala saya sedang asyik menerangkan perbedaan aqidah antara keyakinan Sunny versus Syi`ah, semisal mayoritas umat Islam di dunia ini adalah penganut Ahlus sunnah, yang sangat menghormati Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khatthab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA.

Sedangkan kaum Syi`ah yang keberadaannya di dunia ini minoritas, justru mencaci-maki khalifah ke satu, ke dua, dan ke tiga, bahkan di dalam kitab panduan utama mereka, yaitu Alkafi, karangan Alkulaini, cetakan Teheran Iran, kaum Syi`ah telah mengkafirkan Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan Khalifah Utsman serta mayoritas para Shahabat RA. Sedangkan yang diakui ke khalifahannya oleh kaum Syi`ah hanyalah Khalifah Ali bin Abi Thalib. Lebih ekstrimlagi, Khomeini sang tokoh kaum Syi`ah, dalam bukunya, dia menyakini bahwa kedudukan Imam Ali bin Abi Thalib lebih tinggi daripada derajat Nabi Muhammad SAW.

 Tiba-tiba pengurus NU ini berkomentar: "Ustadz, timbulnya aliran Syi`ah itu, kan di saat pemerintahan Sayidina Ali bin Abi Thalib, terus mengapa Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar, dan Sayidina Utsman KOK DIAM SAJA, tidak ikut bersama-sama dengan Sayidina Ali memerangi kaum Syi`ah, yang telah mengkafirkan mereka bertiga? Padahal jaman itu kan banyak peperangan seperti membasmi `nabi-nabi palsu`... ".

Mendengar komentar beliau, hati saya menjadi prihatin, khususnya kepada warga NU, yg mendapatkan tokoh pemimpin justru tidak mengenal dunia Islam. Tidakkah beliau pernah menbaca kitab atau mendengar pengajian, yang menerangkan bahwa Sayidina Abu Bakar, Sayidina Umar, dan Sayidina Utsman radliyallahu `anhum telah wafat, saat Sayidina Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi Khalifah ke empat?

Demikianlah, setelah selidik punya selidik, ternyata tokoh pengurus NU ni, tidak pernah mengenyam pendidikan Pesantren, sebagaimana layaknya para pengurus NU di masa-masa awal berdirinya Jam`iyyah Nahdlatul Ulama. Bahkan penamaan Nahdlatul Ulama yang berarti Kebangkitan Para Ulama, adalah identik dengan tokoh-tokoh Ulama pesantren. Yaitu figur-figur yang telah malang melintang dalam dunia Islam lewat kajian-kajian ilmu keislaman yg dibidangi oleh kependidikan pesantren.

Bilamana dewasa ini para pengurus NU bukan lagi tokoh-tokoh pesantren, maka eksistensi NU sebagai kebangkitan para Ulama akan semakin terombang-ambing. Dalam sebuah kaedah dikatakan idza wussidal amru ilaa ghairi ahlihi, fantadliris saa`ah, artinya jika sebuah perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya. Demikian juga jika jam`iyyah NU pada akhirnya dipimpin dan diurusi oleh tokoh-tokoh yang bukan dari kalangan para Ulama pesantren, maka bisa ditebak dengan mudah apa yang terjadi. Semoga Allah melindungi umat Islam negeri ini dari kehancuran.

Oleh : KH. Luthfi Bashori ( Pengasuh Ponpes PIQ Singosari - Malang )

(pejuangislam.com)