KH. Hasyim Asy’ari, adalah seoran penulis yang pemikir, sehingga setiap apa yang keluar dari tangan Beliau yang berupa karya tulis, teks pidato, surat-menyurat, dan lain sebagainya merupakan gambaran dari sikap tegas dan lugas Beliau. Sebagai gambaran kongkrit, apa yang Beliau sampaikan dalam muqaddimah Qanun Asasi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, mengenai larangan Beliau terhadap warganya agar tidah terpengaruh apalagi mengikuti aliran Syi’ah Zaidiyad. Padahal Syiah Zaidiyah tergolong aliran yang relatif ringan kesalahannya, yaitu mereka berkeyakinan bahwa Saidina Ali bin Abi Thalib lebih afdlal daripada Saidina Abu Bakar dan Saidina Umar bin Khatthab RA. KH. Hasyim Asy’ari bukan sekedar memerangi aliran dan pemikiran sesat, bahkan prilaku sesatpun tidak luput dari perhatian Beliau. Sebagaimana yang dilontarkan Beliau, “Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh sebagian orang memungut secara liar harta orang lain di pasar-pasar malam, atau permainan kartu remi atau yang semisalnya, adalah sejelek-jelek bid’ah”. (Risalah hal. 8). Ummat Islam bisa membayangkan, bagaimana sekira beliau hidup di zaman sekarang, dengan banyaknya aliran-aliran sesat, pemikiran-pemikiran liberal, penerapan-penerapan hukum yang keluar dari syariat, pemutarbalikan dalil-dalil agama, dan lain sebagainya yang sangat subur berkembang bak jamur di musim hujan. Bahkan keadaan ini lebih sering terjadi di kalangan warga NU, sebuah organisasi yang justru didirikan oleh Beliau sendiri.
Coba tengok, seorang Masdar F. Mas’udi yang menjabat sebagai fungsionaris PBNU, dengan gegabah melontarkan pemikiran nyeneh-nya tentang pelaksanaan ibadah haji, yang menurutnya bahwa wuquf di Arafah tidak harus terfokus pada tanggal 9 Dzulhijjah, sehingga melempar Jumrah di Minapun bisa dilaksanakan selain tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, demi menghindari berdesak-desakannya jamaah haji, dengan harapan bisa meminimalisir korban kematian. Menurutnya, bahwa pelaksanaan ibadah haji baik wuquf di Arafah maupun amalan haji lainnya, bisa dilaksanakan mulai bulan Syawwal hingga Dzulhijjah, dengan dalil firman Allah, Alhajju asyhurun ma’luumat (haji itu dilaksanakan pada bulan-bulan yang dimaklumi) Tentunya dengan asumsi bahwa jamaah haji yang ingin wuquf di Arafah misalnya pada akhir bulan Syawwal dipersilahkan, sekalipun di padang arafah hanya sendirian tanpa ada jamaah haji lainnya, yang justru akan membahayakan jiwanya.
Pendapat ini jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam yang berkenaan dengan hukum manasik haji, sebagaimana yang telah diamalkankan oleh Rasulullah SAW, para Sahabat, para ulama salaf, dan segenap ummat Islam, termasuk oleh KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Alangkah sesatnya pemikiran Masdar F. Mas’udi ini, namun yang patut disesalkan adalah masih eksisnya Masdar F. Mas’udi sebagai fungsionaris PBNU. Padahal pemikiran sesat yang demikian inilah menurut KH. Hasyim Asy’ari sebagai prilaku bid’ah dlalalah, yang harus diperangi dan dihindari oleh ummat Islam khususnya warga NU. Sebab pelaku bid’ah dlalalah dan para pendukungnya, adalah dilaknat oleh Allah SWT, sebagaimana yang dikutip oleh Beliau dari sabda Rasulullah SAW. Berapa banyak saat ini, prilaku-prilaku dan pemikiran-pemikiran sesat terlontar dari publik figur yang dikenal masyarakat sebagai tokoh-tokoh NU, bahkan tak jarang membawa dampak negatif bagi warga NU sendiri, yang dikenal memiliki fanatisme yang terkadang berlebihan terhadap pemimpin spiritualnya. (Akan dinukil beberapa priluku atau pendapat sebagian tokoh NU yang tidak sesuai dengan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari)
Keadaan Ummat Islam di Tanah Air
Keadaan Ummat Islam di Tanah Air
Menurut pandangan KH. Hasyim Asy’ari, ummat Islam Tanah Air di masa lampau adalah mempunyai kesamaan aqidah dan kesamaan dalam memahami dan menjalankan syariat Islam. Mereka mempelajari Islam dari dari sumber yang sama. Semuanya berhukum fiqih menganut madzhab Imam Syafi’I, dan beraqidah tauhid mengikuti madzhab Imam Abu Hasan Al-asy’ari, sedangkan berakhlaq tashawwuf berkiblat kepada Imam Ghazali dan Imam Abu Hasan As-syadzili. Kemudian semenjak tahun 1330 H / 19….M mulai berkembang bermacam-macam kelompok golongan, pemikiran-pemikiran yang kontradiksi, tokoh-tokoh agama yang saling berebut pengaruh, dan lain sebagainya. Namun di antara mereka, masih ada kalangan ummat Islam yang selalu memegang teguh ajaran ulama salaf, dengan mengamalkan kitab-kitab yang mu’tabarah (diakui keabsahannya oleh salaf) secara preodik dari masa ke masa, dengan menghormati dan mencintai Ahlil Bait keluarga Nabi SAW (secara arif), menghormati para Sahabat, serta menghormati para ‘wali’ kekasih Allah (semisal wali songo), para ulama, dan orang-orang shaleh, berziarah ke makam Rasulullah SAW saat melaksanakan ibadah haji, dengan tujuan mendapatkan syafa’at kelak di akhirat nanti, karena melaksanakan hadits man zaara qabri wajabat syafaa’ati (Barangsiapa berziarah kemakam/kuburanku, maka kelak akan mendapatkan syafa’atku) (Risalah hal. 9) Dari golongan-golongan yang berkembang saat itu, ada golongan yang mengingkari aqidah dan keyakinan ummat Islam Indonesia yang diyakini kebenarannya sejak masa pertama kali Islam diperkenalkan di bumi persada Nusantara. Ada pula golongan yang selalu mencacimaki para Sahabat Nabi khususnya Saidina Abu Bakar dan Umar RA. Golongan ini tiada lain adalah kaum Rafidhah yang dikenal juga dengan aliran sesat Syi’ah Imamiyah. Mereka ini mengaku sebagai pecinta Saidina Ali bin Abi Thalib RA. Dan keturunannya, namun kecintaan mereka terlalu berlebihan. Untuk menerangkan kesesatan kaum Rafidlah, KH. Hasyim Asy’ari menukil pendapat Assayyid Muhammad pengarang kitab Syarhul Qamuus sebagai berikut: Sebagian penganut Syi’ah ada yang tingkat kesesatannya sampai pada batas kekafiran. Dalam kitab Assyifa karangan Alqaadi ‘Iyaadl, terdapat hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abdullah bin Mughaffal RA mengatakan, Rasulullah SAW telah bersabda, “Takutlah kalian kepada Allah, takutlah kalian kepada Allah, (saat menyikapi) para Sahabatku, janganlah mereka ini kalian jadikan sasaran cacimakian sesudah aku tiada, barang siapa mencintai mereka, maka dengan kasih sayangku aku menyintainya, dan barang siapa membenci mereka, maka dengan kemarahanku aku membencinya, barang siapa mengusik mereka, sama halnya ia telah menyakitiku, dan barang siapa yang menyakitiku, maka sungguh ia telah menentang Allah, dan barang siapa yang menentang Allah, pasti Allah akan menyiksanya”. Dalam riwayat yang lain, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian mencacimaki para Sahabatku, maka barang siapa mencacimaki para Sahabatku, pasti Allah, para malaikat, dan seluruh ummat Islam akan melaknatnya, dan Allah tidak akan menerima amalan ibadahnya serta persaksiannya.” Beliau SAW juga bersabda, “Jangan kalian memcacimaki para Sahabatku, sesungguhnya akan datang pada akhir zaman, suatu kaum yang selalu mencacimaki para Sahabatku, maka janganlah kalian menjalin silaturrahim dengan mereka, janganlah kalian shalat dengan mereka, janganlah kalian menikahkan (dan menghadiri pernikahan) mereka, janganlah kalian bergaul dengan mereka. Apabila mereka sakit, jangan kalian menengoknya.” Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mencacimaki para Sahabatku, maka pukullah dia.” Rasulullah SAW telah memberitahukan kepada ummat Islam bahwa cacimakian yang ditujukan kepada para Sahabat, sangatlah menyakitkan Belaiu SAW, dan prilaku yang menyakitkan Nabi SAW hukumnya haram. Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian menggangguku dengan (mencacimaki) para Sahabatku, barang siapa mengganggu mereka sungguh ia telah menyakitkanku.” Beliau SAW bersabda, “Jangan kalian menggangguku dengan menyakiti ‘Aisyah.” Beliau SAW juga bersabda mengenai putri Beliau, Saidah Fathimah RA: “ (Fathimah) adalah darah dagingku, dengan mengganggunya sama halnya dengan menyakitiku.” (Risalah hal. 11)Betapa tegasnya KH. Hasyim Asy’ari dalam menukil Hadits Nabawi, yang dengan terang-terangan memilih tema-tema khusus, untuk memerangi aliran sesat yang berkembang di dunia Islam saat itu. Sangat jauh perbedaan antara cara pandang KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri dan sekaligus pemimpin tertinggi NU kala itu, dengan sebagian tokoh-tokoh NU dewasa ini. Sebagai ilustrasi nyata adalah saat menyikapi golongan Rafidlah atau aliran sesat Syi’ah, sebagian tokoh-tokoh menyatakan bahwa, NU adalah Syi’ah kultural, disertai pujian terhadap Khomaeni pemimpin tertinggi Syi’ah Imamiyyah, bahkan ada yang beranggapan sebagai wali terbesar abad ini. Padahal dalam ajaran aqidah Syi’ah Imamiyah penuh dengan cacimakian terhadap para Sahabat Nabi RA. Belum lagi pengingkaran mereka terhadap keaslian dan kemurnian Alquran mushaf Utsmani milik ummat Islam. Pengingkaran tersebut termaktub dalam kitab rujukan utama mereka Al-kaafi karangan Alkulaini, salah seorang tokoh Syi’ah Imamiyyah. Jelas sekali bagi ummat Islam khususnya warga NU, bahwa pandangan KH. Hasyim Asy’ari saling bertolak belakang, bahkan praktis sangat bertentangan dengan pandangan tokoh-tokoh NU yang mengklaim NU adalah Syi’ah kultural . Dengan demikian pandangan ‘nyeleneh’ ini tiada lain adalah prilaku bid’ah dlalalah yang dilaknat oleh Allah, para malaikat, dan seluruh ummat Islam.KH. Hasyim Asy’ari juga menyoroti kesesatan golongan Abahiyyun, yaitu kelompok yang berpendapat, bahwa orang yang sudah mencapai pada ketinggian derajat cinta dan kedekatannya kepada Allah, serta memiliki kebersihan hati yang tidak pernah melupakan Allah dalam dirinya, maka ia tidak berkewajiban melaksanakan syari’at fiqhiyah semisal shalat dan zakat. Apabila ia melakukan dosa besarpun tidak akan masuk neraka. Adapun cara ibadah mereka cukup hanya dengan “ingat kepada Allah” (Risalah hal. 11). Dewasa ini, golongan Abahiyyun sering disebut dengan Aliran Kebathinan, yang mana cara beribadahnya cukup dengan ‘eling’ (ingat) kepada Allah, tanpa disertai shalat, zakat, puasa, dan lain sebagainya. Golongan ini juga banyak macamnya serta mempunyai dalih yang berbeda-beda, namun tujuannya hanya satu, yaitu penafian terhadap pelaksanaan syari’at Islam yang bersifat fisik, mereka menganggap hukumnya tidak wajib, karena merasa telah sampai pada batas derajat yang tertinggi, dan menganggap Allah telah menyatu dalam dirinya. Adapun diantara latar belakang mereka terjerumus mengikuti aliran semacam ini, seringkali dimulai dari penyalahgunaan kedudukan atau kehormatan yang mereka dapatkan dari masyarakat, disertai ketidakmengertian terhadap agama dengan baik dan benar. Golongan ini sangat berbahaya karena yang terlibat seringkali justru dari kalangan keluarga terhormat. Adapun dampak negatif bagi ummat adalah adanya pengikut-pengikut dari kalangan awam yang terseret hanya dilatarbelakangi oleh fanatisme semata. Ummat Islam harus jeli, di dalam masalah ini, bagaimana tidak, Rasulullah SAW sebagai makhluq yang paling sempurna diciptakan oleh Allah, dan diberi derajat yang paling tinggi dibandingkan makhluq lainnya, termasuk lebih mulia daripada malaikat sekalipun. Namun Rasulullah SAW masih melaksanakan kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, serta ibadah-ibadah fisik lainnya. Bahkan di kalangan para Sahabatpun sebagai generasi muslim yang paling utama, tidak ada seorangpun di antara mereka yang merasa telah terbebas dari kewajiban-kewajiban ibadah yang bersifat fisik. Allahpun pasti tidak akan mengangkat seseorang untuk dijadikan kekasih-Nya dari kalangan mereka yang dengan sengaja meninggalkan syariat yang telah diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya. Innallaha laa yakmurukum bis suu’I wal fakhsyaai wal mungkari wal baghi (sesungguhnya Allah tidak akan pernah memerintah kalian untuk melakukan keburukan dosa, kejelekan, kemungkaran, dan kejahatan). padahal meninggalkan perintah wajib itu adalah kejahatan dosa dan kemungkaran yang sangat jelek. Menurut Syeikh Abu ‘Amr bin Al’alak sebagaimana yang dikutip oleh KH. Hasyim Asy’ari, kebanyakan pengikut Abahiyyun yang terjadi di Iraq, disebabkan minimnya pengetahuan mengenai bahasa Arab secara baik dan benar, sehingga memahami agama ini secara asal-asalan dan disesuaikan dengan keinginan dan kepentingan mereka. Adapun keyakinan bahwa Allah telah menyatu pada diri mereka, adalah telah masuk dalam wilayah kekafiran. (Risalah hal. 11)Pada prinsipnya, apa yang terjadi di Iraq sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh “Amr bin Al’alak, tidak jauh berbeda dengan keadaan awam dari kalangan ummat Islam, termasuk di Indonesia. Kebanyakan dari para pengikut aliran-aliran baru yang berkembang dewasa ini, tiada lain karena minimnya pemahaman bahasa Arab. Sebagai ilustrasi adalah kasus penggagas shalat dwi bahasa, Yusman Roy, yang mana sesuai dengan pengakuannya sendiri bahwa dia sangat minim dalam memahami bahasa Arab. Hanya masalahnya dia tidak mau memperbaiki kekurangan tersebut, misalnya dengan belajar kepada sumber yang semestinya dari kalangan ulama, namun justru dia berupaya mereka-reka ajaran agama dengan keterbatasan ilmu yang dia miliki. Sehingga apa yang dia cetuskan menjadi sangat kontradiksi dengan ajaran syariat yang semestinya.Peristiwa salah persepsi juga sering kali muncul ditengah masyarakat, khususnya di kalangan warga NU, bahwa jika mereka menemukan seorang tokoh agama yang terhormat di kalangan masyarakat, atau keluarga dari seorang tokoh agama, melakukan sesuatu prilaku yang dianggap nyeleneh, tidak pada semestinya, maka seringkali dengan serta merta dianggap sebagai ‘wali’ kekasih Allah, yang harus diikuti dan disanjung, dan segala bentuk prilakunya dianggap selalu positif bahkan dijadikan sebagai panutan, sekalipun bertentangan dengan syariat, atau bahkan sampai pada batas masuk ke wilayah kefasikan hingga taraf kekafiran. Bahkan barang siapa berani menentangnya dianggap akan menuai kuwalat. Hal tersebut karena masyarakat awam masih melihat faktor lingkungan atau keturunan. Padahal semestinya ummat harus mengerti dengan seksama, bahwa Allah SWT, tidak akan mengangkat seseorang menjadi ‘wali’ kekasih-Nya dari kalangan orang-orang bodoh, terutama terhadap ajaran Islam. Sehingga sekira Allah mengangat seseorang untuk dijadikan ‘wali’ kekasih-Nya, pasti Allah akan memberinya Ilmu agama yang memadai, serta menjaganya dari perbuatan yang bertentangan dengan syariat-Nya. Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi di kalangan para ‘wali’ kekasih Allah semisal keadaan majdzuub (tidak ingat kehidupan dunia) atau masluubul ‘aql, (akal duniawinya dicabut oleh Allah), hal tersebut boleh saja terjadi jika Allah menghendaki. Andaikata ummat Islam menemukan peristiwa semacam itu terjadi pada seseorang, maka ummat tidak boleh menjadikan yang bersangkutan sebagai qudwah (pemimpin atau panutan) dalam melaksanakan ajaran Islam, baik dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, dan bernegara. Cukuplah umat Islam menghormati para ‘wali’ kekasih Allah yang mendapatkan maqam (derajat) khusus dari Allah semacam itu, termasuk menghormati kehidupan mereka yang sesuai dengan ketentuan Allah. Karena Allah memberi derajat kepada setiap orang itu sangat bervariatif, termasuk memberi derajat dan keadaan khusus kepada kalangan tertentu, yang Allah sendiri tidak memberi pilihan kepada kalangan ini selain menjalani kehidupannya dengan hati dan perasaan selalu bersama Allah, alias tidak merasa butuh menjalani kehidupun dan kenikmatan dunia, sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Keadaan semacam itu tidak bisa dicari-cari oleh siapapun, melainkan pemberian murni dari Allah kepada orang-orang yang dikehendak. Sebagaimana Allah memberikan maqam (derajat) kenabian kepada seseorang, bukanlah lantaran pilihan dari yang bersangkutan, melainkan pemberian dari Allah secara langsung. Maka Allah juga tidak membuka peluang bagi umat manusia untuk memilih menjadi nabi, atau ‘wali’ kekasih Allah, dengan cara mencari-cari atau berupaya dari dirinya sendiri. Sekalipun demikian Allah tetap membuka peluang bagi mereka yang ingin menjadi hamba-Nya yang terhormat dan ingin selalu dekat dengan-Nya, dengan cara mendalami serta mengamalkan ilmu syariat agama yang telah diturunkan-Nya, dengan menjadi ulama-ulama yang benar-benar mengamalkan ilmu yang dikuasainya, terutama bagi mereka yang selalu berinovasi dalam mengembangkan kedalaman ilmunya, yarfa,illahu ladziina aamanu walladziina uutul ‘ilma darajaat (Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mencari ilmu). Untuk mendapatkan maqam yang tinggi, Allah juga membuka peluang bagi hamba-Nya yang selalu beramal shaleh, dengan berupaya menjalankan seluruh kewajiban bersyariat dan meninggqalkan semua larangannya, serta selalu mendekatkan diri kepada Allah. Yaitu mereka yang tidak hanyut oleh manisnya tipu daya kehidupan dunia, sekalipun mereka ini tetap menggelutinya. Yaitu orang-orang yang mampu membedakan mana yang halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak, yang maslahat dan yang bahaya, yang baik dan yang buruk, yang haq dan yang bathil, demikianlah seterusnya. Al-imam Alqadli ‘Iyyadz Alyahsubi, seperti yang dinukil oleh KH. Hasyim Asy’ari, mengatakan dalam kitabnya Assyifa, “ Sesungguhnya semua pendapat yang terang-terangan menafikan ketuhanan Allah, atau kemahaesaan-Nya, atau penyembahan kepada selain Allah, atau menyekutukan Allah, maka hukumnya adalah Kafir. Seperti ucapan orang-orang Atheis/komunis, Nasrani, Majusi, dan kaum paganis penyembah berhala, penyembah malaikat, penyembah syetan, matahari, bintang, api, atau lainnya, demikian juga pelaku pemahaman “manunggaling kawulo gusti’ (menyatu dengan Allah). Demikian juga (termasuk kafir) orang-orang yang mengakui ketuhanan dan kemahaesaan Allah, tetapi menyakini bahwa Allah itu tidak hidup, atau dulunya tidak ada kemudian menjadi ada, atau mempunyai gambaran raga, atau menisbatkan kepada-Nya anak dan istri, atau menganggap bahwa Allah itu berasal dari sesuatu, atau beranggapan adanya Allah di zaman azali (sebelum adanya makhluq) itu ditemani oleh orang/makhluq selain Allah, atau menyakini bahwa dalam menciptakan alam seisinya ini dibantu oleh tuhan selain Allah, maka pendapat-pendapat semacam demikian ini hukumnya kafir. (Risalah hal. 13)Cara Pandang NU terhadap Ummat Nasrani Melihat nukilan KH. Hasyim Asy’ari mengenai agama Nasrani, Beliau memilih teks dari Al-imam Alqadli ‘Iyadl Alyahsubi yang cukup jelas dan tegas, bahwa Ummat Nasrani adalah kafir, karena mereka menyekutukan Allah. Pada dasarnya cara pandang ini tiada lain adalah bentuk aplikasi dari firman Allah laqad kafaral ladziina qaalu innallah tsalitsu tsalaatsah (Sungguh telah kafir orang-orang Nasrani yang mengatakan adannya trinitas dalam diri Allah); laqad kafaral ladziina qaalu innallaha huwal masiihubnu maryam (Sungguh telah kafir orang-orang Nasrani yang mengatakan bahwa Allah itu adalah Almasih Isa putra Maryam). Lebih tegas KH. Hasyim Asy’ari menukil dari kitab Al-anwar (tanpa menyebut pengarang): Bahwa termasuk dalam katagori kafir adalah setiap perkataan yang dengan terang-terangan menganggap seluruh ummat Islam itu sesat, atau menganggap para Sahabat Nabi itu kafir. Demikian juga (pelakunya) termasuk dikatagorikan kafir adalah prilaku yang tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang kafir, seperti sujud ke salib, sujud ke api, atau berjalan menuju gereja beserta penganut Nasrani, dengan berprilaku seperti mereka (Risalah hal. 14) Jiwa dan sikap tegas KH. Hasyim Asy’ari telah dituangkan dalam nukilan-nukilan di atas. Dibalik upaya merintis dan memimpin ormas Islam terbesar ini, ternyata beliau telah mengajarkan kepada ummat Islam ketegasan suatu sikap yang bersifat qur’ani dan nabawi. Nas sharih (doktrin yang jelas) tentang jenis prilaku kekafiran, dengan serta merta beliau tuangkan dalam risalah yang ditulisnya. Inilah termasuk kejelian Beliau dalam menangkap masalah-masalah yang bakal terjadi di kalangan ummat Islam tanah air, khususnya di kalangan warga NU. Pada dasarnya Beliau ingin menjaga keimanan dan kemurnian aqidah ummat, agar tidak terjerumus pada prilaku yang menyebabkan kekafiran, khususnya di kalangan warga NU. Beliau menginginkan keutuhan warga NU dalam menjaga aqidahnya agar kelak bisa tetap bersama Beliau baik di padang mahsyar terlebih di sorganya Allah SWT, dalam naungan bendera Rasulullah SAW.
dikuti dari makalah "KONSEP NU & KRISIS PENEGAKAN SYARIAT "
Penulis: KH. Luthfi Bashori [ Pengasuh PIQ Malang ] - pejuangIslam.com
Penulis: KH. Luthfi Bashori [ Pengasuh PIQ Malang ] - pejuangIslam.com

Post a Comment